Hoaks dan UU Terorisme

Penulis: Yusriani Rini Lapeo, S. Pd 
(Anggota Muslimah Media Konawe)

Maraknya kasus penyebaran hoaks menjelang pemilu, telah menciptakan kepanikan di kalangan petinggi pemerintah. Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan, Wiranto menyampaikan penindakan hoaks yang mengancam Pemilu akan dijerat dengan Undang-Undang Terorisme.

Hal tersebut menuai pro kontra. Sebut saja Said Aqil Siradj,  Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU),  mengaku setuju dengan pernyataan Wiranto. “Kalau memang mengancam seperti ancaman mirip teror ya boleh itu. Kan ancaman pecah-belah, ancaman yang mengancam keutuhan bangsa," tegasnya (Gardakeadilan).

Lain halnya dengan ketua Presidium Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (Mafindo), Septiaji Eko Nugroho berpandangan, pemerintah sebaiknya memaksimalkan regulasi yang sudah ada saat ini untuk menindak hoaks. Ia juga beranggapan, bahwa apa yang dilakukan pemerintah saat ini dalam menindak lanjuti penyebar hoaks adalah tindakan yang tidak tepat.

“Penggunaan Undang-Undang Terorisme untuk hoaks Pemilu, tidak perlu dilakukan,” ujarnya, “menyamakan pelaku penyebaran hoaks dengan pelaku terorisme, adalah tidak tepat. Karena hoaks yang saat ini banyak beredar masyarakat sangat bervariasi jenis dan dampaknya, dari yang ringan hingga yang meresahkan," lanjutnya (Viva.com, 20/03/2019).

Kendati demikian, pemerintah tetap saja akan melakukan keinginannya demi memenuhi egoisme. Termasuk penegakan hukum yang tidak perlu dan sesuai dengan keinginan sebagian kalangannya.

Ini justru akan membuat kekacauan dan ketakutan di tengah masyarakat. Sebab keberadaan beberapa UU, justru akan mengekang aspirasi rakyat dalam menyampaikan kebenaran kepada penguasa.

Berbeda dengan Islam. Menurut syariat, kekuasaan adalah untuk menegakkan hukum syara, sehingga hubungan penguasa dan umat adalah hubungan saling menguatkan dlm ketaatan dengan menghidupkan budaya amar ma'ruf nahi munkar, bukan hubungan pemenang dan oposan.

Di sisi lain, penerapan hukum Islam sebagai satu-satunya sumber hukum, dapat mengontrol keamanan ditengah masyarakat. Sebab, Islam telah melarang keras perilaku penyebaran hoax atau berita bohong.

Nabi Muhammad Shallalahu Alaihi Wasallam dan keluarganya pernah menjadi korban hoax, ketika isteri beliau, Aisyah Radliyallahu Anha, dituduh selingkuh, dan beritanya menjadi ‘viral’ di Madinah. Peristiwa itu dalam sejarah dinamakan hadits al-Ifki. Berita bohong ini menimpa istri Rasulullah Shallalahu Alaihi Wasallam ‘Aisyah Radliyallahu Anha. Ummul Mu’minin, setelah perang dengan Bani Mushtaliq pada bulan Sya’ban 5 H. Peperangan ini diikuti kaum munafik, dan turut pula ‘Aisyah dengan Nabi berdasarkan undian yang diadakan antara istri-istri beliau. Dalam perjalanan mereka kembali dari peperangan, mereka berhenti pada suatu tempat. ‘Aisyah keluar dari sekedupnya untuk suatu keperluan, kemudian kembali. Tiba-tiba dia merasa kalungnya hilang, lalu dia pergi lagi mencarinya. Sementara itu, rombongan berangkat dengan persangkaan bahwa ‘Aisyah masih ada dalam sekedup. Setelah ‘Aisyah mengetahui, sekedupnya sudah berangkat dia duduk di tempatnya dan mengaharapkan sekedup itu akan kembali menjemputnya. Kebetulan, lewat di tempat itu seorang sahabat Nabi, Shafwan bin Mu’aththal, diketemukannya seseorang sedang tidur sendirian dan dia terkejut seraya mengucapkan: “Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un, isteri Rasul!” ‘Aisyah terbangun. Lalu dia dipersilahkan oleh Shafwan mengendarai untanya.

Syafwan kemudian berjalan menuntun unta sampai mereka tiba di Madinah. Orang-orang yang melihat mereka membicarakannya menurut pendapat masing-masing. Mulailah timbul desas-desus. Kemudian kaum munafik membesarkannya, maka fitnahan atas ‘Aisyah Radliyallahu Anha. itu pun bertambah luas, sehingga menimbulkan kegoncangan di kalangan kaum Muslimin.

Dari sinilah Allah menurunkan firman-Nya dalam QS An-Nur ayat 11-12 yang artinya:

“Sesungguhnya orang-orang yang membawa berita bohong itu adalah dari golongan kamu juga. Janganlah kamu kira bahwa berita bohong itu buruk bagi kamu bahkan ia adalah baik bagi kamu. Tiap-tiap seseorang dari mereka mendapat balasan dari dosa yang dikerjakannya. Dan siapa di antara mereka yang mengambil bahagian yang terbesar dalam penyiaran berita bohong itu baginya azab yang besar,” “Mengapa di waktu kamu mendengar berita bohong itu orang-orang mukminin dan mukminat tidak bersangka baik terhadap diri mereka sendiri, dan (mengapa tidak) berkata: ini adalah suatu berita bohong yang nyata.”

Berdasarkan kisah dan firman Allah di atas, cukup membuktikan Islam bukan saja sebagai agama yang mulia, tetapi Islam juga sebagai sumber hukum yang sempurna dan sesuai dengan fitrah manusia. Semoga kita semua terhindar dari fitnah-fitnah hoax. Wallahu 'alam.

Post a Comment

Previous Post Next Post