FROM MAKSIAT TO TAAT

Oleh  : Nurwanti

***
“Ibu...,” sapaku lirih ketika kudapati ibu di sisi tempat tidurku. 
“Maafin  Leha ya, Bu?” lanjutku sedikit bergetar.
“Nduk...Cah Ayu, anak Ibu, iya,” ibu tersenyum dan membelai lembut pundakku dengan penuh kasih. Ya Allah...ampuni aku! Tangan ini yang kemarin aku tepiskan dengan kasar kini memberikan ketenangan. Mataku kian memanas mengingatinya. 

 “Leha banyak berdosa sama Ibu dan Bapak. Hanya menyusahkan saja,” kutahan sekuat mungkin air mata ini agar aku mampu mengakui semua dosa ini kepada ibu dan bapak, memohon ampunan dan ridhonya.

“Nduk...jangan berpikir macam-macam. Ibu dan Bapak sudah ridho. Sholehah ndak ada salah sama Ibu dan Bapak lagi. Sudah Ibu maafin semuanya,” hibur ibu memelukku.
“Sekarang, berdoa! Mohon sama Gusti Allah untuk memberikan kesembuhan yo, Nduk?” bisiknya halus. 

Tubuhku semakin gemetar, hatiku serasa terisris menyaksikan senyum ibu yang begitu tulus. Aku merasa tak pantas mendapatkan semua itu dari ibu. Aku anak yang sungguh tidak tahu diri, pendosa, dan tidak tahu bersyukur. Begitu besar rasa kasih sayang ibu kepadaku. Namun, aku tega menyakitinya bahkan menyeretnya ke lembah hina, neraka jahanam. Aku...aku sungguh durhaka. Ingin rasanya aku berlari jauh, bersembunyi atau ditelan bumi, aku malu. Aku malu kepada ibu dan bapakku, kepada semua orang, kepada dunia. 

 ***
“Leha, Nduk...mau ke mana, pagi-pagi sudah rapi?” Tanya Ibu ketika aku keluar dari kamar. 
“Ibu...Leha lagi...Leha lagi...Echa, Bu,” aku sebel dengan panggilan “Leha”.  Aku lebih suka dipanggil “Echa”
“Iya, mau ke mana?”
“Ada acara,” Jawabku singkat. 
“Di mana?” lanjut ibu berhenti dari melap piring-piring di meja makan. 
“Basecamp,” jawabku tak acuh. 
 “Mau manggung lagi? Sarapan dulu, ya?” lanjut ibu cekatan mengambilkan sarapan untukku. 
“Nggak usah, ntar sarapan di sana aja, udah telat.” 
“Sedikit aja, Nduk,” sahut ibu seraya menyodorkan sesendok nasi ke mulutku.
“Ah...Ibu,” tepisku bersamaan dengan klakson sepeda motor Andika.
“Tuh kan bener, Andika dah jemput, Berangkat dulu ya, Bu.”
“Nduk...hati-hati di jalan, berdoa ya, jangan lupa sholat. Assalamualaikum,” berondong ibu tergopoh-gopoh mengikutiku sampai ke pintu.
“ya, waalaikumussalam,” jawabku sekenanya sembari kulambaikan tangan. Kebiasaanku, selalu lupa mengucap salam terlebih dulu ketika hendak pergi.

***
Ulang tahun Andika -teman laki-lakiku- tahun ini kami rayakan di basecamp (tempat berkumpul dan latihan grup bandku). Di basecamp sudah berkumpul Farra, idho, Rafael, dan Arman. Mereka adalah teman satu sekolahku tapi berbeda program keahlian. Kami membentuk grup band setelah bersama-sama tergabung dalam kegiatan ekskul Band di sekolah. Aku vokalis di grup bandku, meski ibu dan bapakku tidak menyetujuinya. Tapi aku tidak peduli. Berulang kali bapak menegurku. Tak bosan ibu menasihatiku untuk berhenti dari kegiatanku. Tapi...kuabaikan semua nasihat mereka. Bahkan, seringkali nasihat mereka aku jadikan olok-olokan di antara teman grupku. 

***
Untuk merayakan ulang tahunnya kali ini, Andika menjamu kami dengan “pesta” kecil. Beberapa makanan instan dan minuman “soft” yang biasa membawa kami “terbang” mengukir khayalan. 

“Cha...keluar yuk!” ajak Andika tiba-tiba.
“Hah...apa?” tanyaku agak kaget.
“Jalan, keluar...”lanjutnya dengan isyarat mengajakku tuk pergi.
“Guys...aku keluar bentar ya ma Echa....Kalian lanjutin ja pestanya,” pamit Andika tanpa menunggu jawabanku.

“Kemana, Boy?” Tanya Idho.
“Idho...kepo luh...?” jawab Arman.
“Halaaaah...Idho...pingin tahu pa pingin ikut?” timpal Farra.
“Bener...pingin tau aja, kok,” jawab Idho dengan wajah polosnya. 

“Udah, Dik. Sana pergi aja, ga usah peduliin Idho, kami nungu di sini, jangan lama-lama, ya?” sahut Rafael.
“Iya...iya....” Sembari berdiri Andika menarik tanganku.
“Yuk...Cha, keburu mereka berubah pikiran, ga jadi kita pergi,” lenggang Andika berlalu dengan menggamit tanganku. Terburu-buru aku mengikuti langkahnya.

“Kemana sich...?” tanyaku.
“Ngerayain ultahku, dong?” jawabnya santai sambil terus melenggang menuju sepeda motor diparkir.
“Khan, ini kita lagi ngerayaain ultahmu?” tanyaku sedikit ngeyel.
Tiba-tiba Andika menghentikan langkahnya dan berbalik ke arahku. 
“Kali ini aku pingin ngerayainnya sama kamu aja,” bisiknya pelan.

 ***
Tok...tok...tok...
“Iiih...lama banget sich...kemana Ibu,” gerutuku. Berkali-kali kuketuk pintu rumah, tapi tak ada sahutan dari dalam.

“Ibu...Ibu...Ibu...!” panggilku.
“waalaikumussalam,” sayup suara ibu membukakan pintu. 
“Ibu...lama banget sich bukanya!” sungutku langsung menuju kamar.
“Iya maaf, Ibu lagi di belakang kasih makan ayam. Mandi ya?”  

Tak kupedulikan tawaran ibu, aku terus saja ngeloyor ke kamarku.
Kurebahkan tubuhku di kasur. Aku lelah, sungguh lelah. Kantukpun menyerangku.

“Nduk...mandi dulu sana, jangan tidur, hampir maghrib!” 
Tiba-tiba Ibu sudah di depanku.
“Selesai mandi trus makan, sudah Ibu siapkan. Oya, sudah sholat Asar?” tanya Ibu.
“Sudah,” jawabku bohong sambil berlalu ke kamar mandi.


***
“Cha...kamu ga papa khan?” tanya Dika saat kami bertemu di kantin sekolah.
“Maafin aku ya, Cha. Aku nggak sengaja. Aku bakalan bertanggung jawab, kok,” Dika memelas di depanku. 

Sekilas kuperhatikan raut wajahnya. Tampak rasa khawatir dan takut bercampur.
“Idih..apaan sich. Aku nggak papa, kok. Santuy aja kali...,” sahutku melambaikan tangan di depannya.
“Trus...gimana, bulan ini kamu dah dapet?” tanyanya lagi.
“Baru ja pagi ini, emang kenapa?” jawabku mengangkat bahu cuek.
“Alhamdulillah...,” serunya lega menangkupkan kedua telapak tangannya ke muka. Hilang sudah rasa khawatir dan takut dari wajahnya.

Namun, tiba-tiba ada yang menghunjam di hatiku. Sakit dan perih tiba-tiba hadir. Kecewa dan khawatir mampir di serambinya. Ada apa dengan hatiku? Kenapa ucapan “Alhamdulillah” yang keluar dari bibir Andika melukaiku? Kudukku meremang, detak jantungku serasa berhenti, aliran darahku membeku seketika. Nanar kupandangi wajah Andika, yang kini sedikitpun tak menyiratkan rasa bersalah. Tanda-tanda penyesalanpun sudah tidak lagi berbekas. Mual, jijik, dan sakit silih berganti mengisi hatiku.

“Alhamdulillah” terngiang kembali. Panas seketika menjalar dari pipi ke telingaku. Terus naik hingga ubun-ubun. Dadaku terasa sesak, tersengal napasku. Ingin sekali aku meluapkan amarah ini. Tapi, aku sudah cukup mual dengan sikapnya. 

Akupun bergegas pergi meninggalkan Andika yang bingung. Aku tidak mau mualku menjadi muntah. Aku tidak mau detak jantungku benar-benar berhenti. Dan aku tidak mau air mataku tumpah di hadapan orang yang kini sangat aku benci. Aku benci Andika. Sungguh benci. “Alhamdulillah” yang membuatku membencinya.

***
“Cha...ada apa?” sapa Farra memegang pundakku. 
“Kenapa menangis? Di Toilet lagi?” lanjutnya.
“Nggak papa, Ra” jawabku singkat. “Cerita, Cha,” desaknya. 
“Nggak papa, Ra. Terima kasih,” kuhapus air mataku yang tadi tak mampu aku tahan.
“Yuk...!” ajakku kepada Farra sembari beranjak dari Toilet.

*** 
 Jarum sudah menunjukkan pukul 23.00 WIB. Tapi mataku terus terpicing. Pikiranku mengembara ke peristiwa yang lalu. Apa yang sudah aku lakukan? Kenapa aku ceroboh? Kenapa aku bodoh? Aku benci...! Kenapa dengan mudahnya aku terjebak dalam rayuan Andika? Bahkan, kini aku muak dengan sikap Andika. Betapa menjijikkan, mengucap “Alhamdulillah” setelah berbuat dosa?  Ya Allah....
Kututup muka ini dengan bantal. Aku malu. Malu padamu ya...Allah! Aku berlumur dosa. Ampuni aku ya... Allah! 

Kubuka jendela kamarku. Dingin udara malam menyeruak masuk ke kamarku. Sedikit membuat lega napasku. Kudongakkan kepalaku ke langit kelam, gelap, hanya beberapa bintang kemerlip jauh. Anganku melayang, pekatnya malam ini tak sepekat diriku. Masih ada bintang penghiasnya. Bagaimana denganku? 

Tiba-tiba aku menyadari, kotornya diriku, hinanya aku dan suramnya masa depanku. Terlebih, betapa mengerikannya menghadapi murka Allah karena perbuatanku. Ya Allah...ampuni aku! Masihkah tersedia ampunan-Mu? 

Aku terhenyak, bagaimana dengan ibu dan bapak jika mereka tau? Ya Allah...aku takut. Sungguh aku tak sanggup mengatakan kepada mereka. Bagaimana mereka menanggung malu atas perbuatanku? 

***
“Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa. Demikianlah Allah berfirman dalam Alquran surah Al-Imran ayat 133,” sayup-sayup suara Izza menyadarkanku dari lamunan.

“Jadi, marilah teman, kita sambut seruan Allah Al-Kholiq, bersegera kepada ampunan-Nya. Karena Allah selalu membuka pintu ampunan di siang hari untuk hamba yang bermaksiat di malam hari dan membuka pintu ampunan di malam hari untuk hamba yang bermaksiat di siang hari.” 

“Kesimpulannya, mari segera bertaubat, berhijrah, dan istiqomah dalam hijrah. Taat Tanpa Tapi” lanjutnya menutup literasi pagi ini.  

***
“Zaa...” gamang kusapa Izza, gadis berkerudung lebar yang sedang khusyuk dengan bacaan di tangannya.
“e... iya,” jawabnya, menoleh mencari suaraku. 

Kutarik kursi di depannya mendekat. Dengan sigap ia membantuku dan menutup buku ditangannya. 

“Za, bagaimana cara bersegera kepada ampunan Allah?” kumantapkan niatku meski suaraku mengambang, tercekat dikerongkongan.
“MasyaaAllah, alhamdulillah, Sholeha...!” serunya lirih meski tetap tak sembunyikan rasa surprise bercampur bahagia yang jelas kentara di kilau bola matanya. Cantik, anggun. Sungguh sempurna makhluk ciptaan Allah yang satu ini. Cantik di balik kesederhanaan. Anggun di balik kesahajaannya. 

Dialah satu-satunya teman yang memanggil namaku dengan lengkap, Sholeha, meski aku tak menyukainya. Tapi entahlah, hari ini aku tak pedulikan itu. Dan kini tanpa ragu ia raih tanganku, digenggamnya erat, seolah ingin mencari kepastian atas ucapanku.

 “Iy..iya, Zaa,” gugup aku dibuatnya.
 “Aku ingin taubat, hijrah, dan istiqomah hingga kudapat husnul khotimah seperti nasihatmu.”

Kurasa pipiku hangat dan kedua mataku tak sanggup lagi sembunyikan gelisah dan hentakan penyesalanku. Rasanya dadaku hendak meledak. Ingin aku menangis sejadi-jadinya. Mengakui dosa yang tak henti menghantuiku. Aku tak tau, kenapa dia yang kupilih tuk tumpahkan rasa sesakku ini.

“Sholeha...mungkin sebaiknya kita ke masjid yuk, di sini banyak temen,” ajaknya membimbing tanganku.

Bagai kerbau dicucuk hidungnya aku mengikuti Izza. Ada damai yang perlahan tapi pasti merasuk ke kalbuku seiring langkahku mengikuti Izza. Yup...final, kumantapkan niatku tuk berhijrah.

“Yuk...ambil air wudhu dulu,” ajaknya.
 “Aku sedang nggak sholat, Zaa” jawabku
“Nggak papa wudhu aja, yuk,” sambungnya. 
Kuikuti ajakannya meski dalam hati bertanya, ngapain wudhu toh nggak sholat? 

Selesai wudhu Izza sudah menungguku di serambi masjid yang menghadap ke jalan raya. Senyum masih tersungging di bibirnya yang polos dari polesan lipstik. Akupun duduk di sisi kanannya. Sejurus kami diam. Mungkin dia menunggu kalimat dariku. Sementara, aku sibuk mengatur gelisah dan debar hatiku. Bingung memilih kata tuk ungkapkan rasaku. Air mata yang sudah kubasuh dengan wudhupun mulai mengembang lagi. 

Izza menenangkanku dengan genggaman tangannya. Cerita pun mengalir dari bibirku diiringi dengan air mata. Dengan tetap tenang Izza menyimak ceritaku meski sesekali kulihat bola matanya membesar namun, cepat meredup. Ku tau Izza pasti terkejut dengan ceritaku. Namun, aku tak peduli. Begitupun, jika dia kemudian jijik dan membenciku atau mejauhiku setelah ini. 

Ada sedikit rasa lega setelah kuceritakan semua.

“Zaa, masihkah Allah membuka pintu maafnya, seperti yang kau sampaikan tadi, setelah semua yang kuperbuat?” tanyaku.
“InsyaAllah... Allah Maha Pengasih, Maha Penyayang, dan Maha Pengampun. Bahkan ampunan Allah mendahului murka-Nya.”
“Teman, bersyukurlah atas nikmat Allah ini,” tuturnya.
“Ya...nikmat Allah. Nikmat insyaf yang Allah telah berikan. Jangan sia-siakan. Apalagi  diabaikan,” sambungnya meyakinkanku. 

Sungguh...aku tidak salah menemui temanku ini. Dengan tanpa memandangku rendah, meski aku layak mendapatkannya, Izza justru memberiku semangat untuk bersegera pada ampunan Allah. Ia mengajakku tuk bergabung dengan komunitas ngajinya. Menuntunku mengenal kembali Allah yang telah lama aku abaikan. 

***
“Zaa, terima kasih sudah mau menuntunku. Kalau nggak ada kamu, mungkin aku....” 
“Sssst... nggak boleh bilang begitu. Bukan karena aku, tapi itu qodho Allah, oke?” sergahnya.
“Iya, makasih ya,” lanjutku terus memaksanya. 
Aku tak punya sesuatu yang pantas tuk kuberikan kepada Izzah, yang kini menjadi saudaraku, sebagai balasan atas kebaikkannya.

“Iya...iya..., Yuk...buruan!  Keputrian dah mau mulai nich. Ntar kita ketinggalan lho. Sayang banget khan?”lanjutnya.
“Iya, sayang banget ketinggalan salah satu Taman Surga, khan? Majelis ilmu yang dihadiri oleh malaikat yang senantiasa menunggu tuk ikut meng-aamiin-kan doa kita,” sahutku bersemangat melangkah ke Aula tempat kegiatan Keputrian Jumat dilaksanakan. 
“Na’am, sholihah cantik....”

“Eh...Zaa” kuhentikan langkah Izza sebelum memasuki aula. Izza pun berhenti.
“Nanti, doain aku istiqomah sampai akhir hayat hingga meraih husnul khotimah, ya,” pintaku memelas.

“Ukhtiy Sholehah, insyaAllah. Kenapa sih baper. Bukankah kita sama-sama tau, bahwa mendoakan saudara sesama muslim adalah hal yang dianjurkan. Karena doa itu salah satu doa yang tidak tertolak dan akan dikembalikan kepada kita dengan pengembalian yang sama atau lebih baik?” jelasnya.

“Iya, Zaa aku tau. Oleh sebab itu aku meminta padamu. Aku khawatir, kalau hari ini adalah hari terakhirku. Aku berharap akhirku baik, istiqomah dalam iman dan Islam,” lanjutku tertunduk.
“Kelak, jika tidak engkau temukan aku di surga, tolong tanyakan kepada Allah dan mintakan ampunan untukku ya, Zaa?” 

Entah kenapa ada desiran hangat yang kurasakan di seluruh nadiku saat kuucapkan itu.
Kembali Izza menggenggam tanganku, memberikan senyum seolah menyalurkan semangat dan rasa optimisnya kepadaku. 

***
“Cha...Cha...tunggu!” suara Dika di belakangku usai kegiatan keputrian. Aku mempercepat langkahku, menjauh dari Dika. 
“Cha...denger nggak sich? Tunggu!” susulnya berlari dan menarik lenganku. Kutepis seketika tangannya dengan keras. 

“Kenapa sich, Cha? Kok kamu berubah, jelasin dong!” tanya Dika menghentikan langkahku.
“Ka, maaf.  Keputusanku sudah bulat, kita akhiri hubungan kita,” tandasku tegas.
“Tapi kenapa Cha? Aku mau penjelasan yang logis, alasannya gitu kek,” sambungnya.
“Karena Allah, Ka.. Tidak ada alasan lain. Cukup karena Allah,” ulangku.
“Cha...!” 
“Maaf, Assalamualaikum,” potongku seraya berlalu.

 Kutinggalkan Dika begitu saja.  Aku tak peduli bagaimana reaksinya. Aku sudah mantap dengan keputusanku, meskipun rasa takut akan goyah terkadang menghampiriku. “Nggak boleh...! Kamu nggak boleh lengah lagi, Leha,” seru batinku. 

Aku harus berusaha untuk terus istiqomah. “Ya... Allah, mudahkan aku membalas cinta-Mu dengan pengabdianku. Ya...Allah, ridhoi taubatku. Mudahkan jalan istiqomahku,” doaku sepanjang langkah menjauhi Andika. Istighfar dan tasbih terus kulantunkan mengiringi langkah kakiku. Tergesa ku menuju kelas Farra.

***
“Ra, ini BTS (Buletin Teman Surga) pesananmu,” kusodorkan beberapa lembar sesampainya di meja Farra.
“Kulebihkan beberapa, bagiin ke temen yang lain, ya!” lanjutku.
“Yoi...siiaaap. Makasih ya , Cha, eh..Ha’,” jawabnya. Ha’...ya sapaan Farra untukku kini. Dan akupun senang dengan sapaan itu. Akupun langsung pamit, tuk kembali ke kelasku. 
“Oya, Ra...jangan lupa, sore ini kita kajian, ya? Assalamualaikum.”
Kuayunkan langkahku menuju pintu. Namun, tiba-tiba banyak kunang di kepalaku, bumi serasa berputar, kakiku lemas tak sanggup melangkah. Gelap...semuanya gelap.

***
Sesal, malu, benci, dan takut menguasai pikiranku. Seolah bersama menyerang rasa pasrah, ikhlas, dan ridho terhadap qodho yang dengan susah payah kutanamkan dalam benakku. Ya...Allah jagalah aku dari sikap berputus asa. Aku ridho dengan qodho ini, meski harus badrest dengan selang infus di tangan. Aku yakin Allah mengampuni dosaku karena Allah Maha Pengampun. 

Namun, ada satu hal yang masih mengganjal di hatiku. Bagaimana dengan ibu dan bapak? Akankah mereka memaafkanku jika mereka tau perbuatanku? Haruskah aku mengakui semuanya untuk mendapatkan maaf  dari mereka? Tapi, itu artinya aku harus membuka aib. Sementara, bukankah Allah telah menutup aibku itu. Allah pun menjanjikan ampunan kepada orang yang tidak lagi berbuat dosa dan membuka aibnya sendiri? Aku bingung. Apa yang harus aku lakukan kini. Bahkan, sekedar menatap ibu dan bapak saja aku malu. Aku tak sanggup melihat mereka terluka. 

Ya Allah...berikan petunjukmu! Aku mohon ampuni dosaku, maafkanlah kesalahanku! Aku berlindung dari murka-Mu dan selamatkan aku dari siksa-Mu. 
Allahummaghfirli dunubi waa liwalidayya warhamhuma kamaa robayyanii soghiro. Allahumma inni as’alukal husnul khotimah. Ashaduan laa ilaha illallah wa ashaduanna Muhammadarosulullah.

***

Post a Comment

Previous Post Next Post