Tragedi Kalideres: Ada Apa dengan Masyarakat Kita?


Oleh: N. Vera Khairunnisa

Beberapa waktu yang lalu, masyarakat digegerkan dengan berita penemuan jasad sekeluarga di dalam rumah Kalideres, Jakarta Barat. Jasad ditemukan setelah warga mencium bau tak sedap di lingkungan tempat tinggal mereka.

Kapolres Metro Jakarta Barat Kombes Pol Pasma Royce menyatakan, berdasarkan keterangan dokter forensik bahwa kematian ini (terjadi) dari tiga minggu yang lalu. (harianterbit. com, 11/11/22)

Sempat diduga, kematian misterius pasangan suami istri anak dan paman ini karena kelaparan. Kabid Humas Polda Metro Jaya, Kombes Endra Zulpan, mengatakan kepolisian masih terus mengumpulkan bukti dan menggali keterangan dari saksi-saksi untuk menemukan benang merah dalam kasus ini. (merdeka. com, 21/11/22)

Hingga tulisan ini dibuat, masih belum ditemukan titik terang mengenai apa yang menjadi penyebab sesungguhnya kematian satu keluarga tersebut. Itu semua menjadi tugas kepolisian untuk menyelidinya.

Hanya saja, terlepas dari hal ini, yang tidak boleh luput untuk kita perhatikan sebagai bagian dari masyarakat adalah mengenai bagaimana hubungan antar tetangga hari ini. Dari kasus Kalideres ini kita melihat betapa buruknya hubungan antar tetangga. 

Bagaimana mungkin mayat baru ditemukan setelah tiga minggu, karena tercium bau membusuk? Seolah-olah telah menemukan bangkai binatang. Padahal yang ditemukan adalah bangkai manusia yang menjadi tetangga. Keluarga tersebut juga sudah tinggal di Kalideres selama 20 tahun. 

Beginilah hidup dalam suasana sekuler kapitalistik, dimana masyarakatnya cenderung individualistis. Mereka tidak begitu mempedulikan kehidupan sesamanya, hanya fokus pada kehidupan dirinya sendiri.

Kasus ini juga menunjukkan betapa lemahnya peran pemimpin. Bagaimana mungkin ia tidak mengetahui ada rakyatnya yang sedang kesulitan hingga akhirnya mayat mereka ditemukan?

Meski belum diketahui pasti yang menjadi penyebab sesungguhnya kematian keluarga tersebut, tapi bukankah seorang pemimpin harusnya mampu melindungi dan memastikan rakyatnya dalam keadaan baik-baik saja?

Hal inilah yang belum terlihat dari pemimpin hari ini. Peran mereka dalam mengurusi rakyat, tidak betul-betul bisa dirasakan oleh rakyat. Justru, yang terjadi adalah mereka malah kerap membuat kebijakan yang semakin menambah kesulitan rakyat.

Berbeda dalam sistem Islam. Sistem ini memiliki perhatian yang begitu besar terhadap tetangga. Betapa banyak hadits Rasulullah SAW. yang berisi tentang tuntunan bertetangga. 

Dalam sebuah hadits masyhur, Rasulullah SAW bersabda yang artinya: “Siapa pun yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia memuliakan tetangganya, dan siapa pun yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia memuliakan tamunya.” (HR Muslim).

Malaikat Jibril sering sekali menasihati Nabi Saw untuk berbuat baik kepada tetangganya. Hal ini membuat Nabi Saw mengira bahwa tetangga merupakan orang yang mendapatkan warisan sebagaimana keluarga yang memiliki hubungan darah. 

Hal ini sebagaimana hadits yang artinya: “Dari Aisyah RA, dari Nabi SAW beliau bersabda, “Jibril terus mewasiatkanku perihal tetangga. Hingga aku menyangka bahwa tetangga akan menjadi ahli waris.” (Hadis riwayat Al-Bukhari)

Salah satu kebaikan yang dapat dilakukan oleh orang-orang yang bertetangga adalah saling memberikan makanan. Dengan saling memberi makanan antara tetangga akan menciptakan keharmonisan satu sama lain. 

Nabi Saw sendiri mengajarkan kepada kaum muslimin di masa beliau, hendaknya apabila memasak makanan yang berkuah, agar diperbanyak kuahnya supaya bisa dibagikan kepada tetangganya. 

Beliau SAW. bersabda yang artinya, “Jika kamu memasak kuah, maka perbanyaklah airnya dan berikan sebagian pada para tetanggamu”. (HR Imam Muslim).

Oleh karena itu, tidak selayaknya umat Islam memiliki pemikiran individualis. Sebab mereka dituntut untuk memperhatikan dan peduli terhadap tetangganya.

Bagaimana gambaran pemimpin dalam Islam? Mereka adalah sosok yang wajib memperhatikan urusan rakyat. Mereka harus memastikan rakyat ada dalam kondisi aman dan tercukupi segala kebutuhannya. Hal ini karena dalam Islam, menjadi pemimpin adalah amanah, ia akan dihisab dan dimintai pertanggung jawaban di akhirat kelak tentang kepemimpinannya.

Abdullah bin Umar mengatakan, Rasulullah SAW berkata, "Ketahuilah bahwa setiap dari kalian adalah pemimpin dan setiap dari kalian akan dimintai pertanggung jawaban atas kepemimpinannya, seorang pemimpin umat manusia adalah pemimpin bagi mereka dan ia bertanggung jawab dengan kepemimpinannya atas mereka." (HR. Abu Dawud)

Kita bisa melihat Rasulullah SAW. dan para sahabat ketika menjadi pemimpin. Beliau betul-betul memperhatikan rakyatnya, tidak mempedulikan latar belakang mereka, apakah yang kaya atau yang miskin. Apakah seorang muslim atau bukan. Semua diperlakukan dengan sama. 

Syahdan. Pada 627 Masehi, setiap pagi ada seorang pengemis tua tunanetra duduk di salah satu sudut pasar Kota Madinah. Tak ada penduduk Madinah yang mau mendekatinya, kecuali Muhammad SAW. Beliau yang kala itu menjadi seorang pemimpin negara, bahkan kerap menyuapkan makanan kepada si pengemis. 

Padahal, pengemis itu selalu menghina Rasulullah SAW., karena kala itu dia belum masuk Islam dan sangat membenci Rasul. Tatkala Rasulullah SAW. wafat, Abu Bakar menggantikan Rasul menyuapi pengemis tersebut. Ia merasakan perbedaan cara menyuapi, sehingga mengetahui kalau itu bukan yang biasa menyuapinya. 

Abu Bakar pun menyampaikan bahwa yang biasa menyuapinya adalah Rasulullah SAW., dan beliau sudah meninggal. Mendengar hal tersebut, betapa kagetnya sang pengemis buta. Kemudian ia pun masuk Islam.

Masyaallah, betapa mulianya Rasulullah SAW. Ia merupakan sosok pemimpin yang penyayang dan peduli pada rakyatnya, meski mereka bukan dari golongan muslim dan kerap menghina Rasulullah. 

Bagaimana dengan kepemimpinan para sahabat? Mereka pun memberikan teladan yang mengagumkan. Bagaimana Abu Bakar, beliau keliling bersama Umar untuk membagikan selimut ketika musim dingin, memastikan tak ada rakyatnya yang kedinginan.

Kemudian Umar bin Khatab, beliau memiliki kebiasaan berkeliling hanya untuk memastikan kondisi rakyatnya. Dalam tugasnya itu, terkadang ia menemukan ada rakyatnya yang kesulitan. 

Sebagaimana kisah seorang ibu yang memasak batu agar anak-anaknya tenang. Keluarga tersebut kelaparan, sedang di rumah tidak ada apapun yang bisa dimakan. Mengetahui kondisi itu, Umar bergegas mengambil sekarung gandum dan memanggulnya sendiri ke rumah sang ibu. Ia sangat takut akan dimintai pertanggung jawaban di akhirat, jika membiarkan rakyatnya kelaparan. 

Begitulah kehidupan dalam Islam. Masyarakatnya merupakan masyarakat yang peduli satu sama lain, karena memang disyariatkan demikian. Pemimpinnya merupakan pemimpin yang adil dan bertanggungjawab, sebab mereka memimpin dengan keimanan.

Post a Comment

Previous Post Next Post