Mengatasi Teror Papua



Penulis : Sumini, 
anggota Akademi Menulis Kreatif, Cileunyi Bandung.

Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat-Organisasi Papua Merdeka (TPNPB-OPM) akan menembak warga non Papua yang tidak mau meninggalkan Kabupaten Nduga. Itu merupakan salah satu ultimatum yang dikeluarkan OPM kepada pemerintah Indonesia. Ultimatum tersebut disampaikan pentolan TPNPB-OPM, Egianus Koyoga melalui media sosial pada Sabtu, 23/02/19, agar warga sipil non Papua meninggalkan wilayah Kabupaten Nduga per tanggal 23 Februari 2019 (Serambinews.com, 24/02/119).

Seperti diberitakan sebelumnya peristiwa berdarah terjadi di Nduga, Papua pada hari Minggu tanggal 2 Desember 2018, sebanyak 31 pekerja bangunan jembatan di Kali Yigi- Kali Aurak, Distrik Yigi, tewas diduga diberondong oleh Kelompok Kriminal Bersenjata.

Di antara tujuh ultimatum yang disampaikan pimpinan TPNPB-OPM adalah ajakan perang. Menanggapi ultimatum tersebut, juru bicara Kodam di Papua Muhammad Aidi, menyatakan TNI siap berhadapan dengan tentara Papua Merdeka.

Dengan melihat data-data yang ada, motif penyerangan itu jelas, yaitu separatisme, ingin merdeka lepas dari NKRI. Tapi kenyataannya hanya 150 personal aparat gabungan TNI-Polri yang diberangkatkan ke Distrik Yigi untuk memburu Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB). Keberadaan TNI-Polri untuk mengecek informasi adanya 31 pekerja PT Istaka Karya dan mengevakuasi jenazah dan menangkap para pelaku.

Terlepas dari semua itu, aksi-aksi tersebut jelas merupakan aksi teror dan memenuhi semua kriteria tindak pidana terorisme. Aksi-aksi itu juga jelas menimbulkan suasana teror di masyarakat. Namun pemerintah justru hanya menilainya sebagai tindak kriminal biasa dan pelakunya hanya disebut Gerakan Pengacau Keamanan (GPK). Padahal sudah jelas menembaki aparat menggunakan senjata. Pemerintah juga tidak menyebut OPM sebagai kelompok teroris. Di sinilah seolah terjadi “pembiaran” dan tidak ada tindakan sepadan dan tegas sehingga masalah itu terus terjadi.

Salah satu alasan masuk akal di balik sikap pemerintah itu, adalah karena penerapan sistem sekuler demokrasi di Indonesia membuat rezim tak bisa bertindak tegas terhadap kelompok-kelompok separatis yang dibackingi kekuatan asing. Di sini rezim gagal melindungi rakyat. Ada beberapa negara yang berkepentingan terhadap Papua yaitu, Amerika, Inggris, Australia dan lain-lain. Negara-negara tersebut dalam diplomasi dengan pemerintah Indonesia selalu menyatakan menghormati dan mengakui kedaulatan wilayah NKRI termasuk Papua. Namun diplomasi itu tentu saja dilakukan demi kepentingan ekonomi negaranya. Namun jika kebijakan  Indonesia untuk Papua mengganggu kepentingan ekonomi mereka, pengakuan kedaulatan bisa saja berubah.

Di samping itu, tindakan terhadap terduga teroris jelas sejalan dan seirama dengan kebijakan Barat khususnya Amerika. Maka semua itu merupakan konfirmasi bahwa pemerintah tidak independen dan tidak mandiri dalam menyikapi dan mengelola keamanan dalam negeri. Juga mengonfirmasi bahwa pemerintah selama ini seirama dengan lagu kebijakan Barat khususnya Amerika, jika tidak boleh disebut mengekor atau bahkan disetir.

Menyelesaikan masalah Papua, selain masalah keamanan adalah dengan mewujudkan keadilan dan pemerataan pembangunan dan kesejahteraan. Hal itu hanya bisa diwujudkan melalui penerapan syariah Islam secara total.

Separatisme dalam Islam disebut bughat, yaitu orang-orang yang keluar menentang negara dengan mengangkat senjata dan bertahan di suatu tempat tertentu dan menjadi suatu kekuatan yang tidak mungkin ditangani kepolisian. Harus ada gabungan tentara dan kepolisian. Sebelum mereka diperangi, terlebih dulu dilakukan surat-menyurat atau diplomasi dengan mereka dan dilihat bagaimana sikapnya. Mereka diminta kembali pada ketaatan, masuk kembali ke dalam jama’ah dan berhenti mengangkat senjata. Jika mereka memenuhinya, bertobat, kembali dan berpegang pada hukum-hukum syari’ah, maka tindakan terhadap mereka dihentikan dan mereka tidak boleh diperangi. Jika mereka menolak untuk kembali, berkeras untuk keluar menentang negara dan memerangi negara, maka mereka diperangi dengan perang untuk mendidik, bukan perang untuk melenyapkan dan membinasakan. Dengan begitu, mereka dapat kembali pada ketaatan dan meninggalkan perbuatannya serta meletakkan senjata.

Dalam hal pengelolaan ekonomi dan kekayaan, Islam menetapkan bahwa hutan dan kekayaan  alam yang berlimpah depositnya seperti tambang emas dan gas Tangguh, merupakan  harta milik umum seluruh rakyat tanpa kecuali. Kekayaan itu harus dikelola oleh negara, tidak boleh diserahkan ke swasta atau asing, dan hasilnya dikembalikan ke rakyat dalam bentuk berbagai pelayanan. Dengan begitu kekayaan alam akan benar-benar menjadi berkah untuk rakyat.

Jadi kesimpulannya, hanya sistem Islam yang akan melindungi dan menutup celah bagi negara  dari ancaman separatisme. Yakni, dengan penerapan sistem aturan yang menyejahterakan bagi semua dan mencegah segala bentuk intervensi asing. Sistem Islam ini hanya bisa diterapkan oleh negara Khilafah Rasyidah. Untuk itu perubahan besar mewujudkannya harus segera dilakukan sebagai pemenuhan seruan Allah dan RasulNya. “Hai orang-orang yang beriman, penuhilah seruan Allah dan Rasul apabila Rasul menyeru kamu kepada sesuatu yang memberikan kehidupan kepada kamu”. (TQS al-Anfal [8]: 24).
Wallaahu a’lam bish shawab. 
Previous Post Next Post