KAWIN SAPASUKUAN DALAM PERSPEKTIF ADAT MINANGKABAU

Oleh : Drs. H. Muasri Rajo Mudo

Disampaikan pada Seminar Nasional Budaya
Senat Mahasiswa Fakultas Adab IAIN Imam Bonjol Padang


I. Adat dan Budaya Minangkabau

Seperti suku bangsa lainnya di dunia ini, orang Minangkabau memulai peradabannya sesuai dengan pola pikir para pendahulunya. Pola pikir itu dipengaruhi oleh berbagai hal termasuk agama yang ada pada periode tersebut. Dalam menjalani peradapannya orang Minangkabau dipengaruhi pula oleh kondisi sosial serta alam lingkungannya, bahkan alam itu dijadikan sumber inspirasi dalam menyususn aturan-aturan hidupnya seperti tertera dalam mamangan adat “Alam Takambang Jadi Guru”.

Aturan-aturan adat Minangkabau disusun dan ditetapkan sesuai dengan alua jo patuik dengan menggunakan pertimbangan akal serta perasan, Raso jo pareso. Raso dibao naek, Pareso dibao turun. Apa yang terpikir dalam pikiran dipertimbangkan dengan perasaan atau sebaliknya apa yang terasa diolah dengan pikiran baik buruknya sehingga tindakan yang dilakukan melalui proses tersebut menjadi lamak dek awak, katuju dek urang. Aturan-aturan hidup yang disusun berdasarkan alua jo patuik serta raso jo pareso tersebut kemudian terkumpul menjadi undang-undang atau hukum adat Minangkabau. Sebelum ajaran Islam masuk ke Minangkabau, aturan adat Minangkabau telah mengatur tentang pentingnya kemanusiaan yang berbudi luhur, saling menghormati, saling mencintai, saling membantu dan saling tolong menolong.

II. Sistem Kekerabatan

Bertitik tolak dari hukum adat yang bersumber dari alam takambang jadi guru sesuai dengan alua jo patuik disaring dengan raso jo pareso, para pendahulu Minangkabau telah menempatkan kaum perempuan pada posisi terhormat yakni sebagai bundo kanduang, limpapeh rumah nan gadang, amban puruak pagangan kunci. Harta pusaka dipegang oleh kaum wanita sementara kaum laki-laki bertindak sebagai pengawas. Dengan posisi tersebut anak-anak yang terlahir dari sebuah perkawinan akan lebih terjamin dalam pemeliharaan ibu serta diawasi oleh mamak (saudara laki-laki ibu). Kedekatan anak dengan ibu kemudian melahirkan sistem kekerabatan matrilineal. Ayah adalah urang sumando yang juga sering disebut bersifat seperti abu di ateh tunggua, dengan mudah bisa diterbangkan angin. Jika terjadi perceraian, anak-anak akan tinggal bersama ibunya sementara ayah (laki-laki) kembali kerumah orang tuanya (pihak ibu).

Berdasarkan tradisi dan sistem kekerabatan matrilineal tersebut, masyarakat Minangkabau mengenal dua bentuk keluarga:
  • Keluarga kaum (Extended family), keluarga besar yang terdiri dari sejumlah anggota yang terikat dalam suatu sistem keibuan yang kemudian disebut sa suku. Setiap anggota kaum, baik laki-laki maupun perempuan, baik yang sudah bersuami ataupun belum, akan selalu menjaga kaunya dari segala hal. Mereka yang berada dalam satu kaum (sa suku) tidak boleh kawin. Hubungan antara mereka selain diikat oleh suatu sistem, juga ikatan emosionalnya sangat kuat karena merasa sekaum adalah badunsanak. Dengan rasa sekaum dan rasa badunsanak mereka sepakat dan secara turun temurun tidak menikah (kawin) dalam satu kaum atau satu suku.
  • Keluarga batih ( nuclear family), sebuah kesatuan keluarga terkecil yang terdiri dari suami, istri dan anak. Keluarga batih adalah sarana tempat bertemu dan berintegrasinya antara dua buah kaum atau dua buah keluarga besar, kaum pihak suami dan kaum pihak istri.

Post a Comment

Previous Post Next Post