Gonta-Ganti Kurikulum, Bukti Nihilnya Mutu Pendidikan



Oleh: Eno Fadli
(Pemerhati Kebijakan Publik)


Selama pandemi dunia mengalami perubahan dalam setiap lini. Begitupun pada lini pendidikan. Dunia pendidikan kehilangan pembelajaran (learning loss) terhadap anak didik baik itu secara literasi dan numerasi. Oleh karenanya Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Ristek Dan Teknologi menawarkan kurikulum prototipe sebagai opsi tambahan satuan pendidikan untuk pemulihan pembelajaran 2022 sampai 2024 dan sebagai pengembangan dari kurikulum sebelumnya.

Kurikulum prototipe 2022 ini akan diterapkan pada 2.500 sekolah penggerak dan SMK pusat unggulan. Menurut Kemendikbud Ristek kurikulum yang ditawarkan ini akan lebih berfokus pada materi esensial saja dan tidak terlalu berfokus pada materi (Kompasiana.com, 04/12/2021).

Kurikulum prototipe yang berkarakteristik pembelajaran berbasis proyek dalam pengembangan soft skills serta karakter, yang berfokus pada materi esensial saja diharapkan ada waktu yang cukup dan ruang yang luas untuk kompetensi dasar seperti literasi dan numerasi. Hal ini tentunya dapat mengembangkan potensi dan bakat siswa. Adanya fleksibilitas bagi guru untuk melakukan pembelajaran yang sesuai dengan kemampuan murid (teach at the right level). Di mana guru dilengkapi dengan perangkat yang memudahkannya melakukan diferensiasi dalam pembelajaran. Serta adanya penyesuaian konteks dan muatan lokal, guru akan dibekali dengan  beragam contoh modul yang diadopsi atau diadaptasi.

Meskipun banyak yang mengapresiasi kurikulum yang baru ini, namun banyak juga yang mempertanyakan penerapannya. Jangan-jangan hanya diterapkan pada sekolah-sekolah yang berkualitas saja yang tentunya jika ini terjadi akan menambah kesenjangan pada pendidikan. Faktanya kesenjangan yang terjadi di dunia pendidikan, baik itu kesenjangan antar wilayah maupun kelompok sosial-ekonomi sudah lama terjadi. Ini diperparah dengan adanya pandemi.

 Selama pandemi hasil belajar literasi dan numerasi siswa di wilayah timur Indonesia tertinggal delapan bulan belajar dibanding siswa yang tinggal di wilayah barat. Siswa yang tidak memiliki fasilitas belajar, seperti buku teks tertinggal 14 bulan belajar dibandingkan dengan siswa yang memiliki fasilitas belajar. 

Kesenjangan ini juga dipengaruhi status sosial-ekonomi masyarakat dimana siswa yang ibunya tidak bisa membaca tertinggal 20 bulan belajar dibanding siswa yang ibunya bisa membaca. Di samping itu kurangnya nutrisi, pola asuh dan fasilitas belajar dirumah pada siswa juga mempengaruhi prestasi akademik siswa. Karena siswa dari keluarga yang kurang mampu cenderung kurang siap belajar dibanding siswa dari keluarga mampu. Sehingga hal ini  menjadikan prestasi akademik berkorelasi kuat dengan status sosial-ekonomi siswa (Detiknews.com, 27/12/2021).

Kesenjangan pendidikan yang terjadi tentunya tidak terlepas dari sistem yang diadopsi sebuah negeri, karena kesenjangan yang terjadi adalah dampak dari penerapan sistem tersebut. Pendidikan tidak dapat berdiri sendiri, karena pendidikan harus ditopang dengan sistem ekonomi dan politik. Sebab sistem ekonomi dan politik inilah keluarnya kebijakan pembangunan, pemerataan, akses layanan publik, distribusi kekayaan dan produksi.

Adanya polarisasi daerah, yang menyebabkan daerah-daerah yang memiliki potensi untuk dieksploitasi kekayaannya atau daerah yang menjadi jalur distribusi barang dan jasa, pembangunan dilakukan secara masif dan akses layanan publik pun mudah untuk didapat. Seperti halnya di kota-kota besar, kabupaten berkembang maupun daerah industri.

Sedangkan daerah-daerah yang termasuk pada wilayah 3T (Terdepan, Terpencil dan Tertinggal) menjadikan kondisi daerah-daerah ini begitu miris. Letak daerah yang jauh dari Ibu Kota Provinsi menjadikan pertumbuhan ekonomi di daerah ini terhambat. Pembangunan infrastruktur pun belum merata dirasakan. Bahkan ada daerah yang sampai belum terjamah oleh pembangunan, sehingga masyarakat yang tinggal didaerah ini bergantung dengan alam sekitar. Karena jauh dari akses layanan publik termasuk pendidikan.

Diskriminasi ini tidak hanya dirasakan pada daerah-daerah perkampungan saja. Tapi juga dirasakan oleh masyarakat di perkotaan. Tidak sedikit dari mereka yang tidak mampu mendaftarkan anak-anak mereka ke sekolah-sekolah berkualitas. Hal ini disebabkan adanya komersialisasi dan liberalisasi pada dunia pendidikan. Sehingga dirasakan kualitas pendidikan pun berkorelasi dengan kondisi sosial-ekonomi masyarakat.

Oleh karena itu jika solusi pendidikan yang dikeluarkan hanya gonta-ganti kurikulum tanpa mengubah sistem yang hanya berorientasi pada profit pihak tertentu yaitu para korporat. Bukan pada kebutuhan publik, maka solusi seperti ini hanyalah solusi tambal sulam semata.

Berbeda dengan sistem Islam (Khilafah) yang mengurus urusan rakyat dengan segala permasalahan yang ada termasuk pada bidang pendidikan. Dinmana sistem Islam yang selalu merujuk pada Al-Quran dan sunnah. Sebagaimana Rasulullah saw. bersabda:
"Imam (Khalifah) adalah raa’in (pengurus urusan rakyat), dan ia bertanggung jawab atas pengurusannya."(HR. Al-Bukhari).

Dalam sistem Islam negara  menjamin kesejahteraan rakyatnya, dengan menerapkan sistem ekonomi Islam. Dalam ekonomi Islam, sumber daya alam tidak boleh dikuasai oleh individu (swasta), sumber daya alam ini dikelola oleh negara yang kemudian hasilnya akan dimasukkan kedalam kas negara (baitul maal) pada pos kepemilikan umum. Dengan inilah masyarakat akan mendapat akses layanan publik yang berkualitas dan gratis yang tentunya akan diperoleh setiap individu dari masyarakat. Baik itu kaya atau miskin, Muslim maupun nonmuslim, daerah perkotaan maupun daerah perkampungan sampai daerah terpencil sekalipun akan mendapat kualitas yang sama. 

Islam tidak membolehkan akses layanan publik dikomersialisasi karena mutlak menjadi tanggung jawab negara. Begitupun dengan pendidikan, negara mutlak bertanggung jawab memberikan pelayanan yang berkualitas, dari sarana dan prasarananya, tenaga pengajar atau media pembelajarannya, adanya tunjangan pendidikan yang diberikan untuk pengajaran atau siswa. 

Untuk menunjang terlaksananya pendidikan yang merata negara akan memastikan pembangunan infrastruktur yang merata pula, pembangunan lakukan di semua daerah sampai pada daerah terpencil dengan tetap berpijak pada kaidah syara’. Sehingga dengan pembangunan yang merata ini masyarakat tidak lagi menemui kesulitan dalam mengakses pendidikan. Selain itu, negara juga menjamin kebutuhan pokok dari rakyatnya, dengan memastikan setiap kepala keluarga dapat memenuhi kebutuhan gizi dan nutrisi keluarganya dengan pekerjaan yang layak dengan dibukanya lapangan pekerjaan. Oleh sebab itulah, mutu pendidikan akan selalu berkorelasi dengan sistem dan ekonomi politik yang ada. Dan korelasi yang sempurna akan didapati pada sistem yang sempurna pula yaitu Islam.

Wallahu a’lam bishshawab

Post a Comment

Previous Post Next Post