Impor Beras Wujud Salah Kelola Pangan

Oleh: Nabilah S.

Mahasiswi UI


Stok cadangan beras pemerintah (CBP) milik Perusahaan Umum Badan Usaha Logistik atau Perum Bulog diproyeksikan kekurangan yang hanya tersedia sekitar 399.550 ton hingga akhir 2022 jika tidak dilakukan penyerapan atau importasi. Sebelumnya, Perum Bulog menyampaikan stok beras saat ini hanya tersedia di level 594.856 ton, kurang setengahnya dari target, yakni minimal 1,2 juta ton. Direktur Utama Perum Bulog Budi Waseso (Buwas) kemudian secara terbuka mengungkapkan alasannya mencetuskan rencana mengimpor beras. Padahal, sebelumnya Buwas mengatakan, Bulog memiliki komitmen stok beras sebanyak 500 ribu ton di luar negeri (Katadata, 26/11/2022).

Budi Waseso menganggap bahwa impor ‘perlu’ dilakukan karena penyerapan beras oleh Bulog rendah, sementara Kementan gagal menyediakan beras yang dijanjikan. Di sisi lain, petani enggan menjual beras produksinya ke Perum Bulog karena harga di pasar jauh lebih tinggi dibandingkan harga beli yang ditetapkan BUMN tersebut sebesar Rp 9.700 per kg. Akibatnya, Bulog kesulitan untuk menambah cadangan beras pemerintah atau CBP yang semakin menipis (Katadata, 21/11/2022).   

Dari kronologi ketidakmampuan Perum Bulog menyerap beras dari hasil panen petani menunjukkan adanya kegagalan perencanaan penyerapan beras cadangan dan buruknya koordinasi berbagai pihak terkait. Padahal dengan julukan sebagai negara agraris, Indonesia diharapkan dapat menghasilkan bahan pangan sendiri. Namun faktanya, Indonesia yang terkenal sebagai negara agraris mempunyai permasalahan pangan, bahkan selalu mengandalkan impor besar-besaran.

Ketidakmampuan Perum Bulog menyerap beras dari hasil panen petani juga tak lepas dari pengaruh kebijakan pengelolaan pangan yang bersifat kapitalistik sehingga tidak berpihak pada petani seperti naiknya harga pupuk, yang membuat produksi berkurang. Sungguh miris nasib petani dalam negeri ini. Meskipun stok CBP yang disiapkan Perum Bulog menipis, namun kenyataannya surplus beras secara nasional terus meningkat.

Di tengah suasana panen raya dan surplus ketersediaan pangan pun, pemerintah bisa tega membuka keran impor produk pangan selebar-lebarnya. Yang seharusnya menjadi konsen utama pemerintah adalah bagaimana menstabilkan harga beras di pasaran, dan menyerap hasil panen petani dengan harga yang layak sehingga tidak merugikan petani. Bukan malah menjadikan impor sebagai jalan keluar atas persoalan ini.

Kebijakan impor ini justru bertolak belakang dengan tujuan dari ketahanan pangan. Ketahanan pangan diartikan sebagai kemampuan suatu bangsa untuk menjamin seluruh penduduknya memperoleh pangan yang cukup, mutu yang layak, aman dan disarankan pada optimalisasi pemanfaatan dan berbasis pada keragaman sumberdaya lokal.

Inilah buah pemberlakuan sistem kapitalistik, pengelolaan pangan dibuat oleh manusia yang rentan kepentingan. Pada akhirnya asas manfaat ditentukan oleh mereka yang memegang kendali kekuasaan. Maka, sudah seharusnya pemerintah menghilangkan kebijakan kapitalistik, seperti kenaikan harga BBM yang mempengaruhi seluruh sektor produksi barang dan jasa. Jangan biarkan paradigma kapitalisme masih mencengkeram kuat tata kelola pangan di negeri ini.

Jika kita telaah, Islam memiliki sistem pengelolaan yang terbaik, yang akan menjamin ketersediaan cadangan pangan oleh negara dan melindungi petani beras sehingga dapat berproduksi secara optimal. Islam melarang penimbunan barang dan permainan harga di pasar. Tentunya dengan larangan itu, stabilitas harga pangan di pasar akan terjaga. Begitu pula kebijakan distribusi pangan pemerintah wajib melakukannya dengan melihat kebutuhan pangan per individu. Maka, negara akan diketahui kebutuhan setiap keluarga.

Selanjutnya, pemerintah wajib menjaga rantai produksi para petani. Menyediakan subsidi yang dibutuhkan para petani, membantu petani yang membutuhkan modal, dengan pinjaman tanpa riba, atau bantuan yang cuma-cuma. Begitu pula dengan kebutuhan pupuk dan bibit, pemerintah menyediakan dengan harga murah dan terjangkau, sehingga sangat dibutuhkan perhatian pemerintah terhadap pertanian agar berpengaruh positif bagi para petani yang menjadi roda penggerak pertanian.

Begitulah keunggulan sistem Islam dalam melahirkan regulasi yang berbasis ketakwaan pada Allah dan objektivitas-lepas dari kepentingan. Saat Islam dipahami dan diterapkan sebagai aturan kehidupan, umat Islam akan bangkit menjadi umat terbaik, mampu memimpin peradaban, bahkan menebar rahmat ke seluruh alam. Karenanya hanya kembali kepada Islam, maka siapa pun ia akan mendapatkan kesejahteraan dan kemuliaan dalam naungan ridha Allah SWT.[]

Post a Comment

Previous Post Next Post