RKHUP Di Ketok Palu, Indonesia Makin Kacau Balau?


Oleh: Dwi Lestari 

Hampir sepekan revisi RKUHP telah disahkan menjadi UU pada rapat paripurna DPR kemarin, Selasa, 6 Desember 2022. Pakar hukum tata negara menyebut proses pembentukan dan pembahasan RKUHP cacat formil, karena tidak melakukan partisipasi yang bermakna (meaningful participation) [BBC.com 28/11/22]. Meski demikian, DPR dan pemerintah tetap keukeh pada pendiriannya, walaupun disisi lain mendapat penolakan dari sejumlah pihak karena banyak pasal bermasalah. Ini seolah publik diminta (dipaksa) menerima pengesahan RKUHP ini. Sebab sejak diusulkan tahun 1963 baru tahun 2022 perubahannya disahkan menjadi UU. “Masa sejak diusulkan diubah pada tahun 1963 sampai hari ini sudah abad ke 21, KUHP bikinan Belanda tidak berhasil digantikan oleh Bangsa Indonesia yang merdeka. Itu bikin malu,” kata pakar hukum tata negara, Jimly Asshiddiqie dalam pernyataannya, Senin (Tribunnews.com 12/12/2022). Menurut dia, Indonesia patut berbangga bisa membuat undang-undang sendiri, menggantikan undang-undang karya Belanda.

Sementara itu, pakar hukum tata negara Margarito Kamis menilai Pasal 218 dan 219 dalam KUHP adalah pasal jahat, lebih buruk dari buatan Belanda. Menurutnya, pemerintah dan DPR telah menetapkan batasan kritik dan ketersediaan. Hal tersebut dinyatakan Margarito karena tidak ada penjelasan lebih lanjut mengenai perbedaan kritik dan keterbatasan dalam Pasal 218 dan 219 KUHP. Diduga pasal tentang kerusakan terhadap lembaga negara ini dapat menjadi pasal karet yang membahayakan masyarakat Indonesia. Margarito Kamis sebelumnya sempat meminta Presiden Joko Widodo mencabut Pasal 218 dan 219 KUHP. Kedua pasal itu mengatur tindak pidana penyerangan kehormatan atau harkat dan martabat presiden dan wakil presiden. Setiap orang yang menyerang harkat dan martabat presiden serta wapres dapat dipidana tiga tahun penjara. (metrotvnews.com 12/12/22)

Berikut sebagian pasal yang menjadi sorotan, dan berpotensi menjadi pasal karet.

Pasal 218, penghinaan kepada presiden. Menurut Pusat Study Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK), presiden tidak punya fitur moralitas untuk merasa dihina. Setiap komentar adalah bentuk penilaian atas kinerja. Pasal 240 ayat 1, penghinaan kepada pemerintah dan lembaga negara. LBH Jakarta menilai, "penghinaan" sulit dibedakan dengan kritik sehingga sangat mungkin salah kaprah. Pasal 256, demonstrasi tak boleh onar. Pasal 263 ayat 1 pers dan berita yang dianggap bohong, Dewan pers mengatakan, wartawan bisa dihukum karena dugaan "menyebar kabar yang menimbulkan keonaran". Pasal 188 ayat 1, larangan penyebaran paham selain pancasila. Office of the High Commisioner for Human Rights (OHCHR) menyebut, frasa "paham lain yang bertentangan dengan pancasila" bisa jadi pasal karet yang disalahkan gunakan untuk ormas tertentu. Pasal 408, larangan menunjukkan alat kontrasepsi pada anak. Center of Indonesia's Strategy Development Initatives (CISDI) menilai, upaya layanan kesehatan seksual dan reproduksi akan menjadi sentralistik. Pasal 603, hukuman minimal bagi koruptor turun. Padahal hukuman sebelumnya paling singkat 4 tahun dan denda 200juta dalam UU no.20/2001 kini menjadi 2 tahun. Pasal 433 ayat 1 tentang pencemaran nama baik. (Instagram/narasinewsroom)

Sebagai negara yang mengaku demokrasi, tentu beberapa hal tersebut bertentangan dengan prinsip demokrasi itu sendiri. Bukankah didalam pasal 28 UUD 1945 menjamin kemerdekaan berserikat dan berkumpul, serta mengeluarkan pendapat?

Jika dalam demokrasi demonstrasi adalah salah satu bentuk penyampaian pendapat di muka umum yang dijamin oleh undang-undang, dan merupakan bentuk koreksi masyarakat atas kebijakan pemerintah kini tidak diperbolehkan (dibatasi), maka apa bedanya sekarang dengan sebelum reformasi?

Sedangkan pers, dengan posisinya sebagai media massa sudah seharusnya ia memiliki hak bebas berekspresi dan berpendapat sesuai fakta, dengan disahkan KUHP yang baru akan sangat mungkin tidak lagi terbuka dan objektif. Bahkan bisa "disetir" atau "bungkam" untuk menyebarkan berita sesuai dengan keinginan pemerintah.

Alhasil pengesahan KHUP ini sejak awal memang terkesan "maksa". Mulai dari proses pembentukan dan pembahasannya yang cacat, belum lagi isi rancangannya yang kontroversi atau bermasalah. Beginilah memang demokrasi, pembuatan hukum untuk mengatur manusia diserahkan kepada manusia itu sendiri. Sarat akan kepentingan, dan tak menutup kemungkinan saling tumpang tindih. Manusia meski dengan segala kecerdasannya, tetaplah ia posisinya sebagai makhluk, makhluk yang diciptakan oleh penciptanya. Dimana sifat makhluk itu lemah, membutuhkan yang lain, dan terbatas. Maka tentu yang terbatas ini membutuhkan sesuatu yang tidak terbatas, tidak lemah, dan tidak membutuhkan yang lain, yakni Allah SWT sebagai Al Kholiq (pencipta) dan Al Mudabbir (pengatur). Allah SWT yang menciptakan langit dan bumi beserta manusia didalamnya, tentu Ia juga punya aturan atas ciptaanNya. Maka kembali kepada aturan Allah SWT adalah satu-satunya jalan menuju kehidupan yang berkeadilan dan layak menjadi pilihan.

وَٱلسَّمَآءَ رَفَعَهَا وَوَضَعَ ٱلْمِيزَانَ
"Dan Allah telah meninggikan langit dan Dia meletakkan neraca (keadilan)" [QS. Ar Rahman : 7]

Post a Comment

Previous Post Next Post