Polemik ODGJ, Demokrasi Gagal Beri Solusi?


Oleh: Jiddah Ghunayma

(Founder Muslimah Cinta   Al-Quran, Guru Madrasah Ummat, Pemerhati Sosial)


Mendekati masa pencoblosan dalam pemilu presiden dan legislatif, Komisi Pemilihan Umum menyampaikan sejumlah kebijakan dan persiapan. Salah satu di antaranya adalah dengan mengizinkan penderita gangguan kejiwaan untuk memilih selama dinyatakan siap oleh keluarga dan pihak yang merawatnya.


Komisi Pemilihan Umum (KPU) DKI memberikan kesempatan kepada orang dengan gangguan jiwa (ODGJ) sebagai pemilih atau memiliki hak suara pada Pemilu 2024 .


"Di DKI kami memberikan pelayanan terhadap ODGJ atau disabilitas mental untuk bisa memilih dalam Pemilu 2024," kata anggota Divisi Data dan Informasi KPU DKI Jakarta Fahmi Zikrillah di Jakarta. Antara,12/12/2023.


Fahmi menuturkan ODGJ tetap diberikan kesempatan sebagai pemilih agar hak suaranya dapat diperhitungkan dalam ajang Pemilu 2024.


Adapun pihaknya memastikan nanti ada pendampingan kepada ODGJ saat mendatangi tempat pemungutan suara (TPS) pada hari pencoblosan.


Berdasarkan data dari KPU DKI yang diterima Kompas.com, DPT pada Pemilu 2024 berjumlah 8.252.897 orang. Dari sejumlah itu, 61.746 di antaranya merupakan penyandang disabilitas. Jumlah itu terbagi, disabilitas fisik 24.197 orang, intelektual 1.050 orang, dan mental 22.871 orang. Selain itu, disabilitas sensorik wicara 8.935 orang, sensorik rungu 735 orang, dan sensorik netra 3.958 orang.


Padahal berdasarkan UU Pemilu. Implementasi dari sistem demokrasi dengan jargon dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat, terdapat beberapa syarat bagi masyarakat yang memiliki hak pilih. Disamping berusia 17 tahun juga tidak sedang gangguan jiwa atau ingatannya. Syarat diatas sempat mencuat dan memicu polemik menjelang Pemilu 2014, 2019. Dan kini muncul kembali dalam persoalan Pemilu 2024.


Hal di atas membuktikan pemerintah salah memposisikan ODGJ sebagai pemilih. Atas dasar kebebasan individu dan HAM sehingga terkesan menabrak aturan yang dibuat.


Kebolehan memilih bagi penyandang gangguan jiwa juga bertentangan dari sisi kesehatan. Para profesional membagi menjadi gangguan neurosis dan psikosis. Adapun neurosis terjadi gangguan pada sebagian kepribadian. Mereka dapat melakukan  pekerjaan sehari-hari dan jarang memerlukan perawatan khusus di Rumah Sakit.


Sedangkan Psikosis adalah gangguan jiwa dengan kehilangan rasa kenyataan (sense of reality). Ini diketahui berdasarkan gangguan pada pikiran, perasaan, motorik, dan lain-lain. 90% gangguan psikosis memerlukan perawatan Rumah Sakit yaitu skizofrenia (terjadi dalam jangka panjang). Penderitanya mengalami halusinasi, delusi atau waham sampai perubahan perilaku. Tidak bisa menilai suatu kebenaran dari realita apalagi membedakan antara hak dan batil. Bagaimana mungkin dapat memilih pemimpin.


Pengamat politik dari Universitas Maritim Raja Ali Haji, Dr. Bismar Arianto berpendapat ODGJ dalam kondisi sedang maupun berat, seorang ODGJ tentu hilang kewajibannya untuk menggunakan hak suara pada pemilu. "Pemaksaan" ,ODGJ menjadi pemilih justru dapat menimbulkan berbagai permasalahan, seperti hak pilih digunakan oleh pihak pendamping.


Keterlibatan ODGJ dalam pemilu adalah kebijakan baru. Walaupun banyak kontra, namun hal ini tetap direalisasikan. Beralasan dari hak memilih para ODGJ. Namun, tetaplah hal ini sebagai usaha mendulang suara. Inilah bobroknya kapitalis maupun demokrasi, segala hal dilakukan demi kekuasaan dan manfaat segelintir orang. Padahal aktivitas memilih yang baik itu mengharuskan kematangan dan kesehatan akal maupun mental. Apalagi dalam memilih seorang pemimpin.


Ini menunjukkan sistem  demokrasi, kapitalis hari ini, dengan HAM dan menjunjung kebebasan individu menimbulkan banyak ketimpangan disegala bidang termasuk menempatkan suara ODGJ. Dimanfaatkan jika suaranya dibutuhkan. Sebaliknya, lupa jika kekuasaan sudah di dapatkan.


Islam memandang orang dengan gangguan jiwa berarti tidak mampu membedakan antara yang hak dan batil, maka terbebas dari tanggung jawab atau tidak terkena taklif (pembebanan) hukum. 


Rasulullah sallahualaihi wassalam bersabda:

" Catatan amal diangkat dari tiga jenis orang: orang yang tidur sampai dia bangun, anak kecil sampai dia baligh, dan orang gila sampai sembuh dari gilanya." (HR. Ahmad).


Artinya, baik urusan ibadah, harta, muamalah, atau urusan memilih pemimpin tidak berlaku hukum bagi mereka. Bagaimana mungkin diberi hak pilih dalam pesta demokrasi. 


Lagi-lagi demokrasi gagal memberikan solusi. Demikianlah, Undang-Undang atau segala peraturan yang bersumber dari akal manusia dengan serba kekurangannya, pastilah mudah tergelincir dalam kesalahan. Bahkan memunculkan multitafsir berbuntut kerisauan dalam masyarakat


Hal ini sangat berbeda ketika menerapkan aturan dari Sang Pencipta. Dalam aturan Islam, negara bertanggung jawab terhadap keberlangsungan hidup para ODGJ. Memberikan layanan tempat tinggal dan diperhatikan pengobatannya. Sungguh Islam memiliki aturan yang lengkap dan sempurna. Sehingga wajib bagi umat Islam berjuang menerapkan aturan Islam dalam segala aspek kehidupan.

Wallahu'alam bissawab

Post a Comment

Previous Post Next Post