Sertifikasi Siap Kawin, Solusi atau Fantasi?

Oleh : Sumiati 
Praktisi Pendidikan dan Member Akademi Menulis Kreatif 

Jakarta, CNN Indonesia -- Pemerintah, melalui Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK), Muhadjir Effendy, berencana membuat program sertifikasi persiapan perkawinan berupa kelas atau bimbingan pranikah wajib bagi setiap pasangan. Rencananya program ini berlaku pada 2020 dan Pemerintah tidak akan memungut biaya untuk program tersebut alias gratis.

Namun tak semua orang setuju dengan rencana program ini. Ada yang menyebut program tersebut dibutuhkan, tapi tak sedikit yang menganggapnya hanya menambah repot persiapan pernikahan bagi calon mempelai.

Sebagian warga mengaku tak asing dengan program pembekalan sebelum menikah atau pranikah. Beberapa calon pengantin memang ada yang sudah melakoni. Bahkan dalam prosesi pernikahan pemeluk agama tertentu, misalnya Katolik dan Protestan, hal tersebut wajib hukumnya.

Sementara ada juga jenis pembekalan pranikah melalui seminar. Sebagian berbayar tapi ada pula yang gratis.

Kebetulan belaka, beberapa bulan terakhir Fransiska Asisi Tiur (32) berburu info mengenai pembekalan pranikah. Ia memperkirakan satu atau dua tahun ini segera meresmikan hubungan dengan sang kekasih.

"Katanya sekitar sebulan sebelum [pernikahan] pembekalannya. Sekali seminggu. Habis itu baru daftar ke gereja. Doakan saja," ungkap Fransiska saat ditemui CNNIndonesia.com di kawasan Cawang, Jakarta Timur, Kamis (14/11).

Ia mengaku baru mendengar soal rencana pemerintah membuat program pranikah. Akan tetapi, agama yang ia anut, yakni Katolik, memang mewajibkan calon pasangan suami istri mengikuti pembekalan pranikah.

Jadi Fransiska setuju saja jika pemerintah pun membuat program serupa. Meski begitu, masih menyimpan tanya apakah ia wajib mengikuti kedua-keduanya.

"Karena itu sangat bermanfaat untuk mengetahui persiapan, lalu untuk setelah menikah. Saya rasa sangat penting. Kalau di kami [Katolik], pembekalan pranikah itu wajib," tutur Fransiska.

Warga lain, Trista Prasidya (30) mengungkapkan antusiasme serupa. Program pranikah ia anggap penting untuk membekali calon pasangan suami-istri, memberikan gambaran masalah yang akan dihadapi saat berumah tangga kelak. Apalagi, selama ini menurut dia, seminar pranikah juga banyak menyedot peminat.

"Bagus sih, setuju kalau ada program itu. Apalagi gratis. Soalnya biasanya seminar pranikah suka ada yang bayar kan," sambung Trista.

Ia menyarankan pemerintah untuk proaktif menyosialisasikan program tersebut ke media sosial. Tentu demi motif dan tujuan dari rencana itu dipahami oleh masyarakat secara umum.
"Soalnya kalau program pemerintah di sosmed kurang promo," imbuh dia lagi.

Tentu tak semua setuju. Warga lain, Hertanto (34) justru menganggap program ini tak perlu. Sebab menurut dia, setiap pasangan yang hendak menikah harusnya sudah memahami seluk-beluk hingga tujuan sebuah pernikahan.

"Mungkin akan ada efeknya untuk sebagian pasangan, tapi saya sih kayaknya enggak ya. Karena saya termasuk orang yang paham tentang tujuan pernikahan itu apa," tuturnya.
Hertanto lebih setuju jika bimbingan diisi materi penyusunan perjanjian pranikah.
"Bisa, kalau seandainya pisah anak ikut siapa, terus tentang harta gono gini juga," sambung dia.

Jika materi sekadar pengetahuan umum menyongsong kehidupan berumah tangga, ia membayangkan program pranikah hanya akan menambah ruwet persiapan perkawinan jika diwajibkan kepada calon pengantin.

"Pelatihan kayak gini cuma ngeribetin saja. Kalau diwajibkan, ya mending enggak usah nikah saja," Hertanto berseloroh.

Suara keberatan sekaligus mempertanyakan juga diungkapkan Renata (34), yang mengaku sudah sempat melakoni pembekalan pranikah enam tahun silam.

Menurut dia, setiap pasangan sudah pasti punya persiapan khusus. Dia juga mengetahui bahwa sebagian agama, seperti Kristen dan Katolik, sudah memiliki program kursus pranikah yang berisi tentang bimbingan
"Jadi cukup lah negara urusan administrasi aja," tuturnya.

Program yang rencananya berlaku di seluruh Indonesia ini akan dibuat dengan sistem pelatihan. Menurut Menko PMK, Muhadjir, pasangan akan dilatih pelbagai pengetahuan mulai dari mengelola emosi, kesehatan reproduksi hingga keuangan.

Warga lain asal Bekasi, Maharani (27) mengusulkan materi pembekalan sebaiknya tak berkutat pada motivasi atau nasihat pernikahan. Ia merasa perlu ada materi lain misalnya soal kekerasan dalam rumah tangga (KDRT).

"Bagaimana jika terjadi KDRT dalam rumah tangga. Apa yang harus dilakukan istri? Bagaimana kalau ada pemaksaan dalam seks? Jangan cuma yang baik-baiknya saja," imbuh Maharani.

Maharani juga menilai sebaiknya pemerintah tak berekspektasi program pranikah mampu menurunkan angka perceraian.

"Kalau aku bakal menganggap itu formalitas saja," tambah perempuan yang sehari-hari bekerja di perusahaan multinasional tersebut.

Don Purba (30) memahami maksud baik pemerintah untuk memastikan kesiapan para pasangan. Namun, ia tak sepenuhnya yakin setiap orang mau mengikuti program pranikah.

"Orang mau menikah saja persiapannya kan sudah repot," ucap dia.

"Di agama Kristen juga ada konseling pranikah, kalau nggak salah sih, soalnya saya belum menikah. Jadi double dong [dengan program pemerintah]?" kata Don seraya bertanya.

Apa yang disampaikan Menko PMK, sesungguhnya tidak mendasar, jika ini dilakukan untuk menjadi solusi tentu jauh dari fitrah manusia yang benar. Ada batasan usia untuk menikah saja sudah tidak tepat, apalagi dengan sertifikasi siap kawin.

Hal ini akan menimbulkan masalah baru bagi Indonesia. Apakah Menko PMK, tidak mempertimbangkan bagi yang tidak lulus sertifikasi.  Faktanya  banyak yang menggunakan sertifikasi sebagian besar tidak lulus. Fakta sertifikasi dalam hal lain yang lulus hanya sebagian kecil, jika sertifikasi ini diberlakukan untuk pernikahan tentu akan sangat menjadi beban bagi masyarakat Indonesia,  terlebih masyarakat Indonesia masih ada yang tidak mampu membaca dan menulis, ditambah aqliyah yang kurang, bagaimana bisa melewati sertifikasi dulu. Seharusnya penguasa membuat program yang lain, dan program tersebut menjadikan rakyat cerdas. Kalau memang penguasa mencintai rakyatnya. 

Tidak terbayangkan masa depan kaum muda Indonesia, jika mereka tidak lulus sertifikasi, bisa jadi pilihan berzina untuk menyalurkan nalurinya. Hal ini tentu berbahaya bagi bangsa kita.

Terlebih lagi jika program ini ditunggangi kaum liberalis, untuk memuluskan rencana yaitu dengan program terselubung, melakukan manuver dan hal ini tidak diketahui masyarakat. Sebelum program ini diberlakukan, alangkah baiknya jika dikaji kembali bagaimana menurut syariat Islam. 
Jika ada sebagian orang dari non muslim setuju program ini diberlakukan, tentu bukan alasan utama untuk meluluskan program ini.

Bagaimana dengan sistem Islam? 
Islam sistem  menyeluruh mengatur urusan kehidupan, tak terkecuali persiapan pernikahan putra-putri mereka, orang tua memiliki kewajiban untuk mendidik anak-anak mereka agar mampu menjalani kehidupan di masa yang akan datang, baik pendidikan agama maupun yang lainnya. Jika dalam setiap keluarga sudah dibentuk pendidikan Islam, ibu menjadi ummu warabatul bait, mengatur rumah tangga dan menjadi guru pertama bagi anak-anaknya, tentu saja anak perempuan  mereka akan siap menjalani kehidupan di masyarakat atau ketika menikah,  karena melihat sosok ibu yang menjadi teladannya, ayah menjadi kepala keluarga yang bertanggung jawab atas seluruh keluarga baik agama maupun materinya, maka anak laki-laki mereka pun akan siap membina rumah tangga, menjadi pemimpin dan pengayom karena sudah melihat sosok ayahnya yang luar biasa, yang pasti tidak dibutuhkan sertifikasi. 

Jika dalam setiap keluarga sudah dibentuk pendidikan Islam, dimana seorang ibu menjadi ummu warabatul bait dan guru pertama bagi anak-anaknya. Hal ini tentu saja akan memudahkan seorang anak perempuan siap menghadapi berbagai tantangan kehidupan di masyarakat. Pun demikian ketika menjelang pernikahan tiba. Sebab mereka melihat contoh teladan dari kedua orangtuanya ibu serta ayahnya yang bertanggungjawab. Sosok ayah menjadi contoh terbaik dalam menjalankan peran sebagai kepala keluarga yang bertanggung jawab atas seluruh keluarga baik agama maupun nafkah yang. Seorang anak laki-laki mereka pun akan siap membina rumah tangga, menjadi pemimpin dan pengayom karena sudah melihat sosok ayahnya yang luar biasa. Dengan demikian sertifikasi tidak perlu  diadakan. 

Terciptanya hal yang demikian hanya bisa di sistem Islam yang sempurna praktis dan tidak banyak birokrasi.

Wallahu a'lam bishshawab

Post a Comment

Previous Post Next Post