Fenomena Dispensasi Nikah, Menjadi Buah Bibir


Oleh : Mentari Fitriana, S.Pd.I 
(Pengajar TK dan Pemerhati Generasi)

Sedang menjadi buah bibir fenomena yang terjadi di Ponogoro, Jatim. Dimana Ratusan pelajar SMP dan SMA hamil diluar nikah dan mengajukan dispensasi nikah dini di Pengadilan Agama (PA) setempat. Fenomena serupa juga terjadi di Kabupaten Penajam Paser Utara (PPU) dengan jumlah yang berbeda. Diketahui pula bahwa di PPU sendiri banyak anak-anak usia 14 tahun yang melakukan pernikahan siri. Adapun informasi ratusan anak menikah dini terjadi pada setahun terakhir ini, seperti pernyataan Nurkaidah, kepala Bidang Perlindungan dan Pemenuhan Hak Anak dan Perempuan (PPHAP), Dinas Pemberdayaan Perempuan Perlindungan Anak, Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana (DP3AP2KB) PPU, kemarin, memantik keprihatinan sejumlah pihak. Anak-anak di bawah usia disebut-sebut menikah karena tradisi atau dijodohkan (kaltim.prokal.co). Sungguh memprihatinkan, adapun penyebab tingginya angka dispensasi nikah dini ialah kehamilan di luar nikah (hamil duluan) yang merupakan akibat pergaulan bebas di kalangan remaja.

Maraknya fenomena ini menimbulkan perdebatan diberbagai kalangan, sebagian para pemerhati masalah remaja berpendapat bahwa, “seks bebas yang sekarang ini menggejala salah satunya disebabkan karena pengetahuan remaja tentang seksualitas masih sangat rendah”. Sehingga program-program pendidikan seks pun mulai digulirkan sedini mungkin. Pertanyaannya, benarkah pendidikan seks merupakan solusi tuntas atas terjadinya fenomena ini? 

Melihat makna dari pendidikan seks, menurut Dr. A. Nasih Ulwan dalam (Suraji, 2008), Pendidikan seks adalah upaya pengajaran penyadaran dan penerangan tentang masalah-masalah seks yang diberikan kepada anak agar ia mengerti masalah-masalah yang berkenaan dengan seks, naluri, dan perkawinan, sehingga jika anak telah dewasa dan dapat memahami unsur-unsur kehidupan ia telah mengetahui masalah-masalah yang dihalalkan dan diharamkan bahkan mampu menerapkan tingkah laku islami sebagai akhlaq, kebiasaan, dan tidak mengikuti syahwat maupun cara-cara hedonistic. Adapun pendidikan seks sendiri telah masuk dalam kurikulum sekolah maupun beberapa ekstrakurikuler, namun nyatanya belum mampu menurunkan angka hamil diluar nikah, aborsi maupun HIV/AIDS di Negeri ini. Kegagalan ini sendiri tidak dapat dipisahkan dari penerapan pendidikan sekuler kapitalis yang melahirkan kebebasan, dengan visi pendidikan yang tertuang dalam draft Peta Jalan Pendidikan Nasional (PJPN) 2020—2035 tidak tercantum lagi frasa agama melainkan hanya frasa akhlak mulia dan budaya.

Sedangkan pendidikan dalam Islam harus menjadikan aqidah sebagai dasar pemikirannya. Adapun tujuan inti dari pendidikan Islam adalah membangun generasi yang berkepribadian Islam (Syaksiyah Islamiyyah). Adapun output-nya akan menghasilkan peserta didik yang kokoh imanannya dan mendalam pemikiran Islamnya (tafaqquh fiddin). Sedangkan pengaruhnya (outcome) adalah keterikatan peserta didik dengan syariat Islam. Dampaknya (impact) adalah terciptanya masyarakat yang bertakwa, yang di dalamnya tegak amar makruf nahi mungkar dan tersebar luasnya dakwah Islam. Untuk mencapai hal tersebut orang tua dan masyarakat dituntut memiliki kepekaan dan kepedulian untuk melakukan amar makruf nahi munkar dan negara merupakan pilar pencegah pacaran dan perzinahan. 

Dalam Islam untuk mencegah terjadinya fenomena ini dan memberikan efek jera pada yang lain, maka diberlakukan sanksi yang tegas terhadap para pelakunya. Yaitu, sanksi bagi pezina yang belum menikah, wajib didera 100 kali cambuk dan boleh diasingkan selama setahun. Allah Swt. berfirman, “Perempuan yang berzina dan lelaki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah dan hari akhirat; dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan orang-orang yang beriman.” (QS An-Nur [24]: 2). 

Adapun dalil tentang diasingkan selama setahun adalah berdasarkan hadis Rasulullah saw.. Dari Abu Hurairah ra. bahwa Rasulullah saw. menetapkan bagi orang yang berzina yang belum menikah, diasingkan selama setahun dan dikenai had kepadanya. (Abdurrahman al-Maliki. Sistem Sanksi dalam Islam. 2002. hlm. 30—32). Sedangkan sanksi bagi pelaku homoseksual adalah dihukum mati. Demikian pula bagi pezina yang sudah menikah, harus dirajam hingga mati. 
Rasulullah saw. bersabda mengenai seorang lelaki berzina dengan perempuan. Nabi saw. memerintahkan menjilidnya, kemudian ada kabar bahwa ia sudah menikah (muhshan), maka Nabi saw. memerintahkan untuk merajamnya. (Abdurrahman al-Maliki. Sistem Sanksi dalam Islam. 2002). Adapun sanksi bagi orang yang memfasilitasi orang lain untuk berzina dengan sarana apa pun dan cara apa pun, baik dengan dirinya sendiri maupun orang lain, tetap akan dikenakan sanksi. Sanksi bagi mereka menurut pandangan Islam adalah penjara lima tahun dan dicambuk. Jika orang tersebut suami atau mahramnya, sanksinya diperberat menjadi 10 tahun. (Abdurrahman al-Maliki. Sistem Sanksi dalam Islam. 2002. Hlm. 238). Sedangkan, orang yang dipaksa melakukan pergaulan bebas atau penyimpangan seksual, dipaksa berzina dan diperkosa, tentu sebagai korban pemaksaan mereka tidak diberi sanksi. Yang diberi sanksi hanyalah pelaku pemaksaan.

Islam memiliki beberapa pokok pendidikan seks yang dapat diterapkan hari ini yaitu, dengan menanamkan rasa malu dan menanamkan jiwa maskulinitas pada anak laki-laki dan jiwa feminitas pada anak perempuan. Memisahkan tempat tidur mereka dan mengenalkan waktu berkunjung (meminta izin dalam tiga waktu). Mengenalkan mahramnya dan mendidik anak agar selalu menjaga pandangan mata kepada yang bukan mahram. Mendidik anak agar tidak melakukan ikhtilat, khalwat serta mendidik etika berhias. 

Serta menyampaikan kepada anak tentang ihtilam dan haid, dimana ihtilam adalah tanda anak laki-laki sudah mulai memasuki usia balig sedangkan haid dialami oleh anak perempuan. Oleh sebab itu ketika kedua hal itu terjadi maka, Islam telah mengatur beberapa ketentuan berkaitan dengan masalah tersebut, antara lain kewajiban untuk melakukan mandi. Serta harus difahamkan bahwa mereka telah menjadi muslim dan muslimah dewasa yang wajib terikat pada semua ketentuan syariat. Artinya, mereka harus diarahkan menjadi manusia yang bertanggung jawab atas hidupnya sebagai hamba Allah yang taat. Wallahualam bissawab.

Post a Comment

Previous Post Next Post