Ketika Pemerataan Pelayanan Kesehatan Sekedar Angan


Oleh Irma Faryanti

Pegiat Literasi 



Setiap tanggal 7 April biasa diperingati sebagai hari Kesehatan Sedunia. Adapun tema yang diusung kali ini adalah My Health, My Right (kesehatan kita adalah hak kita). Namun benarkah faktanya demikian? Karena ternyata, kian hari semakin banyak masyarakat yang belum memperoleh akses pelayanannya.


Prof. Tjandra Yoga Aditama, selaku Mantan Direktur penyakit menular WHO Asia Tenggara menyatakan bahwa dalam rangka kampanye hari kesehatan dunia 2024, ia berharap pelayanan bermutu akan dapat dirasakan oleh seluruh masyarakat, dan mereka bisa mendapatkan informasi yang diperlukan. Termasuk di dalamnya perolehan air minum yang aman dan sehat, udara dan rumah yang bersih, makanan bergizi, serta pekerjaan yang memadai agar terhindar dari diskriminasi. (www.antaranews.com 7 April 2024)


World Health Organization (WHO) menyeru pemerintah di berbagai negara untuk menjamin terwujudnya proteksi sosial seperti asuransi, pensiun, perlindungan bagi yang tidak bekerja, dan lain sebagainya, untuk mewujudkan hak kesehatan yang baik. Sehingga anggota masyarakat bisa memperoleh pelayanan tanpa harus menguras isi kantong. Untuk itu negara perlu memahami upaya untuk mewujudkannya, misalnya dengan melakukan pengumpulan, analisa, monitoring dan penggunaan data dengan berdasarkan jenis kelamin, variasi umur, status sosial, juga berbagai variabel lainnya. 


Peringatan hari Kesehatan Sedunia telah ditetapkan sejak WHO berdiri di tahun 1948. Tema yang diangkat kali ini dilatarbelakangi oleh adanya tantangan dalam memperoleh hak kesehatan yang setara di berbagai belahan dunia. Untuk itu diharapkan ada peran dan keterlibatan masyarakat untuk mengatasi hal ini. Sehingga pemerintah dapat memahami apa yang dibutuhkan oleh rakyat dan dapat memberi kesetaraan pelayanan yang bermutu, di mana saat ini belum bisa dinikmati oleh lebih dari separuh penduduk dunia.


Harapan Indonesia Maju seakan menjadi sebuah narasi tanpa aksi ketika mendapati berbagai permasalahan kesehatan yang hingga kini tidak kunjung menemukan solusi. Jumlah tenaga medis yang dimiliki pun jauh dari target pencapaian. WHO memberi standar dari 1000 penduduk idealnya tersedia 1 orang dokter. Misalnya dengan perkiraan penduduk 275 juta jiwa, dibutuhkan 275.000 orang dokter. Sementara menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), pada tahun 2022, jumlah yang tersedia hanya 176.110 saja.


Untuk menutupi kekurangan tenaga medis ini, pemerintah mengadakan Program Afirmasi Pendidikan Tinggi Tenaga Kesehatan (Padinakes) untuk mewujudkan pemerataan SDM kesehatan. Melalui program ini diharapkan bisa memberikan akses seluas-luasnya bagi lulusan SMA/sederajat yang berasal dari desa terpencil, untuk bisa mengabdi pada bidang ini. Namun alih-alih berjalan mulus, pelayanan kesehatan semakin tidak terjangkau masyarakat dengan biayanya yang semakin melambung tinggi. Hal ini disebabkan oleh kemiskinan dan kesulitan ekonomi yang semakin membayangi.


Inilah fakta hidup dalam naungan sistem kapitalis. Sesuatu yang seharusnya menjadi hak rakyat, dikomersialisasi oleh segelintir orang. Menjadi sesuatu yang susah dinikmati karena tingginya biaya yang ditetapkan. Hanya mereka yang memiliki kemampuan secara materi lah yang bisa menjangkaunya, sementara rakyat kecil yang berpenghasilan pas-pasan harus rela dalam ketidakmampuan. Karena dalam kapitalisme berlaku hukum rimba, di mana yang kuat lah yang berkuasa.


Begitu pula dengan kualitas pelayanannya, BPJS yang digadang-gadang mampu memberi solusi nyatanya jauh panggang dari api. Untuk kalangan masyarakat yang tidak mampu, tetap saja tidak bisa merasakan layanan tersebut. Siapa  mampu membayar banyak, dia lah yang akan dilayani dengan baik. Tidak akan ada wacana gratis dalam sistem kapitalis, prinsip no free lunch  (tidak ada makan siang gratis) sangat melekat kuat, dan berlaku di segala aspek termasuk masalah kesehatan. Kalaupun ada jumlahnya sangat terbatas. 


Berbeda dengan kapitalis, Islam menjadikan masalah sandang, pangan, papan, kesehatan, pendidikan, sebagai kebutuhan mendasar yang harus dipenuhi oleh negara tanpa kompensasi. Khusus untuk masalah kesehatan, ada lima prinsip jaminan yang telah ditetapkan. Pertama, penguasa wajib memberi jaminan atas seluruh rakyat tanpa memungut biaya. Kedua, layanan yang diberikan haruslah semaksimal dan seoptimal mungkin.


Ketiga, negara wajib memberi pelayanan  ketersediaan alat hingga gaji yang memadai bagi para tenaga kesehatan. Layanan itu harus dipastikan bisa diakses oleh seluruh masyarakat tanpa terkendala masalah kondisi  geografis dan letak wilayah yang jauh. Keempat, pembiayaan untuk sektor ini diambil dari pos-pos pendapatan seperti hasil hutan, barang tambang, ganimah, fa’i, kharaj, jizyah, usyur, dan lain sebagainya. Kelima, kendali mutu sistem yang diberikan berpedoman pada tiga strategi: administrasi yang sederhana, segera dalam pelaksanaan, dan dilakukan oleh individu yang kapabel.


Semua merujuk pada tanggung jawab negara dalam mengatasinya, mengingat kedudukannya sebagai pengurus (raa’in) yang kelak akan dimintai pertanggungjawaban di hadapan Allah Swt. sebagaimana sabda Rasulullah saw. dalam HR Bukhari:

“Imam adalah raa’in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya.”


Pelayanan kesehatan  gratis pernah terjadi di masa keemasan Islam. Yaitu ketika rombongan dari Kabilah ‘Urainah yang telah masuk Islam, jatuh sakit di Madinah, Rasulullah yang saat itu berperan sebagai kepala negara  meminta mereka tinggal di penggembalaan unta zakat di Quba, mereka diizinkan meminum air susunya hingga kembali sehat. Begitu pula pada masa kepemimpinan khalifah Umar yang pernah mengirimkan dokter pada rakyatnya yang sakit, tanpa memungut biaya sepeserpun.


Demikian indah gambaran pengayoman saat Islam diterapkan di setiap aspek kehidupan. Tidakkah kita rindu kembali berada di bawah naungan kepemimpinan Islam, mendapati umat kembali berada di puncak kemuliaan. Janji Allah itu pasti dan tidak akan pernah menyalahi.

Wallahu alam Bissawab

Post a Comment

Previous Post Next Post