Rumahku Sekarang Bukan Rumahku Lagi



LANGIT
telah berubah gelap, manakala Rudi dan Vina sudah berada di rumah. Sebuah rumah kecil nan sederhana di sudut kota. Di sana sepasang suami-istri tengah terlibat adu mulut. 

"Ini semua salahmu, Mas. Karena kamu Bela keluar dari rumah," ucap Vina menahan amarah.

"Salahku? Seharusnya kamu bercermin, apa kamu sudah menjadi istri yang baik. Aku begini karena tak lain adalah dari sikapmu sendiri yang terlalu acuh dan lebih mementingkan egomu!" sarkas Rudi dengan emosi yang membabi buta.

"Istighfar, Mas. Sebelum kau menyalahkanku sebaiknya kamu juga intropeksi diri dulu," ucap Vina tak kalah emosi.

Sementara di tempat lain, seorang gadis berusia tujuh belas tahun tengah menangis pilu.

"Bela, udah, dong, nangisnya. Yuk, makan dulu. Aku nggak mau kamu sakit. Makan, ya, kumohon Bela." Sudah hampir dua puluh menit Citra merayu Bela agar mau membuka mulutnya.

Namun, wanita bermata sebening kaca itu tetap bergeming. Cahaya kedua manik mata indah itu, kini terlihat redup. Bahkan membengkak karena lama menangis. Ia seperti kehilangan daya untuk hidup, tak ada gairah sama sekali. 

Lelah merayu gadis yang baru satu hari berada di rumahnya itu, Citra merasa seperti punya adik baru, padahal ia adalah anak semata wayang dari kedua orang tuanya. Kemudian, gadis itu tengah mencari-cari benda pipih yang sejak tadi belum tersentuh. Tangan Citra lincah menyisir setiap tempat di mana ia biasa menyimpan benda itu. 

"Ah ini dia, ketemu," batinnya.

Baru saja Citra hendak menelepon orang tua Bela, tetapi dengan cepat Bela merebut ponsel itu dari tangan Citra.

"Jangan, Cit! Please!" mohon Bela seraya menyerahkan kembali ponsel itu.

"Ya, okey. Tapi, kamu makan!" pinta Citra tegas.

Lalu, dengan malas Bela menerima piring berisi nasi lengkap dengan lauk dan sayur itu dari tangan Citra. Gadis itu mulai menyendok nasi, dan menyantapnya dengan enggan. Citra pun tersenyum melihat jurus jitunya ampuh menaklukkan hati gadis yang tengah bersedih itu.

**
Esoknya, suasana pagi disambut rinai hujan yang turun dari langit. Suara khas ribuan titik air berjatuhan di atap rumah milik keluarga Citra. Seketika hawa dingin menyerbu masuk melalui kaca jendela kamar yang memang sengaja dibuka setiap pagi. Embusan angin pun membawa serta masuk sebagian titik-titik air langit itu pada bagian bingkai jendela. 

Bela sangat suka hujan dan semua tentangnya. Hujan seolah-olah membawa ketenangan, membawa semangat dan harapan baru agar tidak terbuai oleh kesegaran angin yang diembuskannya. 

Setelah lama menangis dan bungkam atas permasalahan yang menderanya, Bela sudah mau bercerita pada Citra tentang masalah yang tengah dialaminya. Perlahan beban yang terasa berat itu, luruh seketika saat sudah dikeluarkan isinya. Meski sebenarnya belum terselesaikan. 

Di atas kasur berukuran king size, Bela masih membiarkan pandangannya menatap hujan yang tak kunjung reda. Sekelebat bayangan wajah Vina dan Rudi menari-nari indah dalam benak gadis cantik ini. Ada rindu yang seketika menjalar dalam relung hati. 

Ia ingat betul dulu sewaktu kecil, Nadia--kakaknya selalu mengajaknya bermain hujan di halaman rumah. Membiarkan seluruh pakaian mereka basah oleh air yang membawa keberkahan itu. Lalu dengan serta-merta Vina akan meneriaki dua anak gadisnya agar berhenti bermain dan masuk ke rumah.

Setelah itu Vina akan menggiring Nadia dan Bela kecil untuk berbilas dengan air hangat. Barulah seselai berbilas, Vina akan mengoleskan minyak kayu putih pada badan keduanya karena sedari kecil Nadia dan Bela rentan sekali terserang flu atau masuk angin. Atau di lain cerita, Bela sangat senang kala Rudi mengajarinya bersepeda bersama Nadia juga. Namun, kini semuanya berubah.

Di tengah lamunannya, gadis bermata sebening kaca itu tampak terlonjak, kala sentuhan menggelitik perutnya dari belakang. "Siapa, sih?" pekiknya.

Dari arah belakang, seorang gadis dengan mengenakan bathrobe, tampak menyembunyikan tawanya di balik telapak tangan.

"Ahh, kamu, Cit, jail!" Bela bersungut-sungut seraya mencebikkan pipi.

Citra pun terkekeh melihat Bela dengan muka kesalnya. "Mandi sana, gih, cantik! Selesai mandi kita sarapan bareng," titah Citra sambil menyerahkan bathrobe lain yang ia punya pada Bela.

"Oh iya, Bel. Apa kamu belum mau nemuin Ummi dan Abimu," tanya Citra sebelum Bela melangkah masuk ke kamar mandi.

"Untuk sekarang aku belum siap nemuin Abi, Cit. Paling aku mau ngajak Ummi ketemuan di rumah Bude, kangen," jawab Bela sendu.

"Emmm, oke. Aku yakin kamu pasti kuat, 'kan, Bel, jalanin ini semua karena aku tahu dari dulu kamu itu sosok yang tangguh. Jangan sungkan berbagi cerita sama aku. Kita, kan udah kayak saudara." Citra menguatkan seraya merengkuh sahabatnya itu.

"Makasih, ya, Cit," balas Bela dengan senyuman.

Padahal sebelum pertengkaran kedua orang tuanya terjadi, bagi Bela rumah adalah tempat ternyaman untuk melepas penat usai sekolah. Tempat terhangat berbagi keluh kesah pada kakak, ummi dan abinya. Tempat paling banyak menyimpan kenangan masa kecil bersama Nadia dan teman-teman lain.

Namun, kini, rumah baginya bukan lagi tempat ternyaman, melainkan tempat yang pengap, panas, dan paling dihindari untuk saat ini dan entah sampai kapan.

.

Sementara Citra ke sekolah, Bela dengan ojek online pergi menuju rumah Sari--budenya. Setibanya di sana, sepasang mata indah Bela tampak menangkap sosok yang dirindu telah menungguinya di teras rumah Sari.

"Ummi ...! seru Bela seraya melambaikan tangan serta mempercepat langkahnya.

"Bela ...!" Keduanya pun saling mengurai rindu dalam dekapan.

"Maafkan Ummi, Nak. Maafkan juga Abi, walau bagaimanapun ia tetap Abimu. Ummi pun sama kecewanya, bahkan lebih kecewa. Ummi rapuh, Bel. Tolong temani Ummi untuk bangkit dan menerima semua ini, ya. Jangan pergi lagi." 

"Maaf, Ummi. Bela belum siap tinggal bersama Abi lagi. Hati Bela terlanjur sakit lihat istri siri Abi, Bela juga sakit lihat Abi selalu bentak-bentak Ummi. Bela sementara waktu ini tinggal di rumah Bude Sari dulu, ya. Bela udah izin ke Bude dan Bude juga izinin Bela tinggal di sini," ungkap Bela dengan air mata yang terus menetes.

"Kamu yakin, Bel?" tanya Vina melerai pelukan kemudian beralih menatap manik itu lekat.

"Yakin, Ummi. Bismillah," ucap Bela mantap. 

"Iya, Vin, nggak apa-apa Bela tinggal sama aku. Sekalian temenin Fira juga," ujar Sari yang tiba-tiba muncul dari dalam rumahnya.

"Ya sudah, aku titip Bela, ya, Kak. Maaf kalo aku ngerepotin." Vina menggenggam tangan Sari.

"Iya, Vin. Semoga masalahmu segera selesai," balas Sari dengan pelukan seraya menguatkan adiknya itu.

Post a Comment

Previous Post Next Post