Bagaimana Seharusnya Menyikapi Berita Bohong?

Penulis : Mariyatul Qibtyah, S.Pd

Dalam beberapa tahun terakhir, kata hoaks  menjadi begitu populer. Terlebih lagi, sejak mereka yang dipandang sebagai penyebar hoaks bisa dipidanakan dengan adanya Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik. Berdasarkan isi pasal 28 ayat 1 dalam UU ITE, penyebar informasi bohong alias hoaks bisa terkena sanksi berat. Setiap orang yang dengan sengaja dan atau tanpa hak menyebarkan berita bohong dan menyesatkan, ancamannya bisa terkena pidana paling lama enam tahun dan denda maksimal Rp 1 miliar (detik.com, 06/04/2018). Ini adalah sanksi dari negara. Dalam Islam pun, ada aturan yang terkait dengan hoaks atau berita bohong.
Berita bohong atau hoaks ini seringkali menimbulkan keresahan di masyarakat. Lebih-lebih jika hoaks itu berkaitan dengan kehidupan masyarakat secara langsung. Beberapa  hoaks yang cukup viral diantaranya adalah hoaks telur plastik, gempa susulan di Palu,  serta  penculikan anak. Tidak jarang pula, hoaks ini digunakan untuk meraih tujuan politik. Misalnya, kasus penganiayaan terhadap Ratna Sarumpaet.
Membuat berita bohong atau pun menyebarkannya, tentu tidak dibenarkan. Orang yang membuat berita bohong, sama halnya dengan orang yang berdusta. Dusta adalah perbuatan yang dicela dan karenanya dilarang. Rasulullah SAW bersabda:
ما كان من خلق ابغض الى رسول الله صلى الله عليه وسلم من الكذب ما اطلع على احد من ذلك بشيء فيخرج من قلبه حتى يعلم انه قد احدث توبة
"Tidak ada perangai yang paling dibenci oleh Rasulullah SAW daripada dusta. Beliau tidak memperhatikan seseorang lebih besar daripada hal itu, sehingga dia mengeluarkan dari hatinya, sampai beliau pun mengetahui bahwa dia baru saja bertaubat." (HR. Ahmad, Ibnu Hibban, dan al-Hakim).
Rasulullah bahkan menyebut orang yang berdusta itu termasuk orang munafik. Rasulullah SAW bersabda, 
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ عَنِ النَّبِىِّ - صلى الله عليه وسلم - قَالَ آيَةُ الْمُنَافِقِ ثَلاَثٌ إِذَا حَدَّثَ كَذَبَ ، وَإِذَا وَعَدَ أَخْلَفَ ، وَإِذَا اؤْتُمِنَ خَانَ
"Dari Abu Hurairah, bahwa Nabi SAW bersabda, Tanda-tanda orang munafik ada tiga: jika berbicara dia berdusta, jika berjanji dia mengingkari, dan jika diberi amanah dia berkhianat" (HR. Al- Bukhari).
Hadits ini berlaku umum bagi setiap muslim, apa pun posisi dan jabatannya. Tidak perduli apakah dia rakyat jelata atau pejabat tinggi. Karena itu, tentunya  kita harus menghindarkan diri kita dari mengatakan perkataan dusta. Terlebih lagi, jika kita seorang pejabat. Jauh-jauh hari, Rasulullah SAW telah mengingatkan kepada kita tentang pejabat atau pemimpin yang suka berdusta. Rasulullah SAW bersabda:
ثلاثة لا يكلمهم الله يوم القيامة ولا يزكيهم ولا ينظر اليهم ولهم عذاب اليم شيخ زان وملك كذاب و عاءل مستكبر
"Ada tiga orang yang tidak akan diajak bicara oleh Allah di hari kiamat dan Allah tidak akan mensucikan mereka dan memperhatikan mereka dan bagi mereka adzab yang pedih; orang tua yang berzina, penguasa yang suka berdusta, dan orang fakir yang sombong." (HR. Muslim)
Dalam hadits yang lain, Rasulullah SAW juga bersabda:
سَيَأْتِيَ عَلَى الناَّسِ سَنَوَاتٌ خَدَّاعَاتٌ يُصَدَّقُ فِيْهَا الْكَاذِبُ وَيُكَذَّبُ فِيْهَا الصَّادِقُ وَيُؤْتَمَنُ فِيْهَا الْخَائِنُ وَيُخَوَّنُ فِيْهَا الأَمِيْنُ وَيَنْطِقُ فِيْهَا الرُّوَيْبِضَةُ قِيْلَ وَمَا الرُّوَيْبِضَةُ قَالَ الرَّجُلُ التَّافِهُ فِي أَمْرِ الْعَامَّةِ
“Akan tiba pada manusia tahun-tahun penuh kebohongan. Saat itu, orang bohong dianggap jujur. Orang jujur dianggap bohong. Pengkhianat dianggap amanah. Orang amanah dianggap pengkhianat. Ketika itu, orang “Ruwaibidhah” berbicara. Ada yang bertanya, “Siapa Ruwaibidhah itu?” Nabi menjawab, “Orang bodoh yang mengurusi urusan orang umum.” (HR. Hakim).
Jika rakyat biasa yang berdusta, hanya berimbas pada segelintir orang. Namun, jika seorang penguasa atau pemimpin yang berdusta, akan berimbas pada masyarakat luas. Seorang pejabat bisa saja berdusta dengan cara menyampaikan kebohongan terkait data, kebohongan dalam keberhasilan pembangunan, dan sebagainya. Dusta itu dilakukan dengan tujuan meraih simpati rakyat. Tentu saja, hal ini tidak seharusnya dilakukan oleh seorang pejabat yang menjadi pemimpin rakyat. Seorang pemimpin haruslah bersikap jujur, adil, dan amanah.
Jika berdusta tidak diperbolehkan, begitu pula dengan menyebarkannya. Karena itu, saat menerima suatu berita, kita harus melakukan pengecekan terhadap kebenaran berita tersebut. Sehingga, kita tidak akan terlibat dalam penyebaran berita bohong atau hoaks. Kita bisa mengambil pelajaran dari peristiwa yang dialami oleh Ummul mukminin 'Aisyah radliyallaahu 'anhaa. Peristiwa itu dikenal dengan nama haditsul ifki  (berita palsu).
Peristiwa itu bermula saat 'Aisyah r.a. memenangkan undian untuk menyertai Rasulullah SAW dalam Perang Bani Musthaliq pada bulan Sya'ban di tahun 5 H. Dalam perjalanan pulang dari peperangan yang dimenangkan oleh kaum muslimin itu, Rasulullah dan rombongan berhenti saat perjalanan telah mendekati kota Madinah. Rombongan berhenti untuk istirahat beberapa waktu. 'Aisyah pun keluar dari haudajnya untuk menunaikan hajat, berjalan jauh sendirian hingga meninggalkan rombongan pasukan tersebut. Selesai menunaikan hajat, 'Aisyah kembali ke untanya. Namun ternyata kalung  yang dipakainya hilang. 'Aisyah pergi mencarinya hingga tertahan beberapa waktu karenanya. 
Sementara itu orang-orang yang bertugas mengangkat haudajnya memikul dan menaikkannya ke atas unta yang  ditunggangi 'Aisyah. Mereka menyangka 'Aisyah berada di dalam haudaj tersebut karena di masa itu wanita kurus-kurus, sehingga orang-orang yang mengangkat haudaj itu tidak merasa ganjil dengan ringannya haudaj tersebut. 'Aisyah sendiri saat itu masih sangat belia(15 tahun).
Unta-unta pun diberangkatkan bersama rombongan pasukan di akhir malam. Setelah 'Aisyah menemukan kalungnya yang hilang, tidak seorang pun yang ditemuinya. 'Aisyah pun kembali ke tempat diletakkannya haudajnya dengan keyakinan mereka akan menyadari ketidakberadaan diri bersama rombongan hingga mereka kembali ke tempat tersebut untuk mencarinya. 'Aisyah pun duduk di tempa tersebut hingga ia tertidur.
Saat itu Shafwan ibnul Mu’aththal As-Sulami Adz-Dzakwani berada di belakang pasukan. Ia tertinggal jauh dari rombongan. Sampailah ia di tempat 'Aisyah. Ia melihat ada orang yang sedang tidur. Ia pun mendatangi tempat tersebut dan mengenali 'Aisyah karena ia pernah melihatnya sebelum turun perintah hijab. 'Aisyah pun terbangun dengan ucapan istirja’nya ketika melihat 'Aisyah. 'Aisyah pun menutup wajahnya dengan jilbab. Shafwan tidak berbicara satu kata pun. Ia hanya menderumkan untanya, lalu membelakangi 'Aisyah. 'Aisyah pun naik ke atas unta tersebut kemudian Shafwan menuntunnya sampai mereka berhasil menyusul rombongan pasukan saat mereka istirahat pada siang hari yang panasnya menyengat. Maka tersiarlah berita yang tidak menyenangkan tentang 'Aisyah. Yang paling berperan menyebarkan berita dusta itu adalah Abdullah bin Ubai bin Salul.
Setibanya di Madinah 'Aisyah jatuh sakit selama sebulan. Orang-orang tenggelam dalam pembicaraan seputar tuduhan dusta tersebut tanpa diketahui oleh 'Aisyah. 'Aisyah hanya merasa ganjil dengan sikap  Rasulullah SAW. Rasulullah hanya masuk sebentar ke kamar,  mengucapkan salam, kemudian berkata kepada ibunya yang merawat tentang keadaan 'Aisyah. Setelah itu beliau berlalu. Namun 'Aisyah tidak menyadari berita jelek tersebut. 
'Aisyah baru mengetahui berita tersebut dari Ummu Misthah saat selesai buang hajat. Ummu Misthah pun menceritakan kepadaku apa yang dikatakan oleh orang-orang yang menyebarkan berita dusta seputar diriku, hingga bertambah parahlah sakitku.

Sesampainya di rumah, 'Aisyah pun meminta izin kepada Rasulullah untuk menemui orang tuanya untuk mencari kepastian berita yang disampaikan Ummu Misthah kepada kedua orangtuanya. Rasulullah pun mengizinkannya. Setelah mengetahui kepastian adanya berita buruk tersebut, 'Aisyah pun menangis sepanjang malam.
Ketika wahyu belum juga turun, Rasulullah memanggil Ali bin Abi Thalib dan Usamah bin Zaid untuk mengajak keduanya bermusyawarah, apakah menceraikan istrinya atau tidak. Usamah mencegahnya, sedangkan Ali mempersilakan Rasulullah untuk menceraikan 'Aisyah. Namun, Ali menyarankan Rasulullah untuk menanyakan hal itu kepada Barirah, seorang budak perempuan. Barirah pun menjawab, “Tidak, demi Dzat yang mengutusmu dengan membawa kebenaran. Tidak pernah aku lihat darinya suatu perkara pun yang aku anggap jelek, kecuali sekadar ia seorang wanita yang masih belia, yang tertidur/lalai dari menjaga adonan roti untuk keluarganya hingga datanglah kambing memakan adonan tersebut.”

Pada hari itu Rasulullah bangkit mencari bantuan untuk membalas perbuatan Abdullah bin Ubai bin Salul.  Namun, upaya beliau justru membangkitkan emosi dua kabilah, Aus dan Khazraj. Sampai-sampai mereka ingin mengobarkan peperangan sementara Rasulullah masih berdiri di atas mimbar. Beliau terus menerus menenangkan kedua belah pihak hingga mereka terdiam dan beliau pun diam.
Kondisi yang tidak pasti itu terus berlangsung, hingga Allah menurunkan wahyu-Nya.  Saat itu, Rasulullah sedang duduk di sisi 'Aisyah. Hal yang tidak pernah dilakukannya semenjak tersebarnya berita tersebut. Rasulullah bertasyahhud ketika duduk, lalu berkata, “Adapun setelah itu, wahai Aisyah, sungguh telah sampai kepadaku berita tentangmu bahwa engkau begini dan begitu. Bila memang engkau terlepas dari tuduhan tersebut maka Allah akan menyatakan hal itu, Dia akan membersihkanmu dari tuduhan tersebut. Namun jika memang engkau berbuat dosa, minta ampunlah kepada Allah dan bertaubatlah kepada-Nya. Karena jika seorang hamba mengakui dosanya, kemudian ia bertaubat kepada Allah, Allah pasti akan menerima taubatnya.”
Setelah Rasulullah selesai berbicara, 'Aisyah merasa tidak ada setetes pun air matanya yang keluar. 'Aisyah pun berkata kepada ayahnya, “Mohon berilah tanggapan terhadap pernyataan Rasulullah itu.”
“Demi Allah, aku tidak tahu apa yang harus kukatakan kepada Rasulullah,” jawab ayah 'Aisyah.
“Berilah jawaban kepada Rasulullah, wahai ibu,” kata 'Aisyah kepada ibunya.
Beliau menjawab yang sama dengan jawaban ayah 'Aisyah, “Demi Allah, aku tidak tahu apa yang harus kukatakan kepada Rasulullah.”
'Aisyah pun menjawab, “Demi Allah, aku sungguh yakin kalian telah mendengar pembicaraan jelek tentang diriku hingga menetap di hati kalian dan kalian membenarkannya. Kalau aku katakan pada kalian bahwa aku berlepas diri dari tuduhan tersebut, dan demi Allah Dia tahu aku terlepas dari tuduhan tersebut, niscaya kalian tidak akan membenarkanku Kalau aku mengakui perkara tersebut benar adanya –padahal demi Allah Dia Tahu aku terlepas dari tuduhan tersebut– kalian akan membenarkan pengakuanku. Demi Allah, aku tidak mendapatkan permisalan untuk kalian kecuali ucapan ayah Yusuf (Nabi Ya’qub) yang berkata:
‘Maka kesabaran yang baik itulah kesabaranku. Allah sajalah yang dimintai pertolongan atas apa yang kalian ceritakan’.” (Yusuf: 18)
'Aisyah berharap wahyu segera turun. Namun, iatidak pernah menyangka Allah akan menurunkan wahyu-Nya yang akan terus dibaca tentang perkaranya itu. 'Aisyah berharap Rasulullah bermimpi dalam tidurnya dan dalam mimpi tersebut Allah menunjukkan terlepasnya 'Aisyah dari tuduhan itu.
Rasulullah belum meninggalkan tempat duduknya dan belum ada seorang pun dari keluarga 'Aisyah yang beranjak keluar tatkala turun wahyu kepada beliau. Mulailah beliau mengalami kepayahan sebagaimana yang biasa beliau alami bila wahyu sedang turun. Sampai-sampai keringat semisal mutiara mengucur deras dari tubuh beliau padahal hari sangat dingin, karena beratnya ucapan yang sedang diturunkan. Tatkala berlalu kejadian itu dari diri beliau, beliau tertawa. Awal kalimat yang beliau ucapkan pada Aisyah adalah, “Wahai Aisyah, sungguh Allah telah membersihkanmu dari tuduhan tersebut."
Saat itu, Allah menurunkan Surat an-Nur ayat 11-21. Dengan diturunkannya ayat-ayat tersebut, jelaslah apa yang harus dilakukan saat kita mendapat berita bohong. Yaitu, kita harus melakukan tabayyun dan tidak menyebarkan berita bohong tersebut. Jika menyebarkan saja dilarang, terlebih lagi membuat berita bohong. 
Karena itu, sebagai seorang muslim, baik rakyat jelata  atau pejabat, kita harus mengikuti tuntunan dari Allah SWT agar terhindar dari adzab yang pedih. Apalagi, jika kita mengaku hanya takut kepada Allah SWT. Tentu, pengakuan ini tidak cukup dengan diucapkan, tapi harus dibuktikan dengan perbuatan. Wallaahu a'lam.
Previous Post Next Post