Biopori Hanya Solusi Parsial Tangani Banjir

Oleh : Nurdila Farha
Pelajar

Biopori adalah lubang resapan yang dibuat dengan sengaja, dengan ukuran tertentu yang telah ditentukan (diameter 10 sampai 30 cm dengan panjang 30 sampai 100 cm) yang ditutupi sampah organik yang berfungsi sebagai penyerap air ke tanah dan membuat kompos alami. (http://hijaumovement.blogspot.com/2011/04/biopori-pengertian-manfaat-dan-cara.html). Itulah definisi biopori yang dapat mengawali sebuah fakta yang terjadi di wilayah kabupaten Bandung pasca pilkades beberapa waktu yang lalu. 

Kemarau memang telah berlalu, hujan mulai membasahi bumi pasundan, tapi ada sesuatu yang berbeda di desa Cinunuk tepatnya pada suasana pemerintahan desa Cinunuk beberapa waktu lalu. Pasca-pemilihan Kepala Desa (Pilkades) Cinunuk, Kecamatan Cileunyi, Kabupatèn Bandung, Jawa Barat, sebanyak 29 Ketua RW dan 195 Ketua RT se-Desa Cinunuk kompak “ber-biopori” atau ramai-ramai membuat lubang biopori. Kegiatannya berlangsung di lapangan sepak bola Yayasan Bina Insan Baitul Manshurin Jl. Cijambe RW 07 Desa Cinunuk. Mereka kompak membuat lubang biopori usai mengikuti pelatihan dan pembagian alat biopori di GOR yayasan tersebut yang diselenggarakan Pamerintahan Desa Cinunuk.

Kegiatan yang dibuka Kades Cinunuk H. Sesep Ruhiat tersebut dihadiri Kepala Dinas Lingkungan Hidup (LH) Kabupaten Bandung, Asep Kusumah, Camat Cileunyi, Solihin, BPD, Bhabinkamtibmas dan Babinsa Desa Cinunuk. Sesep Ruhiat dalam pembukaan pelatihan dan pemberian alat biopori bagi 29 RW dan 195 RT tersebut mengatakan, kegiatan yang dibiayai dari anggaran Dana Desa (DD) tersebut terkait dengan penanganan lingkungan hidup, baik sisi penanganan sampah, resapan air, maupun banjir. (visinews, Sabtu,16/11/2019).

Masih dari laman yang sama H. Sesep menuturkan, acara pelatihan dan pemberian alat biopori dimaksudkan sebagai upaya “raksa desa” (menjaga desa). Sementara Kadis LH Kabupaten Bandung, Asep Kusumah saat memberikan apresiasinya kepada Kades Cinunuk, H. Sesep, mengatakan bahwa kegiatan ini termasuk kegiatan mulia demi kelestarian alam, lingkungan hidup dalam penanganan sampah. Bahkan, sebelumnya Dinas LH Kabupaten Bandung telah meluncurkan gerakan masyarakat penanganan lingkungan yang dinamakan “Sajiwa” atau Sabilulungan Hiji Dua. Gerakan penanganan lingkungan ini diklaim akan menumbuhkan semangat masyarakat  menanam pohon untuk mengurangi dampak kerusakan lingkungan. Gerakan Sajiwa ini, kata Asep merupakan gerakan masyarakat yang masih terintegrasi dengan gerakan lingkungan lainnya yang pernah diluncurkan. Berbicara mengenai masalah lingkungan atau sampah, lanjut Asep, pada umumnya masyarakat hampir merasa tidak berdaya. Padahal, lanjut beliau, ada hal-hal yang bisa dilakukan secara individu. “Gerakan Sajiwa ini dapat dianalogikan satu orang menanam dua pohon, satu rumah membuat dua LCO/LRB (Lubang Cerdas Organik/Lubang Resapan Biopori). Ini seperti kecil manfaatnya, namun jika dilakukan bersama-sama secara masif akan berdampak sangat besar terhadap lingkungan,” ujarnya.

Saat ini, isu dan permasalahan lingkungan terus berkembang dan semakin kompleks. Bertambahnya jumlah penduduk dan kebutuhan umum pasti akan berpengaruh terhadap tingkat pembangunan suatu wilayah. Semakin banyaknya lahan terbangun maka tingkat alih fungsi lahan juga semakin tinggi dan Ruang Terbuka Hijau (RTH) semakin berkurang. Pengalihan fungsi lahan tersebut dapat berdampak negatif terhadap lingkungan, bahkan dapat menyebabkan bencana alam yang tentunya merugikan manusia.

Salah satu bencana yang mungkin terjadi akibat pengalihan fungsi lahan dan berkurangnya RTH adalah banjir. Banjir dapat dijumpai di wilayah perkotaan maupun pedesaan. Tentu saja banjir yang terjadi akan berdampak pada banyak aspek, baik terhadap wilayah yang terkena banjir itu sendiri maupun wilayah disekitar tempat banjir. Melihat dari buruknya dampak banjir, maka sebagai manusia yang harus bertanggung jawab atas kelestarian alam, kita harus berupaya menanggulangi dan sebisa mungkin mencegahnya. Pengalihan fungsi lahan dan berkurangnya RTH dapat mengurangi daya resap tanah terhadap air, sehingga air hujan akan mengalir dipermukaan dan berakhir di sungai dan di suatu daerah yang terdapat cekungan tanah maka air tersebut akan tergenang. Kapasitas sungai untuk menampung limpasan air permukaan ada batasnya, sehingga apabila limpasan air permukaan melebihi batas maka bisa terjadi banjir.

Banjir sudah tidak bisa dipungkiri lagi di saat musim penghujan tiba. Di beberapa daerah di Indonesia banjir sering melanda saat musim hujan tiba dan permasalahan ini sampai sekarang belum bisa diselesaikan dan tidak bisa diatasi oleh negara khususnya di daerah yang sering terkena banjir. Ternyata masalah banjir sudah dibahas dalam al-Quran. Diceritakan dalam alqur'an bahwa kaum 'Ad, negeri Saba dan kaumnya nabi Nuh pernah menjadi korban banjir. Dan juga terdapat kisah-kisah dari beberapa surat-surat di dalam al quran, seperti surat Hud ayat 32-49, Al 'Araf ayat 65-172 dan surat Saba' ayat 15-16.
“Sesungguhnya bagi kaum Saba' ada tanda (kekuasaan Tuhan) di tempat kediaman mereka yaitu dua buah kebun di sebelah kanan dan di sebelah kiri. (kepada mereka dikatakan): Makanlah olehmu dari rezeki yang (dianugerahkan) Tuhanmu dan bersyukurlah kamu kepada-Nya. (Negerimu) adalah negeri yang baik dan (Tuhanmu) adalah Tuhan Yang Maha Pengampun".
“Tetapi mereka berpaling, maka Kami datangkan kepada mereka banjir yang besar dan Kami ganti kedua kebun mereka dengan dua kebun yang ditumbuhi (pohon-pohon) yang berbuah pahit, pohon Atsl dan sedikit dari pohon Sidr.” (TQS. Saba : 15-16)

Jadi,  dalam kacamata syara  banjir terjadi akibat manusia telah membangkang perintah Allah. Tetapi bila kita lihat secara ekologis banjir dapat terjadi karena kesalahan manusia dalam memperlakukan alam sekitar. 

Musibah banjir memanglah tidak murni karena qadha Allah Swt, namun berkaitan juga dengan perilaku manusia sekaligus sistem. Pengrusakan hutan serta alih fungsi lahan tanpa aturan yang benar menjadi salah satu penyebab terbesar musibah itu muncul. Terlebih lagi kebijakan dan paham yang diadopsi suatu negara yang bertentangan dengan syariat Islam.

Saat ini, dimana paham kapitalisme ada di tengah umat, beragam masalah terus muncul tanpa bisa dihindarkan. Solusi yang ditawarkan pun tak lebih sekedar solusi tambal sulam. Satu sisi ingin memberikan kenyamanan dan kemajuan, tetapi justru membawa masalah baru. Beberapa lahan produktif semisal pertanian dialihfungsikan sebagai tempat wisata, industri, apartemen, mall dan lain sebagainya hingga sulitnya terbentuk area resapan. 

Kondisi tersebut akan terus berlanjut dengan menciptakan jejak-jejak masalah dan kesengsaraan jika tak bersegera kembali pada aturan Islam. Hanya Islam lah solusi atas setiap masalah, termasuk banjir. Begitupun dengan program biopori yang digulirkan akan menjadi solusi parsial. Membantu menyelesaikan banjir dalam skup kecil tapi tak mampu mengatasi banjir dalam skala nasional.

Islam dan sistemnya (khilafah) memiliki kiat dalam upaya mengatasi banjir yang mencakup sebelum, ketika dan pasca banjir. Seperti membangun bendungan-bendungan untuk menampung curahan air hujan, curahan air sungai dll. Memetakan daerah rawan banjir dan melarang penduduk membangun pemukiman di dekat daerah tersebut. Pembangunan sungai buatan, kanal, saluran drainase dan sebagainya yaitu untuk  mengurangi penumpukan  volume air dan mengalihkan aliran air, membangun sumur-sumur resapan di daerah tertentu. Selain beberapa solusi di atas khilafah juga menekankan beberapa hal penting lainnya pembentukkan badan khusus untuk penanganan bencana alam, persiapan daerah-daerah tertentu untuk cagar alam. Sosialisasi tentang pentingnya kebersihan lingkungan dan kewajiban memelihara lingkungan, kebijakan atau persyaratan tentang izin pembangunan bangunan. Pembangunan yang menyangkut tentang pembukaan pemukiman baru. Penyediaan daerah serapan air, penggunaan tanah dsb. Itulah berbagai solusi dari masalah banjir   yang sering dihadapi masyarakat. Selain beberapa poin-poin diatas, rupanya khilafah juga menyertakan solusi penanganan korban banjir seperti penyediaan tenda, makanan, pengobatan dan pakaian serta keterlibatan warga (masyarakat) sekitar yang berada di dekat kawasan yang terkena bencana alam banjir. Begitulah solusi Islam atasi banjir dan kebijakan khilafah Islamiyah ini tidak hanya didasarkan pada pertimbangan rasional tetapi juga nash-nash syara.

Wallahu a'lam bi ash shawab.

Post a Comment

Previous Post Next Post