Bebas dari ke Akuan Lahiriah

ADA tanda-tanda bahwa seluruh umat manusia tak lagi mencari kebahagiaan di dalam rasio dan logika, maupun di dalam ketegaran formalisme dan dogmatisme. Kecenderungan kearah mencari kebahagiaan dalam arena lain dibangkitkan, setelah berabad-abad umat manusia membangun wajah dunia yang materialistis sebagai hasil akal semata. Meskipun hasilnya menakjubkan, tetapi sering juga dilupakan bahwa disamping mewujudkan wajah dunia yang gilang gemilang manusia harus pula membangun kehidupan yang berdasarkan kebathinan yang seimbang.

Kegiatan yang tersembunyi dalam arena kebathinan, yang sekarang sedang diusahakan dimana-mana, pasti mempunyai pangkal di dalam campur tangan Tuhan Yang Maha Esa dengan maksud supaya umat manusia, karena kedangkalan fikirannya, tidak terjerumus ke dalam jurang kehancurannya.

Di dalam suasana sangat menekan yang sedang di hadapi oleh seluruh umat manusia dewasa ini, harus ada usaha agar kelompok –kelompok yang bertanggungjawab terhadap masyarakat dapat menjalankan pelita bathinnya demi tercapainya kehidupan yang terang benderang. Banyak pengetahuan tentang teknik dan ilmu pengetahuan yang tidak dapat memberi kepuasan, memberi sari pada pengetahuan, tidak memecahkan persoalan yang kian menimbun, bahkan banyak pengetahuan yang malahan melahirkan teka-teki kesulitan, dan kesengsaraan yang meminta perhatian serius.

Puisi kehidupan sebenarnya harus bebas dari tuntutan untuk mementingkan diri sendiri, pada masa sekarang berubah menjadi idealisme yang prosais, materialistis, dan tujuan yang murni dari setiap perbuatan terbenam di dalam system serta asas dasar yang membingungkan.

Dalam sejarah baru, manusia hanya memiliki pengetahuan tentang diri sendiri. Apa yang diperlihatkan hanyalah Aku-lahirnya, dan ini dipandang sebagai sudah cukup untuk kehidupan di dunia akhirat. Pertumbuhan bathin yang seharusnya diusahakan sejalan dengan kegiatan lahiriah, dan memberikan kesempatan untuk membuka pintu memasukkan kemungkinan-kemungkinan yang tersembunyi, sekarang terkurung untuk selama-lamanya di dalam ikatan Aku-lahirnya. Jelaslah sekarang bahwa manusia dalam sikap ini tidak memberi kesempatan bagi diri pribadinya untuk berhubungan dengan yang mutlak, akan tetapi semua fikiran dan usaha terputus pada satu titik yang dinamai Aku. Kesadaran tentang Aku-lahirnya yang diutamakan dengan pasti menimbulkan perpecahan dan kekacauan, seperti keadaan masa sekarang.

Siapa yang merasa puas dengan keadaan sikap tersebut, akan hidup atas dasar minimum dari kemungkinan-kemungkinan yang dapat dihasilkan olehnya. Betapa pintarnya orang itu, dan setiap orang yang berbudaya mengetahui hal ini. Alat-alat fikiran yang dapat dipergunakan untuk memahami seluruh alam dan untuk dapat berhubungan dengan mengatasi seluruh kenyataan yang bebas dari kungkungan di dalam kenyataan, yakni berada di luar Aku-lahirnya.

**penulis adalah seorang filosof dan pemerhati lingkungan**
*** Ikhsan ***
Previous Post Next Post