Nol Persen Kemiskinan dalam Kacamata Syariah


Oleh Echi Aulia
(Aktivis Muslimah Kepri)

Kemiskinan merupakan masalah sosial yang hingga saat ini masih menjadi persoalan utama di negeri ini. Potret kemiskinan terlihat sangat kontras, karena jurang pemisah antara si kaya dan si miskin semakin jauh, terlebih pascapandemi. Lebih parahnya, masyarakat dilanda kemiskinan ektrem, di mana mereka tidak mampu lagi memenuhi kebutuhan dasar seperti kebutuhan makanan, air bersih, tempat tinggal, pendidikan, dan kesehatan. 

Presiden Jokowi mengatakan angka kemiskinan di 14 provinsi di Indonesia masih di atas rata-rata nasional. Padahal pemerintah menargetkan nol persen kemiskinan ektrem pada 2024 mendatang.

Badan Pusat Statistik (BPS) sendiri mencatat bahwa angka kemiskinan ekstrem pada Maret 2022 masih mencapai 2,04 persen dan pada September 2022 sebesar 9,57 persen. Dari total 25 provinsi yang mengalami kenaikan tingkat kemiskinan, Papua dan Maluku menduduki peringkat tertinggi angka kemiskinan. (cnbcindonesia.com, 17/1/2023).

Adalah merupakan khayalan yang membius saat beranggapan bahwa kemiskinan nol persen dapat terwujud dalam sistem kapitalis sekuler. Sebab, sejatinya kemiskinan terjadi karena pengelolaan SDA yang tidak tepat. Buktinya kekayaan alam yang berlimpah tidak berbanding lurus dengan kesejahteraan rakyat. Bahkan jauh panggang dari api.

Kekayaan alam seperti minyak, gas, tambang, emas dan lain-lain sebagian besar masih dikuasai individu, pihak asing dan swasta. Oleh karena ketidakmampuan negara dalam mengelola potensi SDA, alhasil pemerintah mengundang asing untuk investasi. Ya, semakin besar dana investasi, semakin lama asing bercokol. Selain itu pengelolaan SDA yang berorientasi ekspor cenderung melupakan kebutuhan masyarakat. Karena yang menjadi prioritas bukan kesejahteraan rakyat, tapi untung rugi sebuah perusahaan.

Berbeda jika kita melihat dengan kacamata syariah. Negara yang menerapkan syariah Islam kafah akan menetapkan bahwa sandang, pangan, papan, kesehatan, pendidikan, dan keamanan merupakan kebutuhan dasar rakyat yang dijamin oleh negara. Baik muslim maupun non-muslim, laki-laki ataupun perempuan. Akan tetapi jaminan tersebut diatur dalam mekanisme ekonomi.

Adapun mekanismenya adalah negara mewajibkan setiap laki-laki yang sudah baligh, berakal untuk bekerja memenuhi kebutuhan dasar dan tanggungannya. Jika tidak mampu maka dia harus tetap berusaha mengembangkan usaha tersebut hingga terpenuhi kebutuhannya.

Kemudian negara wajib menyediakan lapangan pekerjaan. Jika tidak memiliki tanah, maka negara akan memberikan sebidang tanah untuk bertani. Begitupun, jika ada yang mempunyai kemampuan tapi tidak memiliki modal, maka negara akan memberikan modal usaha.

Jika keduanya tidak berjalan, maka negara akan mendorong orang-orang kaya yang berdekatan dengan mereka untuk membantu melalui sedekah, zakat, dan infak. Jika itu pun tidak ada, barulah negara akan memberi jaminan hidup secara rutin perbulan.

Bagi tiap laki-laki baligh, berakal dan mampu untuk bekerja, tapi malas-malasan, tidak melaksanakan tanggung jawabnya. Negara akan menjatuhkan sanksi berupa takzir. Begitu juga orang-orang kaya yang abai terhadap tetangganya yang miskin, negara akan memberi peringatan.

Rasulullah bersabda: "Tidaklah beriman kepadaku orang yang kenyang semalaman sedangkan tetangganya kelaparan di sampingnya, padahal ia mengetahuinya." (HR At-Thabrani).

Demikianlah syariah mengaturnya dengan sempurna. SDA dikelola secara mandiri oleh negara sehingga hasilnya dapat dipergunakan untuk kesejahteraan rakyat. Minyak, gas, tambang batu bara, hasil hutan merupakan kepemilikan umum. Oleh karena itu, negara akan memastikan industri kepemilikan umum tersebut tidak dikelola oleh Individu, swasta, maupun asing.

Dengan demikian, nol persen kemiskinan bukanlah omong kosong belaka, namun dapat diwujudkan secara nyata, jika syariat Islam yang menjadi landasannya. Oleh karena itu, we bring Islam back. Mari kita kembalikan Islam secara kafah ke tengah-tengah umat. Allahuakbar! Wallahu a'lam bisshowab.

Post a Comment

Previous Post Next Post