Lagi, Asap Menyerang Kota Palembang

Oleh: Fitri Suryani, S.Pd
(Guru Asal Kabupaten Konawe, Sulawesi Tenggara)

Seakan tak pernah padam masalah asap yang menyerang negeri tercinta ini. Sebagaimana warga Palembang kembali terpapar asap sisa kebakaran hutan dan lahan (karhutla). Kualitas udara di Kota Palembang, Sumatra Selatan hari ini kembali memasuki kategori tidak sehat. 

Berdasarkan data pengukuran PM10 dari situs Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) mengumumkan kondisi asap dampak kebakaran hutan dan lahan (karhutla) saat ini di Sumatera Selatan, terutama Palembang, mencapai titik berbahaya. Sebab konsentrasi PM10 pada Senin (14/10) berada di atas 800 mikrogram permeter kubik.

Dalam keterangan tertulisnya, BMKG menyebut sumber dari Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) Tanggal 14 Oktober 2019 tercatat beberapa titik panas di wilayah sebelah Tenggara Kota Palembang dengan tingkat kepercayaan di atas 80% yang berkontribusi asap ke wilayah Kota Palembang yakni pada wilayah Banyu Asin 1, Pampangan, Tulung Selapan, Pedamaran, Pemulutan, Cengal, Pematang Panggang dan Mesuji (Cnnindonesia.com, 14/10/2019).

Kasus tersebut tentu bukan yang pertama kalinya. Mestinya bisa menjadi pelajaran betapa banyak sekali dampak negatif yang ditimbulkan dari adanya kebakaran hutan dan lahan tersebut. Padahal bagi yang sengaja melakukan pembakaran hutan, baik yang dilakukan oleh individu, bahkan korporasi terdapat ancamannya, yakni sebagaimana yang tercantum dalam pasal 78 ayat 3 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang kehutanan. Ancaman hukumannya yaitu, 15 tahun penjara dan denda Rp 5 miliar.

Pertanyaannya adalah, apakah dengan adanya peraturan tersebut sudah efektif dalam meminimalisir pelaku pembakaran hutan yang dilakukan secara sengaja? Karena ternyata LSM lingkungan Greenpeace Greenpeace menemukan sejumlah perusahaan kelapa sawit dan bubur kertas yang diduga mengakibatkan kebakaran hutan dan lahan sepanjang 2015-2018 lolos dari sanksi perdata maupun sanksi administrasi serius. Padahal pada tahun ini, beberapa areal konsesi di antaranya kembali dilanda karhutla (Cnnindonesia.com, 25/09/2019). Hal itu tentu sangat disayangkan, karena aturan yang ada belum mampu memberantas para pengusaha yang tak sedikit bermain di baik semua itu.

Pembiaran itu menunjukkan minimnya pejabat berwenang dalam melakukan penegakan hukum terhadap kasus karhutla yang pelakunya kebanyakan dari pihak korporasi. Kalau sudah seperti itu, masih bisakah kita berharap pada hukum yang ada?

Selain itu, jika menengok pada sistem yang ada saat ini yakni kapitalisme, maka sesungguhnya kewenangan membuat hukum/aturan yaitu berasal dari manusia yang berdasarkan aspek kemaslahatan semata. Ditambah lagi dasar perekonomiannya berada di tangan para kapitalis. Jadi para kapitalis memiliki banyak andil dalam pembuatan kebijakan yang pastinya tidak sedikit pro pada mereka.

Tak hanya itu, kebakaran hutan dan lahan tentu memiliki dampak negatif bagi manusia. Dampak tersebut di antaranya: Pertama, bertambahnya jumlah penderita penyakit infeksi saluran pernapasan atas (ISPA) dan kanker paru-paru. Kedua, asap dapat menyebabkan aktivitas manusia lumpuh total akibat kebakaran hutan dan lahan. Ketiga, gangguan asap juga dapat mempengaruhi kelancaran transportasi darat, laut dan udara karena terbatasnya jarak pandang. 

Di sisi lain, adanya kebakaran hutan dan lahan pun dapat meyebabkan terbunuhnya satwa liar dan musnahnya tanaman baik karena kebakaran, gangguan asap atau rusaknya habitat. 

Penyebab kebakaran hutan ini sesungguhnya bisa dihindari, terutama yang disebabkan oleh ulah manusia yang tidak bertanggunga jawab. Hal itu bisa dicegah melalui tindakan preventif yang melibatkan banyak pihak di antaranya individu yang memiliki kesadaran akan pentingnya menjaga lingkungan dengan tidak melakukan pembakaran, walau dengan maksud membuka lahan. Begitu juga adanya pengawasan dari masyarakat yang membantu dalam melestarikan hutan.

Penting pula adanya tindakan kuratif dari pemerintah yang memiliki kekuatan hukum dengan  memberikan sanksi yang seberat-beratnya dan berefek jera kepada para pelaku, tanpa ada upaya tawar-menawar yang akan menguntungkan oknum tertentu.

Dengan demikian, penting adanya kerja sama antara masyarakat dan pemerintah dalam meminimalisir adanya kebakaran hutan dan lahan. Karena sejatinya efek pembakaran, manusialah yang paling merasakan dampak negatif dari adanya tindakan tersebut. Sebagaimana dalam alquran surah Ar-Rum ayat 41 yang artinya “Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan perbuatan tangan manusia, Allah menghendaki agar mereka merasakan sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)”. Wallahu a’lam bi ash-shawab.

Post a Comment

Previous Post Next Post