Pemberdayaan Politik Perempuan, Akankah Menyolusi?


Oleh: Selvilia Normadi S.Pd
 (Pemerhati Masalah Sosial)

Semakin banyaknya permasalahan perempuan yang ada saat ini, membuat banyak pihak ikut andil dalam menyelesaikan permasalah tersebut. Salah satunya dengan terlibatnya perempuan di dalam perpolitikan.

Seperti upaya peningkatan pemahaman bagi kaum perempuan dalam dunia politik, Pemkab Kutai Timur (Kutim) melalui Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A) Kutim menggelar kegiatan Seminar Perempuan Peduli Politik, Kamis (24/11/2022). Seminar bertema “Cerdas Berpolitik Perempuan Maju” ini digelar di Ruang Panel, Kantor DPRD Kutim. (radarkutim.com)

Beberapa opini yang digaungkan ikut berpartisipasinya perempuan dalam politik  dianggap penting karena dengan adanya perempuan berarti adanya keterwakilan perempuan di parlemen Indonesia. Atas dasar itu semakin meningkatkan partisipasi perempuan agar saat pengambilan keputusan politik lebih akomodatif dan substansial, selain itu dalam rangka memberikan gagasan yang terkait dengan perundang-undangan pro perempuan dan anak. Namun apakah dengan logika bahwa jika partisipasi perempuan di sistem parlemen negara demokrasi ditingkatkan angkanya maka akan terjadi kesejahteraan perempuan dan anak di masyarakat?

Belum lagi pernyataan bahwa meningkatnya keterwakilan perempuan di parlemen dan jabatan publik ini adalah konsep regulasi yang didasarkan pada asumsi yang memiliki kecacatan pada pemikiran bahwa perempuan yang menjadi anggota parlemen atau bahkan mereka menduduki jabatan-jabatan strategis  akan meningkatkan status pengaruh politik dan akan memberikan hak-hak ekonomi perempuan lebih baik.

Padahal faktanya, semua negara di dunia yang menggunakan asumsi semacam ini terutama di negeri mayoritas kaum muslimin tingkat kemiskinan yang berdampak pada perempuan tetap pada kondisi yang sangat menyedihkan. Terlihat dari klaim yang ada bahwa ada korelasi positif antara kuota atau jumlah perempuan di parlemen yang tinggi dengan hak yang lebih besar bagi perempuan biasa. Artinya, adanya perempuan yang menjadi wakil di parlemen akan membawa kehidupan yang lebih baik bagi para perempuan di masyarakat luas.

Faktanya asumsi ini tidak terbukti sama sekali. Dapat diteliti di negara manapun bahkan Indonesia, pernah dipimpin oleh seorang presiden perempuan. Namun faktanya, aspek status keamanan dan standar hidup perempuan biasa,  perempuan biasa dalam arti perempuan yang tidak menduduki jabatan-jabatan strategis itu tidak termasuk ke parlemen atau perempuan biasa itu adalah perempuan yang hidup dalam masyarakat dan jumlah mereka sangat besar. Kondisi perempuan biasa ini kehidupannya tetap tidak membaik. Jutaan perempuan terus saja berada pada kondisi kemiskinan, mengalami eksploitasi, dan pelecehan. Inilah akibat sistem yang berasal dari sistem demokrasi sekuler.

Saat ini kekayaan yang dimiliki kaum muslim hanya berada di tangan segelintir orang. Ketika   banyaknya perempuan yang menduduki kursi di parlemen, sejatinya keberadaan mereka dalam posisi-posisi pemerintahan ujung-ujungnya hanya membantu kelas elit perempuan, bukan kondisi perempuan secara keseluruhan.

Kelas elit perempuan ini yang memiliki ambisi politik dan ekonomi pribadi tidak ada hubungannya dengan kondisi perempuan dalam masyarakat luas. Dipastikan tidak ada dampak keberadaan mereka ini untuk memperbaiki kehidupan kaum perempuan di masyarakat.

Perempuan berpolitik berdasarkan gender dan demokrasi bukan solusi masalah perempuan dan bangsa. Justru melanggengkan gender dan demokrasi serta menghancurkan keluarga dan generasi.

Para perempuan memiliki peran strategis sebagai al ‘ummu wa rabbatul bait (ibu dan manajer rumah tangga). Dalam sistem kapitalisme materialistis fungsi strategis itu teralihkan. Perempuan didorong untuk mengejar karier dan meninggalkan anak (pendidikan anaknya). Di sisi lain keluarga para perempuan tersebut berada dalam kesulitan ekonomi sehingga mereka juga dituntut menjadi tulang punggung keluarga.

Permasalahan yang terjadi pada perempuan dan anak saat ini, karena penerapan sistem hukum buatan manusia yang tidak kompeten. Harus ada perubahan secara fundamental, yaitu menyerahkan pengaturan kehidupan bermasyarakat dan bernegara ini kepada sang pencipta dunia yakni Allah subhanahu wa ta'ala. Dengan memberlakukan kembali seluruh aturan yang berasal dari Allah yang sempurna yang diturunkan dalam syariat Islam secara kafah.

Oleh karena itu, sebagai muslimah jika berkeinginan membawa perbaikan nyata bagi kehidupan para perempuan di dunia ini seharusnya tidak terjebak pada narasi-narasi palsu yang digaungkan oleh peradaban barat untuk menyeru agar perempuan berebut kuota di dalam parlemen dalam pertarungan politik. Para perempuan jika memang betul-betul menginginkan perubahan terhadap kondisi semua perempuan menjadi kehidupan yang lebih baik maka pusat perhatian kita adalah mengganti sistem yang cacat yang berjalan di negeri-negeri kaum muslimin saat ini. Menggantinya dengan menerapkan syariat Islam seperti yang dicontohkan Rasulullah SAW yang dapat melindungi perempuan dari kemiskinan, eksploitasi dan pelecehan.

Post a Comment

Previous Post Next Post