Muslim Rohingya Butuh Pertolongan

 



Oleh Waryati
(Pemerhati Kebijakan Publik)

Sesak hati melihat kehidupan Muslim Rohingya, mereka diperlakukan seperti bukan manusia. Seolah tidak memiliki kehormatan serta dipandang sebelah mata oleh dunia. Di negeri asalnya mereka ditindas, dibunuh dan diusir dari tanah kelahirannya. Untuk menyelamatkan diri dari penyiksaan rezim, mereka menaiki kapal seadanya terombang-ambing di lautan demi mencari negeri yang akan menerima dan melindungi mereka. Namun sekalinya kapal mereka berlabuh di suatu pesisir negeri, mereka harus rela mendapat penolakan dan kembali terusir.

Begitu kuatnya belenggu nasionalisme menjangkiti jiwa penduduk di setiap negeri, sehingga untuk menolong pengungsi Rohingya saja mereka merasa sulit dan berat. Meski di depan mata mereka nampak sekelompok orang yang tengah menderita dan butuh pertolongan, namun tetap tak peduli.

Memang benar, permasalahan Rohingya bukan hanya menjadi tugas individu atau masyarakat saja untuk menolong, melainkan membutuhkan peran negara seutuhnya. Kendati begitu, akibat cengkeraman nasionalisme yang membelenggu para penguasa, menjadikan mereka enggan untuk menolong. Akibat paham nasionalisme ini baik perasaan maupun pemikiran umat seolah terputus bagaikan putusnya urat-urat dalam tubuh dan menyebabkan satu sama lain tak memiliki rasa yang sama, meskipun secara keyakinan mereka satu akidah.

Respons terhadap pengungsi Rohingya baik yang dilakukan oleh negara maupun warga menggambarkan telah terkikisnya rasa kemanusiaan di tengah umat. Meski sudah sejak lama mata dunia menyaksikan Muslim Rohingya menderita. Mereka disiksa, di genosida tetapi tak satupun negeri menolongnya, terlebih dunia tidak memberikan solusi tuntas. Sampai saat ini pengungsi Rohingya terkatung-katung di lautan akibat pengusiran di negeri asalnya. Jikapun PBB melakukan upaya pembelaan terhadap etnis Rohingya, itupun hanya sebatas pada upaya diplomasi belaka.

Badan dunia ini seperti mati fungsi dan hilang kekuatan dihadapan rezim Myanmar juga Bangladesh. Alih-alih menghukum rezim atas kejahatannya, PBB seolah membiarkan kebengisan rezim terus ditimpakan kepada rakyatnya sendiri.

Kasus tertolaknya pengungsi Rohingya terjadi juga di Indonesia. Pada (14/11/2023) lalu, dilaporkan ada perahu yang berlabuh di Pidie memuat 194 pengungsi Rohingya. Menyusul keesokan harinya tiba perahu berisi 147 orang pengungsi lagi. Kemudian di (16/11/2023), perahu lain berisi sekitar 247 pengungsi mencoba turun di Bireun. Pada awalnya banyak warga yang memberikan bantuan berupa makanan, minuman dan pakaian bekas kepada mereka, termasuk juga ikut memperbaiki kapal yang mereka tumpangi karena mengalami kerusakan. Kendati begitu, beberapa saat kemudian sangat disayangkan oleh sebagian warga lainnya para pengungsi ini diultimatum untuk segera angkat kaki dari tempat itu, sehingga mereka kembali harus menaiki kapalnya dan terombang-ambing di lautan tanpa kejelasan nasib.

Menanggapi kasus di atas, Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, menyayangkan tindakan tersebut. Ditambah lagi adanya tanggapan dari juru bicara Kementerian Luar Negeri, Lalu Muhammad Iqbal yang menyatakan bukan kewajiban Indonesia untuk menerima pengungsi Rohingya karena berdasarkan pada aturan konvensi 1951, Indonesia tidak ikut meratifikasi. Menurut Usman, ini tindakan yang tidak bertanggung jawab dan dinilai sebagai kemunduran keadaban bangsa ini. Terlebih bulan Oktober lalu, Indonesia terpilih dengan suara terbanyak sebagai anggota Dewan Ham PBB. ( tirto.id, 19/11/2023).

Absennya pemerintah pusat dalam hal penanganan pengungsi Rohingya termasuk pelanggaran kemanusiaan. Mestinya lembaga tertinggi ini menyerukan kepada seluruh rakyatnya untuk menerima para pengungsi serta memperlakukannya dengan baik di manapun menemukannya, sebagai bentuk implementasi dari Peraturan Presiden No.124/2016 tentang Penanganan Pengungsi Luar Negeri.

Nyatanya aturan yang seharusnya dijadikan landasan terkait bagaimana sikap serta perlakuan terhadap pengungsi lagi-lagi tak diterapkan dengan semestinya, dalam hal ini negara justru bersikap acuh dan berasumsi bahwa menerima para pengungsi bukan tanggung jawab negara dengan alasan Indonesia hanya sebatas memberikan bantuan penampungan untuk jangka pendek dan bukan sebagai solusi permanen. Selebihnya untuk menyolusi permasalahan Rohingya sepenuhnya menjadi kewenangan UNHCR.

Menanggapi hal demikian 12 organisasi masyarakat sipil pemerhati isu dan pencari suaka di Indonesia merespons masalah ini dengan tegas. Menurut mereka, terdapat ketentuan hukum kebiasaan internasional mengenai prinsip non-refoulement, dimana seseorang termasuk pengungsi tidak boleh dikembalikan atau ditolak di negara tempat dia mencari perlindungan. Lebih jauh ungkap mereka pula, apabila negara menolak pengungsi Rohingya dengan alasan tidak ikut meratifikasi pengungsi 1951, dalam hal ini Indonesia memiliki beragam instrumen HAM lain, prinsip non-refoulement, ketentuan-ketentuan penyelamatan nyawa pada hukum laut atau UNCLOS, ketentuan-ketentuan pada Bali Process dan konvensi-konvensi HAM yang melindungi perempuan, anak-anak, kelompok disabilitas dan sebagainya. Sehingga pembiaran terhadap penolakan ini akan menjadi catatan buruk dalam penghormatan terhadap prinsip ini. (bbc, 19/11/2023).

Persoalan lain yang tak kalah menyedihkan pengungsi Rohingya adalah selain mereka diusir dari negaranya, mereka pun tidak memiliki status kewarganegaraan atau stateless. Sedangkan tanpa adanya kewarganegaraan maka para pengungsi Rohingya tidak dapat memperoleh perlindungan dari negara, sehingga memiliki resiko menjadi korban TPPO.

Menyoal masalah Rohingya terkait abainya banyak negara serta minimnya respons dunia khususnya, menjadi catatan penting yang harus diingat umat muslim. Betapa tidak, setiap konflik yang menimpa umat Muslim dibelahan dunia manapun, solusi yang ditawarkan baik oleh negara atau pun badan dunia tidak sampai menyentuh akar masalah. Yang akhirnya permasalahan itu tidak pernah terselesaikan. Oleh karena itu, mengharapkan solusi dari mereka merupakan kemustahilan.

Sejatinya, etnis Rohingya adalah Muslim. Maka permintaan tolong mereka wajib direspon oleh Muslim lainnya di manapun berada. Karena kewajiban utama untuk menolong mereka ada dipundak para pemimpin negeri Muslim dan umat secara keseluruhan.

Sayangnya, akibat belenggu nasionalisme tadi menjadikan negeri-negeri Muslim tidak mau mengulurkan tangan memberikan pertolongan. Sebab itu, umat harus melepaskan diri dari belenggu nasionalisme, karena ikatan nasionalisme merupakan ikatan yang lemah dan menyalahi fitrah. Kemudian umat kembali kepada asas berlandaskan akidah Islam. Dengan asas inilah umat mampu mewujudkan kesatuan yang mampu menembus batas geografis, etnis, bahasa, bahkan agama. Ketika asas Islam digunakan sebagai barometer dalam memandang muslim Rohingya, bisa dipastikan siapapun dengan penuh kerelaan akan memberikan pertolongan kepada mereka.

Oleh sebab itu, satu-satunya solusi hakiki menyelesaikan masalah Rohingya dan permasalahan umat muslim lainnya di berbagai belahan negeri hanya ada pada kepemimpinan Islam. Ketika kepemimpinan itu ada, muslim Rohingya akan dibantu dan diterima sebagai warga negara. Tak hanya itu, sebagaimana riayah terhadap warga negara lainnya, mereka akan dicukupi kebutuhan hidupnya dari makanan, pakaian dan tentunya disediakan tempat tinggal serta diberikan pekerjaan.

Adapun untuk menghindari konflik yang mungkin timbul karena aspek budaya dengan warga lokal, maka negara akan mengislahkan mereka. Dalam hal ini negara menganjurkan kedua pihak untuk selalu bersikap saling ta'aruf dan taawun dalam menghadapi perbedaan karena mereka merupakan saudara satu akidah.

Selain itu, negara akan melakukan negoisasi dengan pemerintah Myanmar melalui pendekatan politik atau militer. Jika terbukti pemerintah Myanmar bersalah melakukan penindasan dan pembunuhan terhadap muslim Rohingya, negara Islam akan menunjukkan sikapnya, menentang penindasan itu, selanjutnya membebaskan muslim Rohingya yang ada di sana dan menjadikan mereka sebagai warga negara Islam.

Keberhasilan negara Islam dalam meriayah seluruh manusia di muka bumi serta mampu menciptakan perdamaian, kesejahteraan, keadilan dan keamanan di dunia menjadi sejarah tak terbantahkan. Oleh karenanya, hadirnya kepemimpinan Islam menjadi hal urgen, karena hanya dengan jalan ini kehormatan umat akan kembali. Orang-orang fasik tidak mungkin berani mengganggu apalagi sampai menyakiti umat Muslim.

Maka dari itu umat Islam hari ini memiliki tanggung jawab memperjuangkan tegaknya sistem Islam agar umat terhindar dari segala bentuk penindasan dan penjajahan.

Wallahu a'lam bishawwab.

Post a Comment

Previous Post Next Post