Perempuan: Ibu Generasi Ibu Peradaban

Oleh: Fita Erviana Sinta S.Pd


Maju tidaknya sebuah peradaban ditentukan pada perempuan. Dari tangan perempuanlah terlahir generasi penentu masa depan. Tidak terlalu berlebihan ketika ada pepatah mengatakan perempuan adalah tiang negara. Adanya mereka terwujudlah peran Ibu di sana. Tanpa mereka, Negara tak akan bisa menghasilkan generasi dambaan.

Dalam Islam perempuan memiliki kedudukan yang sangat mulia dan istimewa. Islam telah menempatkan perempuan pada dua peran penting dan strategis. Pertama sebagai ibu bagi generasi masa depan. Dan kedua sebagai pengelola rumah tangga suaminya. Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassallam bersabda “ Seorang wanita adalah pengurus rumah tangga suaminya dan anak-anaknya, dan ia akan dimintai pertanggungjawaban atas kepengurusannya” (HR. Muslim).

Perempuan yang menyadari aktivitas ini, akan memantaskan diri untuk menjadi seorang ibu yang hebat. Karena dipundaknya ada tanggungjawab menjadi seorang arsitek, yaitu arsitek peradaban. Dari rahimnya kelak melahirkan generasi masa depan yang gemilang, memberikan peran terbaik bagi peradaban.

Banyak kisah-kisah teladan perempuan yang diabadikan dalam Al-Qur'an dan Al hadits. Dalam sebuah hadist disebutkan  " Yang sempurna dari kaum lelaki sangatlah banyak, tetapi yang sempurna dari kaum wanita hanyalah Maryam binti Imran, Asiyah binti muzahim, Khadijah binti khuwailid dan Fatimah binti Muhammad. Sedangkan keutamaan Aisyah atas seluruh wanita adalah seperti keutamaan tsarid (roti yang diremukkan dan direndam dalam kuah) atas segala makanan yang ada.” (HR Bukhari). “Cukuplah wanita-wanita ini sebagai panutan kalian. Yaitu Maryam binti Imran, Khadijah binti khuwailid, Fatimah binti Muhammad dan Asiyah binti muzahim, istri fir’aun.” (HR Ahmad dan Tirmidzi). “Sebaik-baik wanita penduduk surga adalah Khadijah binti khuwailid, Fatimah binti Muhammad dan Asiyah istri fir’aun.” (HR Ahmad)

Ibunda Para Ulama
Membaca kisah hidup para ulama, para pembimbing umat dan masyarakat, kita akan menyaksikan bagaimana ibu mereka mendidik dan menanamkan karakter mulia kepada mereka. Ibu mereka menanamkan dasar-dasar agama dan pokok-pokok akidah islamiyah untuk buah hatinya. Lalu pribadi-pribadi mulia tertempa menjadi anak-anak akhirat bukan anak-anak dunia. Ketika kita lupa dan lalai terhadap peranan ini, maka akan lahirlah generasi yang gamang akidah dan agamanya. Generasi yang mudah terombang-ambing tak berprinsip.Mereka tergerus mengalir bersama zaman, terbang bersama hembusan angin pemikiran.

Sejarah kita mencatat contoh ibu-ibu yang istimewa.Ibu-ibu yang melahirkan tokoh-tokoh besar ulama Islam. Ibu-ibu yang yang tidak terjebak mengejar karier semu kehidupan dunia. Meninggalkan anak-anak dirumah dan menyerahkan pendidikan sepenuhnya pada institusi sekolah. Mereka inilah yang terdepan untuk dijadikan teladan.

Pertama: al-Khans, Tumadhar binti Amr bin al-Harits Ibu Para Mujahid
Ketika umat Islam bersiap dan menghitung jumlah pasukan menghadapi Perang Qadisiyah, saat itu pula al-Khansa bersama empat orang putranya siap berangkat bersama pasukan berjumpa dengan pasukan Persia.

Dalam sebuah kemah di tengah ribuan kemah lainnya, al-Khansa mengumpulkan keempat putranya.Ia berwasiat, “Anak-anakku, kalian memeluk Islam dengan penuh ketaatan dan hijrah dengan penuh kerelaan. Demi Allah, yang tidak ada sesembahan yang hak kecuali Dia, sungguh kalian terlahir dari ibu yang sama. Aku tidak pernah mengkhianati ayah kalian.Tak pernah mempermalukan paman kalian.Tak pernah mempermalukan nenek moyang kalian.Dan tak pernah pula menyamarkan nasab kalian. Kalian semua tahu balasan besar yang telah Allah siapkan bagi seorang muslim dalam memerangi orang-orang yang kafir. 

Ketahuilah (anak-anakku), negeri yang kekal itu lebih baik dari tempat yang fana ini. Allah Ta’ala berfirman,
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اصْبِرُوا وَصَابِرُوا وَرَابِطُوا وَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, bersabarlah kamu dan kuatkanlah kesabaranmu dan tetaplah bersiap siaga (di perbatasan negerimu) dan bertakwalah kepada Allah, supaya kamu beruntung.” (QS:Ali Imran | Ayat: 200).

Andaikata esok kalian masih diberi kesehatan oleh Allah, maka perangilah musuh kalian dengan gagah berani, mintalah kemenangan kepada Allah atas musuh-musuh-Nya”. Ketika sinar pagi telah terbit, kedua pasukan pun bertemu.Gugurlah orang-orang yang ditakdirkan gugur. Dan mereka yang ditakdirkan hidup, akan tetap hidup walaupun berangkat mencari kematian.

Usai peperangan, al-Khansa mencari kabar tentang putra-putranya.Kabar syahid anak-anaknya sampai kepadanya.Ia berkata, “Segala puji bagi Allah yang telah memuliakanku dengan kematian mereka. Aku berharap Rabku mengumpulkanku bersama mereka dalam kasih sayang-Nya.”

Kedua: Ibu Sufyan ats-Tsaury
Sufyan ats-Tsaury adalah tokoh besar tabi’ at-tabi’in.Ia seorang fakih yang disebut dengan amirul mukminin fil hadits (pemimpin umat Islam dalam hadits Nabi). Di balik ulama besar generasi ketiga ini, adaseorang ibu yang shalihah.Ibu yang mendidik dan menginfakkan waktu untuk membimbingnya.Sufyan mengisahkan, “Saat aku berencana serius belajar, aku bergumam, ‘Ya Rab, aku harus punya penghasilan (untuk modal belajar pen.)’.Sementara kulihat ilmu itu pergi dan menghilang.Apakah kuurungkan saja keinginan belajar. Aku memohon kepada Allah agar Dia (Yang Maha Pemberi rezeki) mencukupiku”. Beliau merasa bimbang jika menuntut ilmu, maka butuh modal dan bekal. Jika mencari modal dan bekal tidak bisa fokus belajar, karena ilmu itu mudah pergi dan menghilang.

Datanglah pertolongan Allah melalui ibunya. Ibunya berkata, “Wahai Sufyan anakku, belajarlah..aku yang akan menanggumu dengan usaha memintalku”. Ibunya menyemangati, menasihati, dan mewasiatinya agar semangat menggapai pengetahuan.Di antara ucapan ibunya adalah “Anakku, jika engkau menulis 10 huruf, lihatlah! Apakah kau jumpai dalam dirimu bertambah rasa takutmu (kepada Allah), kelemah-lembutanmu, dan ketenanganmu? Jika tidak kau dapati hal itu, ketahuilah ilmu yang kau catat berakibat butruk bagimu.Ia tidak bermanfaat untukmu”. Inilah di antara bentuk perjuangan ibu Sufyan ats-Tausry.

Ketiga: Ibu Imam asy-Syafi’i
Imam asy-Syafi’i wafat dalam usia muda. Ibunyalah yang membesarkan, mendidik, dan memperhatikannya hingga kemudian Muhammad bin Idris asy-Syafi’i menjadi seorang imam besar. Ibunya membawa Muhammad kecil hijrah dari Gaza menuju Mekah.

Di Mekah, ia mempelajari Alquran dan berhasil menghafalkannya saat berusia 7 tahun. Kemudian sang ibu mengirim anaknya ke pedesaan yang bahasa Arabnya masih murni. Sehingga bahasa Arab pemuda Quraisy ini pun jadi tertata dan fasih.

Setelah itu, ibunya memperhatikannya agar bisa berkuda dan memanah. Jadilah ia seorang pemanah ulung. 100 anak panah pernah ia muntahkan dari busurnya, tak satu pun meleset dari sasaran.

Dengan taufik dari Allah ﷻ kemudian kecerdasan dan kedalaman pemahamannya, saat beliau baru berusia 15 tahun, Imam asy-Syafi’i sudah diizinkan Imam Malik untuk berfatwa. Hal itu tentu tidak terlepas dari peranan ibunya yang merupakan seorang muslimah yang cerdas dan pelajar ilmu agama.

Imam asy-Sayfi’i bercerita tentang masa kecilnya, “Aku adalah seorang anak yatim. Ibukulah yang mengasuhku. Namun ia tidak memiliki biaya untuk pendidikanku… …aku menghafal Alquran saat berusia 7 tahun. Dan menghafal (kitab) al-Muwaththa saat berusia 10 tahun. Setelah menyempurnakan hafalan Alquranku, aku masuk ke masjid, duduk di majelisnya para ulama.Kuhafalkan hadits atau suatu permasalahan. Keadaan kami di masyarakat berbeda, aku tidak memiliki uang untuk membeli kertas. Aku pun menjadikan tulang sebagai tempat menulis". Walaupun memiliki keterbatasan materi, ibu Imam asy-Syafi’i tetap memberi perhatian luar biasa terhadap pendidikan anaknya.

Keempat:  Imam Ahmad bin Hanbal
Ibu Imam Ahmad bernama Shafiyah binti Maimunah binti Abdul Malik. Ayahnya wafat di usia muda, 30 tahun. Ibunya pun hidup menjanda dan enggan menikah lagi, walaupun usianya belum mencapai 30 tahun.Ia hanya ingin fokus memenuhi kehidupannya untuk anaknya. Buah usahanya adalah yang kita tahu saat ini.Imam Ahmad menjadi salah seorang imam besar bagi kaum muslimin.ia adalah imam madzhab yang empat. Semoga Allah merahmati ibu Imam Ahmad.

Kelima: Ibu Imam al-Bukhari
Imam al-Bukhari tumbuh besar sebagai seorang yatim.Ibunyalah yang mengasuhnya.Ibunya mendidiknya dengan pendidikan yang terbaik.Mengurus keperluannya, mendoakannya, dan memotivasinya untuk belajar dan berbuat baik.

Berusia 16 tahun, ibunya mengajak Imam al-Bukhari bersafar ke Mekah.Kemudian meninggalkan putranya di negeri haram tersebut. Tujuannya agar sang anak dapat menimba ilmu dari para ualma Mekah. Dari hasil bimbingan dan perhatian ibunya, jadilah Imam al-Bukhari seperti yang kita kenal saat ini.Seorang ulama yang gurunya pernah mengatakan, “Tidak ada orang yang lebih hebat darinya (dalam ilmu hadits)”.
Keenam:  Ibu Ibnu Taimiyah.

“Demi Allah, seperti inilah caraku mendidikmu. Aku nadzarkan dirimu untuk berkhidmat kepada Islam dan kaum muslimin.Aku didik engkau di atas syariat agama.Wahai anakku, jangan kau sangka, engkau berada di sisiku itu lebih aku cintai dibanding kedekatanmu pada agama, berkhidmat untuk Islam dan kaum muslimin walaupun kau berada di penjuru negeri. Anakku, ridhaku kepadamu berbanding lurus dengan apa yang kau persembahkan untuk agamamu dan kaum muslimin. Sungguh –wahai ananda-, di hadapan Allah kelak aku tidak akan menanyakan keadaanmu, karena aku tahu dimana dirimu dan dalam keadaan seperti apa engkau. Yang akan kutanyakan dihadapan Allah kelak tentangmu –wahai Ahmad- sejauh mana khidmatmu kepada agama Allah dan saudara-saudaramu kaum muslimin”.

Inilah surat yang ditulis ibu Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah kepada dirinya, setelah beliau memohon izin kepada sang ibu untuk tetap tinggal di Mesir.Surat ini memberikan kesan yang cukup mendalam kepada kita tentang bagaimana sosok ibunda Ibnu Taimiyah.Wanita shalihah yang berorientasi akhirat.Wanita kuat yang lebih senang anaknya bermanfaat bagi orang banyak ketimbang untuk dirinya sendiri.Wanita cerdas yang menjadikan anaknya investasi untuk kehidupan setelah kematian. Ibunda Ibnu Taimiyah memberikan kesan bahwa ia adalah wanita yang teguh jiwa dan hatinya. Semoga Allah merahmatinya.

Semoga kisah perempuan ibu para Ulama tersebut bisa kita jadikan sebaik-baiknya suri tauladan untuk mencetak generasi-generasi berkualitas pembawa peradaban gemilang nan mulia.

*)Pemerhati Remaja dan penggiat dakwah remaja Bondowoso
**) Tulisan diambil dari berbagai sumber

Post a Comment

Previous Post Next Post