Pro Kontra Perubahan Tes Masuk PTN, Bagaimana Solusinya?


Oleh Rahmawati Ayu Kartini 
(Pemerhati Sosial)

Kementerian Pendidikan Kebudayaan Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek), Nadiem Anwar Makarim, mengumumkan akan mengubah sistem penerimaan mahasiswa baru melalui Seleksi Bersama Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SBMPTN). Pemerintah berencana akan menghapus tes mata pelajaran atau tes kemampuan akademik (TKA) di SBMPTN.

Nadiem menjelaskan, terdapat tiga transformasi seleksi masuk PTN: tes seleksi prestasi, tes seleksi (kognitif, penalaran matematika, literasi bahasa Indonesia dan literasi bahasa Inggris), seleksi mandiri oleh PTN. (Kontan.co.id/8/9/2022)

Pro Kontra Perubahan Tes SBMPTN

Langkah perubahan SBMPTN dilakukan, karena materi TKA dalam SBMPTN dirasa sangat membebani peserta didik maupun guru. Dimana ujian dilakukan dengan menggunakan banyak materi dari banyak mata pelajaran yang secara tidak langsung memicu turunnya kualitas pembelajaran. Selain itu, banyak siswa yang harus melakukan bimbingan belajar (bimbel) di luar sekolah.

Menanggapi rencana perubahan SBMPTN, Rektor Universitas Airlangga (Unair), Prof Dr Mohammad Nasih menuturkan bahwa hal tersebut perlu diperinci dan ditinjau ulang, terutama mengenai lintas jurusan. Menurutnya, peminatan sejak SLTA tetap perlu dipertimbangkan agar peserta didik dapat mengikuti perkuliahan dengan baik.

Menurut Nasih, linearitas antara SLTA dan perguruan tinggi tetap harus dipertimbangkan. Pasalnya, pada jenjang universitas, mahasiswa juga dituntut untuk memiliki dasar yang cukup mumpuni untuk mengikuti mata kuliah yang diajarkan.

Hal tersebut, jelas Prof Nasih, sebagai penghargaan bagi para siswa yang telah menempuh pelajaran selama tiga tahun di SLTA. Artinya, apa yang didapatkan sebelumnya tidak akan berakhir sia-sia. Menurutnya, ketika merdeka belajar justru diartikan sebagai kebebasan yang terlalu liberal, maka hal tersebut merupakan pemborosan. (Republika.co.id, 10/9/2022). 

Pengamat pendidikan, Itje Chodijah, mengatakan bahwa kapasitas guru di Indonesia yang masih rendah menjadi tantangan terbesar dalam implementasi kebijakan itu. Selama ini, guru-guru terbiasa mengajar dengan kurikulum yang padat karena para siswa ditargetkan mengikuti sistem seleksi perguruan tinggi dengan materi yang penuh hafalan.

Pola itu membuat pembelajaran di sekolah lebih sering menekankan pada capaian materi, bukan pemahaman siswa. Dengan sistem seleksi yang baru ini, Itje mengatakan para guru pun harus siap untuk mengubah pendekatan mengajarnya.

Pengamat pendidikan dari Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jejen Musfah, juga mengingatkan pemerintah untuk memastikan bahwa guru-guru dan sekolah di Indonesia mampu memenuhi target itu, apalagi di tengah kondisi pendidikan Indonesia yang belum merata.

Faktanya, Indonesia berada dalam daftar 10 negara dengan tingkat literasi terendah di dunia berdasarkan skor Student Assessment (PISA) yang dirilis Organization for Economic Co-operation and Development (OECD). 

Menurut Itje, itu menunjukkan bahwa proses pendidikan di Indonesia belum mengasah kemampuan berpikir kritis dan bernalar. (BBC.com 11/9/2022)

Sudah jamak kita ketahui bahwa beban kurikulum adalah kerja berat bagi guru, khususnya di tingkat SLTA. Oleh karena itu, sebagai langkah untuk mengatasi kesulitan di sekolah sekaligus kebutuhan persiapan masuk PTN, para murid biasanya mengikuti bimbel di lembaga-lembaga bimbel. Mereka rela meluangkan waktu dan tambahan biaya untuk belajar di luar sekolah meski jam sekolah sudah sangat padat.

Para murid mencari bimbel biasanya karena kurang mengerti dengan penjelasan guru di sekolah, padahal durasi KBM sudah fullday. Ini menunjukkan keberadaan sekolah, mayoritasnya kurang efektif dan efisien menanamkan keilmuan kepada murid. Mereka sekadar meraih nilai bagus, tetapi kering dari pemahaman terhadap ilmu yang dimiliki. Tidak heran, nilai mereka yang bagus itu tidak sejalan dengan capaian ilmu yang semestinya dimiliki.

Pun sistem soal HOTS (high order thinking skill) yang memusingkan murid. Mereka dituntut berpikir tingkat tinggi berbasis penalaran demi mampu menemukan solusi, tetapi tidak dibina mengenai cara melakukan proses berpikir tingkat tinggi itu. 

Problematika Mendasar Perguruan Tinggi 

Salah satu tujuan Pendidikan tinggi menurut Undang-Undang Nomor 12 tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi adalah dihasilkannya lulusan yang menguasai cabang Ilmu Pengetahuan dan/atau Teknologi untuk memenuhi kepentingan nasional dan peningkatan daya saing bangsa. Lantas, bagaimana pula hendak menjadi para calon pakar pengetahuan dan teknologi, jika selama sekolah generasi tidak dididik untuk berpikir tingkat tinggi melainkan sekadar berpikir mendalam? Diketahui Higher Order of Thinking Skill (HOTS) atau kemampuan berpikir tingkat tinggi merupakan suatu kemampuan berpikir yang tidak hanya membutuhkan kemampuan mengingat saja, namun membutuhkan kemampuan lain yang lebih tinggi, seperti kemampuan berpikir kreatif dan kritis. Kemampuan berpikir tingkat tinggi dapat menunjang kemampuan setiap siswa mampu menjadi solusi bagi satu sama lain dan lingkungan sekitarnya. HOTS berdampak pada sensitivitas terhadap lingkungan sosial dan memotivasinya menjadi problem solver. (pgsd.binus.ac.id)

Masalahnya, paradigma perkuliahan di kampus pun mayoritasnya belum terformat dalam basis proses berpikir tingkat tinggi, melainkan masih sejalan dengan basis pendidikan di sekolah, yakni sekadar membiasakan proses berpikir mendalam. 

Lebih parahnya, para insan kampus hanya dicetak untuk sekadar agar bisa bekerja setelah lulus. Ini tentu jauh dari visi besar pendidikan tinggi yang semestinya untuk mencetak para pakar, ilmuwan, dan intelektual yang mampu memberikan solusi bagi problematika umat.

Belum lagi tantangan liberalisasi era digital yang terjadi di berbagai sektor, terutama media, yang makin mengancam generasi.

Dengan demikian, perubahan tes seleksi masuk perguruan tinggi semestinya juga diiringi koreksi total sistem pendidikan mulai dari dasar, menengah, hingga pendidikan tinggi. Mekanisme KBM juga harus berubah secara sistemis. Tidak sekedar trial and eror.

Tes Masuk Perguruan Tinggi Dalam Islam 

Dalam Islam, tujuan dari perguruan tinggi adalah: pertama, penanaman dan pendalaman kepribadian Islam. Sebab para mahasiswa akan dicetak menjadi pemimpin dalam memantau permasalahan-permasalahan krusial bagi umat,  termasuk kemampuan mengatasinya; yaitu permasalahan yang diharuskan bagi umat Islam mengatasinya dengan resiko hidup atau mati (qadhiya mashiriyah). 

Kedua, membentuk himpunan ulama yang mampu melayani kemaslahatan umat dan mampu menyusun rencana jangka pendek maupun jangka panjang (strategis). Kemaslahatan umat adalah kepentingan demi menjaga kelestarian hidup umat, seperti kebutuhan akan tentara yang kuat dan mampu melindungi umat, mampu melawan ideologi kufur dengan perang dan pengembangan risalah Islam. Termasuk dalam kemaslahatan hidup  umat adalah terpenuhinya kebutuhan pokok, seperti air, makanan, tempat tinggal, keamanan dan pelayanan kesehatan.

Perguruan tinggi dituntut untuk melahirkan para peneliti yang kompeten dalam ilmu dan praktek, untuk menciptakan berbagai sarana dan teknik yang terus berkembang di bidang pertanian, pengairan, keamanan, dan kemaslahatan hidup lainnya, sepanjang hal itu memungkinkan umat untuk senantiasa memiliki kendali atas urusannya sendiri. 

Perguruan tinggi juga dituntut untuk melahirkan sekumpulan politikus, para pakar ilmu pengetahuan, dan orang-orang yang mampu memberikan pengajaran dan ide-ide yang ditujukan khusus untuk mengurus kemaslahatan hidup umat.

Ketiga, mempersiapkan sekumpulan orang yang diperlukan dalam mengelola urusan umat, seperti para hakim, pakar fiqih, dokter, insinyur, guru, perawat, akuntan, dll. Mempelajari spesialisasi bidang-bidang tersebut hukumnya fardhu kifayah bagi umat, dan merupakan kewajiban bagi negara untuk mewujudkan apa yang diharuskan oleh hukum syariat.

Begitu pentingnya fungsi perguruan tinggi dalam mencetak intelektual, maka penerimaan mahasiswa baru dalam sistem pendidikan Islam disandarkan pada spesifikasi berikut: 1) rata-rata keseluruhan nilai siswa pada ujian umum seluruh jenjang sekolah; 2) jenis jurusan yang diambil siswa pada jenjang sekolah ketiga; 3) nilai siswa pada mata pelajaran tertentu pada ujian umum yang berkaitan dengan jurusan yang akan diambilnya. Misalnya, siswa yang mengambil jurusan teknik hendaknya bernilai baik pada mata pelajaran matematika dan fisika. Begitu juga siswa yang akan mengikuti ilmu kedokteran, hendaknya bernilai baik pada mata pelajaran biologi dan kimia, dan seterusnya. Hendaknya para pakar menentukan mata pelajaran mana saja yang berkaitan dengan setiap jurusan yang ada di universitas, dan nilai rata-rata yang dapat diterima di setiap jurusan.

Rasulullah Saw bersabda :

“Dua macam golongan manusia yang apabila keduanya baik, maka akan baiklah masyarakat. Tetapi bila keduanya rusak, maka akan rusaklah manusia itu. Kedua golongan manusia tersebut yaitu ulama dan penguasa.” [HR. Abu Naim].

Dalam hadits lain disebutkan:

"Janganlah kalian bertanya kepadaku tentang keburukan, dan bertanyalah kepadaku tentang kebaikan. Beliau mengatakan sebanyak tiga kali, kemudian beliau bersabda: ketahuilah sesungguhnya seburuk-buruknya keburukan adalah buruknya ulama, dan sebaik-baiknya kebaikan adalah baiknya ulama." (Riwayat Ad Darimi dalam kitab Al Muqaddimah)

Karenanya, membentuk sebaik-baik ulama harus dijadikan sebagai sesuatu yang penting. Tidak boleh trial and eror, seperti sistem pendidikan dalam kapitalisme sekuler. 
Wallahu a'lam bishowab.

Post a Comment

Previous Post Next Post