Cara Islam Tingkatkan Pendapatan Negara


Oleh : Samsinar 
Member Akademi Menulis Kreatif


Hidup di era kapitalisme membuat segala aspek kehidupan terasa mencekik. Sumber pendapatan negara terbesar negeri ini adalah dari sektor pajak, membuat rakyat ikut menanggung beban. Beban yang seharusnya ditanggung oleh negara. Pajak dengan berbagai jenisnya, merogoh receh hingga kepada rakyat kecil sekalipun. Namun ini tak berlaku dalam sistem Islam. Dalam pandangan Islam, pajak bukanlah pendapatan negara yang bersifat tetap. Negara hanya akan menarik pajak ketika dana Baitulmal tidak mencukupi.

Pendapatan negara terbesar dalam kapitalisme yang bersumber dari pajak, membuat hampir semua sektor perekonomian rakyat terkena imbasnya. Bahkan hingga pedagang kaki lima. Terlebih lagi jika usulan menteri keuangan diberlakukan. Hal ini hanya akan menguntungkan bagi negara namun merugikan rakyat terutama rakyat menengah ke bawah. 

Sebagaimana usulan Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani, akan dikenakan cukai pada komoditas minuman berpemanis. Minuman yang umumnya dijajakan oleh rakyat kecil seperti teh kemasan, minuman berkarbonasi, kopi konsentrat akan dikenai cukai. Tujuannya menurut Sri Mulyani adalah untuk kesehatan, yakni dalam rangka mencegah penyakit diabetes. Seperti itulah ungkapan ibu menteri di gedung DPR Senayan Jakarta pada hari Rabu, 19/02/2020 lalu. (cnbcindonesia.com, 02/03/2020)

Jika menarik cukai dengan alasan untuk masalah kesehatan, maka ini menjadi aneh. Hal ini justru akan menimbulkan masalah baru tanpa menyelesaikan masalah yang dimaksud. Jika ingin mencegah penyakit, kenapa harus pajak yang dikenakan? Kenapa bukan dengan cara lain? Memberikan edukasi hidup sehat misalnya, menekankan kebersihan, serta upaya penyadaran masyarakat akan pentingnya hidup sehat. 

Nampaknya yang menjadi tujuan utama atas usulan tersebut tak lain adalah untuk menambah pendapatan negara. Berdasarkan rincian atas penerapan cukai yang diusulkan ibu menteri, bahwa jika usulan tersebut benar-benar diterapkan maka diperkirakan penerimaan negara adalah Rp 6,25 triliun.(vivanews.com, 02/03/2020)

Jika usulan itu benar-benar diterapkan, maka yang menjadi permasalahan adalah harga komoditas tersebut tentu saja akan mengalami kenaikan. Sedang daya beli masyarakat akan menurun. Ini mengindikasikan bahwa tidak menutup kemungkinan akan mengurangi bahkan menghilangkan mata pencaharian kaum kecil yaitu pedagang kelontong hingga asongan. Ini juga berarti akan menimbulkan masalah baru. Masalah satu tak selesai, muncullah masalah lainnya.

Menarik pajak dengan alasan apapun di era kapitalisme ini memang justru akan mengundang berbagai permasalahan lain. Karena memang pada kenyataannya fungsi pajak sebagai alat distribusi yakni pemanfaatan pajak untuk kepentingan umum agar seluruh masyarakat merasakan manfaatnya secara merata tanpa ada ketimpangan sosial tidak terealisasi secara maksimal. Yang terjadi hanyalah fungsi pajak sebagai alat eksploitasi untuk kepentingan para kapitalis dan birokrat. Penarikan pajak justru semakin membuat rakyat terbebani.

Kebijakan tersebut tidak akan terjadi dalam sistem Islam. Islam bukanlah sekedar agama, tetapi Islam adalah sistem hidup yang sempurna. Islam mencakup politik dan spiritual. Islam tidak hanya mengatur masalah ibadah, tetapi semua tatanan kehidupan tak terkecuali masalah yang berkaitan dengan pengaturan dalam negara. 

Negara Islam memiliki sumber pendapatan yang banyak di antaranya zakat, fa'i, kharaj, jizyah, harta milik umum, dan sebagainya. Jika suatu waktu negara mengalami kekurangan dana untuk membiayai semua pengeluaran negara, maka sistem Islam punya cara sendiri untuk meningkatkan pendapatan. Setidaknya ada empat langkah yang dapat ditempuh untuk meningkatkan pendapatan, yakni:

Pertama, mengelola harta milik negara. Misalnya tanah atau bangunan yang menjadi harta milik negara boleh disewakan atau dijual. Khalifah (pemimpin tertinggi dalam sistem Islam) boleh menyewakan atau menjual tanah-tanah milik negara. Namun penting untuk diketahui bahwa hasil dari penyewaan atau penjualan tersebut menjadi pendapatan negara. Dimana hasilnya digunakan untuk pengaturan urusan rakyat. Bukan justru masuk ke kantong penguasa sebagaimana yang kerap terjadi saat ini di era kapitalis demokrasi.

Kedua, melakukan hima pada sebagian harta milik umum. Hima adalah kebijakan pengkhususan oleh khalifah terhadap suatu harta untuk suatu keperluan khusus dan tidak boleh digunakan untuk keperluan lain. Misalnya khalifah melakukan hima pada tambang emas di Papua untuk keperluan khusus, dialokasikan hanya untuk kepentingan pendidikan. Maka semua pendapatan yang berasal dari tambang emas Papua hanya disalurkan untuk biaya pendidikan dan yang berhubungan dengan pendidikan. Pendapatan dari tambang emas tersebut tidak boleh digunakan untuk kepentingan lain, seperti untuk pembiayaan kesehatan dan lain sebagainya.

Ketiga, menarik pajak (dharibah) sesuai ketentuan syariah. Menarik pajak dalam Islam hanya boleh dilakukan jika dana Baitul Mal tidak mencukupi. Pajak tidak menjadi sumber pendapatan negara yang bersifat tetap, penarikan pajak hanya bersifat insidental. Penarikan pajak dalam Islam tidaklah sembarangan, penarikan tersebut haruslah sesuai dengan ketentuan syariat Islam.

Keempat, mengoptimalkan pemungutan pendapatan. Pemungutan pendapatan yang sudah berlangsung seperti zakat, fa'i, kharaj, jizyah, harta milik umum, dan sebagainya bisa jadi tidak berjalan optimal. Maka khalifah dapat menempuh langkah pengoptimalan pemungutan pendapatan.

Demikianlah cara Islam meningkatkan pendapatan negara. Tidak dengan jalan memalak dan memaksa rakyat membayar pajak. Pendapatan negara dalam sistem Islam senantiasa ditingkatkan tanpa membuat rakyat terbebani. Tidakkah kita menginginkan hidup dalam sistem tersebut. Kini saatnya kita menyerukan penerapan syariat Islam secara kafah melalui institusi Khilafah ‘ala Minhajin Nubuwwah.

Wallahu a'lam bishshawab

Post a Comment

Previous Post Next Post