Agama Tak Lagi Eksis dalam Sistem Kapitalis



Oleh: Rina (Aktivis Muslimah)


Kasus penistaan agama kembali menggegerkan dunia maya sekaligus dunia nyata, padahal sejatinya kasus serupa sudah sering terjadi sebelumnya. Cuma bedanya saat ini “yang diduga” sebagai pelaku penista agama adalah Ferdinand Hutahaean, seorang Politikus dan pegiat medsos yang selama ini mencitrakan dirinya sebagai orang yang menghargai perbedaan dan tak ingin ada pihak yang merendahkan agama orang lain.


Cuitan Ferdinand bertuliskan: "Kasihan sekali Allahmu ternyata lemah harus dibela. Kalau aku sih Allahku luar biasa, maha segalanya, Dia lah pembelaku selalu dan Allahku tak perlu dibela". Cuitannya sontak menimbulkan banyak reaksi dari berbagai pihak, ada yang geram tetapi ada juga yang membela, sehingga kegaduhan tak bisa lagi disembunyikan. Entah cuitan tersebut memang disengaja atau hanya untuk pansos alias panjat sosial semata.


Namun seperti kasus-kasus sebelumnya, pelakunya membela diri sekaligus mengelak dikatakan bahwa cuitannya termasuk dalam kategori penistaan Agama. Ferdinand mengaku bahwa dirinya seorang muallaf dan juga telah mengklarifikasi bahwa cuitan kontroversialnya itu tak sedang menyasar kelompok atau agama tertentu. Cuitan itu, kata mantan politikus Partai Demokrat itu, berdasarkan dialog imajiner antara hati dan pikirannya saat kondisinya tengah lemah.


"Kalau ada yang merasa tersinggung dan mengganggu, saya mohon maaf. Tapi saya tidak ada maksud untuk menyerang dan menghina Tuhan," kata Ferdinand. 


Dampak dari cuitannya tersebut, Ferdinand kini dilaporkan ke kepolisian oleh organisasi masyarakat (Ormas) Islam di Makassar, Sulawesi Selatan. Ferdinand dilaporkan di Mapolda Sulsel dengan nomor laporan polisi STTLP/B/14/1/2022/SPKT/Polda Sulsel per tanggal 5 Januari 2021. Ferdinand dilaporkan karena postingannya mengandung unsur kebencian yang bermuatan SARA.


Dukungan terhadap Polri untuk menahan dan menetapkan Ferdinand Hutahaean sebagai tersangka terus berdatangan. Masyarakat berharap polri menahan dan menetapkan Ferdinand Hutahaean sebagai tersangka. Masyarakat pun berharap langkah cepat Polri itu bisa memenuhi rasa keadilan sehingga mencegah meluasnya potensi kegaduhan di masyarakat.


Pembelaan Penistaan Agama Menggema

Masyarakat mempercayakan penanganan kasus tersebut kepada pihak kepolisian dengan menjunjung asas praduga tak bersalah. Masyarakat juga mendukung Polri agar bertindak profesional dan transparan dalam menangani kasus tersebut.


Amat disayangkan, muncul komentar seakan bernada membela pelaku yang disampaikan oleh Kemenag RI,  Dikutip dari laman resmi Kemenag, Jumat 7 Desember 2022, beliau menyampaikan : Untuk kasus yang melibatkan Ferdinand Hutahaean ini, Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas meminta semua pihak untuk menghormati proses hukum.


Pada kasus bernuansa SARA yang melibatkan Ferdinand Hutahaean, Menteri Agama Yaqut Cholil mengajak masyarakat untuk tidak buru-buru menghakimi kasus ini. Apalagi tanpa didasari informasi yang komprehensif.


Menurut Gus Yaqut, sapaan Menag, sangat mungkin karena Ferdinand mualaf, dia belum memahami Agama Islam secara mendalam, termasuk dalam hal akidah. Jika ini benar, lanjut Gus Yaqut, maka Ferdinand membutuhkan bimbingan keagamaan, bukan cacian. Untuk itu, klarifikasi atau tabayyun pada kasus ini adalah hal yang mutlak.


Publik meradang. Khalayak pun mempersoalkan “Apakah pernah ada sanksi tegas dari Negara untuk Kasus-kasus Penistaan Agama, jika yang dinista adalah Islam?


Berapa kali pelaku-pelaku penistaan dilaporkan tetapi tak kunjung ada tindakan, kalau toh ditetapkan menjadi tersangka pada kasus ini, publik saat ini meragukan kelanjutan proses hukumnya. Hal ini wajar, karena sudah sering sekali kasus yang sama terjadi, tetapi pelakunya bebas hanya dengan kata “MAAF”.


Padahal Perkara menyucikan Allah dari semua sifat buruk adalah hal yang paling mendasar dan wajib bagi seorang muslim yang mengaku beriman kepada Allah. Lantas, bagaimana mungkin seorang mengaku sudah berislam dan sudah bertahun-tahun, justru memperolok Allah Azza wa jalla?


Sanksi Tidak Tegas dari Negara

Berulangnya kasus penodaan dan penistaan agama, sebenarnya adalah refleksi penerapan sistem kehidupan yang diterapkan saat ini. Dalam sistem politik sekuler demokrasi, manusia diberi kebebasan sebesar-besarnya tanpa campur tangan agama yang mengaturnya. Liberalisme dalam sistem demokrasi kapitalis mengajarkan 4 kebebasan yang sangat destruktif, yaitu kebebasan beragama, kebebasan berpendapat,kebebasan kepemilikan, dan kebebasan berperilaku. Kebebasan berpendapat inilah yang melahirkan orang-orang yang berani mengeluarkan pendapat yang menyimpangkan kebenaran Islam, menghina, dan menghujat ajaran Islam yang sudah pasti kebenarannya.


Kebebasan beragama membuat agama tak lagi sakral dan disucikan. Mereka bebas keluar masuk demi kepentingan yang ingin diraih. Jika dengan mengaku menjadi muslim dianggap akan membebaskan dari tuduhan dan bui, maka diapun berani mengatakan bahwa dia muslim. Akibat menjunjung tinggi kebebasan sebagai prinsip kehidupan, Negara sistem sekuler demokrasi menjadi pihak “Penonton”. Negara tidak berkutik dengan semua tingkah laku warganya, sekalipun itu rusak dan merusak karena terkungkung doktrin HAM.


Akibat paradigma sekuler demokrasi, hukum yang ada tidak memenuhi rasa keadilan. Alhasil membuat orang tidak jera untuk menista agama. Kasus sejenis bisa dihentikan bila Islam dipraktikkan menggantikan pemikiran dan sistem demokrasi sekuler, sebab Islam melarang pemeluknya menghina agama lain. Islam yang dipraktikkan secara politik dalam Khilafah, akan menghalangi berkembangnya konflik sosial dipicu agama dan menghalangi muslim dan non muslim mengolok-olok dan menista agama.


Hal ini bertolak dari cara pandang bahwa khilafah adalah institusi pelayan dan pelindung bagi warga negaranya, seperti hadist Rasulullah berikut ini :
“Imam (khalifah) adalah Raain (pengurus rakyat) dan ia bertanggungjawab atas pengurusan rakyatnya (HR. Bukhari).


Sanksi Islam Penuh Keadilan dan Penjagaan

Telah jelas bahwa Islam adalah Diin yang sempurna, tidak akan membiarkan tersebarnya pemikiran yang bertentangan dengan Islam. Dalam Islam, tak ada larangan seseorang untuk berpendapat selama tidak bertentangan dengan aqidah dan hukum-hukum Islam. Islam memandang aqidah dan syari’ah Islam adalah perkara penting yang harus ada dan tetap eksis de tengah masyarakat. Menyucikan Allah dari perbuatan buruk adalah perkara aqidah dan mengolok-oloknya adalah tindakan kemaksiatan. Maka Khilafah sebagai Institusi negara bertugas mewujudkan pandangan ini dengan mengedukasi masyarakat. Atas dasar itu, Negara tidak akan menoleransi pemikiran, pendapat, paham, aliran atau sistem hukum yang bertentangan dengan aqidah dan syari’ah Islam. Negara juga tidak akan mentoleransi perbuatan-perbuatan yang menyalahi aqidah dan syari’ah Islam.


Dalam kasus penistaan agama, dalam sistem sanksi Islam akan dimasukkan dalam kasus uqubat ta’zir, Qodhi (hakim) akan memberi beban hukum ta’zir pada seseorang disesuaikan dengan derajat kejahatan yang dilakukan. Hukuman yang paling berat adalah hukuman mati, Edukasi dipertegas dengan sistem uqubat yang hanya bisa dilakukan oleh khilafah inilah yang akan menimbulkan rasa ketentraman dan kerukunan antar umat beragama, sebab sanksi dalam Islam memiliki ciri khas sebagai Zawajir dan Jawabir. Zawabir/Pencegah berarti mencegah manusia dari tindak kejahatan, karena dia mengetahui saksi hukum yang akan dia terima. Juga sebagai Jawabir/Penebus dikarenakan uqubat dapat menebus sanksi akhirat, Sanksi akhirat seorang muslim akan gugur oleh sanksi negara ketika di dunia. Oleh karenanya kerukunan beragama akan terwujud secara nyata.


Maka untuk memenuhi rasa keadilan dalam kehidupan tidak ada lagi yang dibutuhkan oleh ummat selain Sistem Islam yang diterapkan dalam kehidupan. Dan negara yang mampu menerapkan Islam dalam kehidupan adalah Khilafah. Wallahu A’lam bissowwab.

Post a Comment

Previous Post Next Post