PARADOKS AKTIVITAS DPR DI TENGAH JERITAN RAKYAT MENOLAK BBM NAIK


By : Hanum Hanindita, S.Si
 (Ibu Generasi Pemimpin Peradaban Islam)

Kritik dan kecaman yang dilayangkan kepada anggota DPR karena merayakan ulangtahun di dalam ruag sidang  di tengah jeritan rakyat menolak BBM  itu membuat  Anggota DPR dari Fraksi PDI Perjuangan, Masinton Pasaribu bereaksi. Pasalnya Masinton kurang setuju dengan penyebutan "pesta", sebab mereka hanya memperingati hari jadi DPR yang bertepatan dengan ulang tahun ketua DPR, jadi tidak ada pesta di sana. Namun peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) Lucius Karus menyatakan bahwa itu (rapat) paripurna, itu panggung publik, bukan ruang privat untuk merayakan ulang tahun dan menilai hal itu memalukan apalagi di tengah rapat paripurna yang berlangsung, berbarengan dengan terjadinya demo kenaikan BBM. (Berita dilansir dari https://www.msn.com/id-id/berita/nasional/masinton-pdip-geram-dpr-dituding-lagi-pesta-ulang-tahun-saat-demo-kenaikan-bbm-apa-yang-salah/ar-AA11ANT4 dan https://news.detik.com/berita/d-6278312/puan-rayakan-ultah-saat-dpr-didemo-kenaikan-bbm-formappi-memalukan)

Saat rakyat menjerit menolak kenaikan BBM, DPR tidak punya empati. Sebaliknya DPR tetap merayakan HUT ketua DPR. Potret  tersebut sesungguhnya menunjukkan paradoks aktivitas DPR sebagai wakil rakyat. Apalagi di saat bersamaan dengan sidang yang diisi dengan perayaan Ulang Tahun itu, di pintu masuk DPR sendiri sedang ada demonstrasi massa yang ingin menyampaikan aspirasi ke DPR. Ironis di saat Rakyat sedang berpanas-panas memperjuangkan penolakan kenaikan harga BBM,  anggota DPR di ruangan dingin justru berbahagia merayakan hari ulang tahun ketua DPR-nya.

Moment ini sejatinya memperlihatkan anggota DPR tidak serius sebagai sebagai wakil rakyat. Jangankan berkomitmen memperjuangkan aspirasi, sekedar menghargai kehadiran rakyat dengan menemui mereka saja tak bisa diperlihatkan DPR. Ketua DPR yang seharusnya menjadi juru bicara dengan rakyat malah ikut larut dalan kegembiraan menyambut ucapan selamat anggota di Paripurna. Ia terlihat lebih mementingkan kegembiraannya sendiri ketimbang menemui rakyat yang mau menyampaikan aspirasi. Rapat paripurna yang dijadikan sebagai ajang perayaan ulang tahun merupakan panggung tertinggi untuk memperjuangkan nasib rakyat, jadi tidak pas jika diselipkan dengan urusan pribadi.

Inilah gambaran pemimpin di alam demokrasi sekuler. Nir empati, mementingkan kepentingan pribadi dan hanya “obral” janji.  Pemimpin yang katanya mewakili rakyat memang terlihat tidak peduli dengan rakyat.  Semestinya mereka yang sedang bertemu di Paripurna bisa saja langsung merespon tuntutan publik yang sedang berdemonstrasi, tetapi mereka justru memilih mengabaikan rakyat. Wajar saja hal ini terjadi, pemimpin di sistem yang rusak ini melenggang ke kursi kekuasaan karena perebutan dan persaingan antar kelompoknya masing-masing  dengan berbagai kepentingan di belakangnya. Sehingga ketika mendapat kuota jabatan, pastinya akan memprioritaskan kepentingan golongannya. Bukan kepentingan rakyat. 

Jauh sekali dengan gambaran pemimpin di dalam Islam. Rasulullah SAW bersabda, “Pemimpin suatu kaum adalah pelayan mereka.” (HR Ibnu Asakir, Abu Nu’aim). Walaupun hadits ini lemah, namun masih dikuatkan dengan hadits yang serupa, tidak bertentangan dengan akidah, dan tidak terkait dengan halal-haram. Sehingga bisa kita gunakan sebagai amal dan panduan dalam menjalani sebagai pemimpin.

Maka, salah satu ciri pemimpin sejati ialah melayani, memenuhi kebutuhan seluruh rakyatnya  dengan sigap dan rendah hati.  Mereka senantiasa mendengarkan berbagai keluhan dan saran sehingga kedepannya bisa lebih baik lagi. Dan jika yang dipimpin ialah suatu negeri, maka ia akan melayani warganya dengan rasa tulus untuk mengabdi. Memastikan segala kebutuhan warganya terpenuhi dari sisi penjagaan aqidah, pembinaan tsaqofah, rasa aman dan nyaman dalam melaksanakan ibadah, penjagaan nyawa serta harta  sampai dengan menjamin bahwa  rakyat yang dilayani bisa menjalani hidup layak sebagai manusia yang mempunyai martabat diri.

Rasulullah SAW merupakan seorang pemimpin yang sepatutnya dijadikan teladan oleh setiap pemimpin Islam ( QS. Al-Ahzab: 21). Rasulullah SAW juga seorang pemimpin yang hidup sederhana, tapi memiliki sifat akhlak mulia (QS Al-Qalam: 4). Istrinya, Aisyah RA, mengatakan, akhlak Rasulullah SAW itu adalah penerapan Alquran dalam segala aspek kehidupannya (Abdul Halim Mahmud: 1990).

Syamsudin Muir, lewat artikelnya di Harian Republika berjudul Kriteria Pemimpin dalam Islam, menulis, Sayyid Husen al-'Affany menjelaskan dalam bukunya, Tarthib al-Afwah (1/81) bahwa Abu Bakar Shiddiq itu pemimpin sederhana dan adil dalam melaksanakan tugas. Abubakar menerapkan persamaan pembagian kekayaan negara kepada seluruh rakyatnya. Ketika sakit di akhir hidupnya, beliau berwasiat, agar hartanya yang hanya sedikit itu diberikan kepada pemimpin setelahnya. Umar bin Khattab menangis menerima wasiat Abu Bakar Shiddiq itu. Karena beliau tahu, tanggung jawabnya di masa depan jauh lebih berat.

Sepeninggal Abu Bakar, Umar pun tetap mencontoh pendahulunya untuk hidup sederhana dalam mengemban tugas negara. Menurut Umar, Allah SWT telah memuliakan umat ini dengan Islam, maka tidak perlu lagi mencari kemuliaan dengan yang lain (Atsar sahih riwayat Ibnu Abi Syaibah). Pada waktu menjadi khalifah (pemimpin), kendaraan dinas Umar bin Khattab hanya seekor unta. Pada waktu pendeta Kristen negeri Palestina, Safraneus, menyerahkan kunci negeri Palestina kepada pemimpin besar Negara Islam, Umar bin Khattab bergantian menunggang untanya dengan pembantunya menuju Palestina. Umar juga mengembalikan hadiah makanan lezat yang dikirim dari Afrika. Karena, menurutnya, makanan itu lebih baik dinikmati oleh rakyatnya.

Keadilan dalam memimpin ditunjukkan oleh Utsman bin Affan yang menerapkan hukum Islam. Utsman dengan tegas melaksanakan hukuman cambuk atas adiknya, al-Walid bin Aqabah, yang telah melakukan pelanggaran syariat Islam. 

Ali bin Abi Thalib juga pemimpin bijaksana, sederhana, dan adil dalam bertindak. Saat hari Raya, makanan yang tersedia di rumahnya hanya makanan rakyat kecil, berupa hidangan daging rebus bercampur tepung (al-khazirah). Karena, menurut beliau, menyebut sabda Rasulullah SAW, seorang pemimpin itu hanya berhak menerima gaji untuk makannya dengan keluarganya, dan makannya dengan tamunya (HR Imam Ahmad).

Dari contoh pemimpin-pemimpin di masa Islam, Kita bisa mengambil pelajaran bahwa kekuasaan bukanlah amanah sembarangan yang bisa dijalankan dengan serampangan. Sesungguhnya setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawabannya, terlebih pemimpin rakyat. Sejatinya mereka wajib bertanggungjawab kepada Allah atas amanah yang diembannya. Maka bersikap tidak empati dengan rakyat, bukanlah ciri yang menunjukkan pemimpin sejati dalam Islam. 

Oleh karena itu Islam telah menetapkan syarat tertentu yang mesti terpenuhi pada diri seorang pemimpin, agar amanah besar itu tidak menjadi ajang perebutan oleh mereka yang tidak bertanggung jawab.  Rasulullah SAW dan Khulafa' al-Rasyidin, hingga Umar bin Abdul Aziz, telah memberikan teladan yang baik  sebagai pemimpin dengan menerapkan hidup sederhana, adil, dan menjunjung tinggi supremasi hukum. Di bawah kepemimpinan mereka, Negara Islam menjadi maju, besar, dan disegani.  Umat manusia  pada masa itu  (bukan hanya umat Islam) pun  juga hidup damai, aman, dan sejahtera. Wallahu a'lam bish-shawab.

Post a Comment

Previous Post Next Post