Ketika Konsumen Telur Babak Belur


Oleh Nur Syamsiah Tahir
Praktisi Pendidikan dan Pegiat Literasi

Anak gadis sedang pakai lulur
Agar kulitnya tetap terjaga dan sehat
Kini tiba giliran konsumen telur
Untuk berpikir berlipat-lipat

Sebait pantun di atas kiranya bisa menggambarkan kondisi perekonomian masyarakat di negeri ini khususnya para konsumen telur. Sebagaimana yang terjadi di pasaran negeri ini, harga telur yang sebelumnya sekitar Rp25.000 sampai Rp27.000 kini naik hingga Rp33.000 bahkan Rp39.000 perkilonya. Harga ini termasuk harga tertinggi sepanjang sejarah. Padahal telur termasuk salah satu bahan utama untuk pembuatan roti, kue kering, dan bermacam-macam kue lainnya. Begitu pula bagi para penjual jajanan ringan yang keliling ke sekolah-sekolah, pemilik rumah makan, depot, restoran, dan warung pinggiran, telur menjadi salah satu lauk pendukung di antara lauk-pauk yang ada. Sedangkan dalam lingkup rumah tangga, telur tak jarang menjadi pilihan favorit bagi anak-anak dan ibu rumah tangga.  Di samping rasanya yang enak, cara memasaknya mudah, dan simpel juga cepat proses matangnya. Namun, kini semua itu menjadi polemik yang patut dipikirkan oleh para konsumen telur. Hal ini terjadi sebagai akibat naiknya harga telur yang bombastis hingga para konsumen pun babak belur.

Disinyalir naiknya harga telur secara fantastis ini disebabkan oleh beberapa faktor, di antaranya adanya pemangkasan populasi ternak ayam yang berimbas pada menurunnya produksi telur. Sebagaimana yang disampaikan oleh Eko Sugito, peternak ayam petelur asal Desa Karangcengis Bukateja, Purbalingga, Jawa Tengah, bahwa menurunnya produksi membuat persediaan telur di pasaran tidak mampu memenuhi permintaan konsumen.
"Harga mahal itu terkait dengan populasi, suply and demand. Karena produksinya sedikit permintaannya banyak, otomatis harganya mahal," kata dia ketika ditemui reporter Liputan6.com Purbalingga di kandang ternaknya, Rabu 24 Agustus 2022.

Di samping itu, harga telur yang melonjak drastis ini juga disebabkan oleh harga pakan yang mahal. Fakta ini tidak lain karena produksi pakan ternak masih sangat bergantung pada bahan baku impor. Ketergantungan ini yang membuat negara tidak berdaya.  Di sisi lain melemahnya nilai tukar rupiah atas dollar AS sangat berpengaruh terhadap kebijakan ekonomi global. Tentu saja ini sangat berpengaruh terhadap produksi pakan ternak di mana 83% bahan pakan berasal dari impor. Bahan baku pakan ternak tersebut mulai dari suplemen, vitamin, antibiotik, feed suplemen, premium, bahkan bungkil kedelai pun masih impor.

Oleh karena itu, terjadilah efek domino. Harga pakan di dalam negeri mahal, akibatnya biaya produksi peternak naik. Ditambah dengan pemangkasan populasi ternak ayam petelur yang berakibat turunnya produksi telur. Alhasil harga telur pun melonjak drastis dan konsumen telur pun babak belur.

Sebagaimana diketahui Indonesia sebagai bagian dari negeri pengusung kapitalisme liberalisme, maka kebijakan yang diambil pastilah kebijakan yang mendatangkan manfaat. Manfaat yang ditujukan untuk para pemilik modal atau pemilik kekuasaan, bukan manfaat untuk rakyatnya. Apalagi dalam kondisi pasar global saat ini, di mana arus perdagangan dunia sudah tidak ada hambatan yang berarti. Ujung-ujungnya adalah impor. Akhirnya yang diuntungkan hanyalah para importir dan pedagang-pedagang dalam jumlah besar.

Faktanya Indonesia adalah negeri yang kaya akan sumber daya alam, tanahnya subur, airnya cukup, dan iklimnya pun mendukung untuk tumbuhnya segala macam tanaman. Tak heran jika negeri ini mendapat sebutan negeri yang gemah ripah loh jinawi. Tak berlebihan pula jika seorang musisi legendaris menorehkan fakta ini dengan lirik "tanah ini tanah surga, tongkat dan kayu jadi tanaman." Hanya saja muncul pertanyaan, mengapa negeri yang kaya raya ini kian hari kian pelik permasalahannya dan rakyatnya secara perlahan tapi pasti semakin tercekik dan melarat kehidupannya?

Sebagai mana yang telah dipaparkan sebelumnya bahwa negeri ini pengemban kapitalisme liberalisme. Maka dalam tata kelola pemerintahan negara pun mengacu pada paham ini. Mulai dari sistem pemerintahan, sistem pendidikan, sistem peradilan, sistem kemasyarakatan, termasuk sistem perekonomiannya, semuanya merujuk pada asas kapitalis liberalis. Kekuasaan hanya dijadikan sebagai alat untuk mengeruk manfaat, bahkan dari arah mana pun. Alhasil terciptalah roda perekonomian yang menguntungkan para pemilik modal, tanpa memikirkan bagaimana peliknya konsumen dalam upaya memenuhi kebutuhan hidupnya, termasuk kebutuhan telur.

Lalu, apa solusinya agar harga telur kembali normal dan konsumen telur tidak babak belur?

Sejatinya, persoalan naiknya harga telur adalah sebagian kecil dari persoalan perekonomian yang ditimbulkan dari penerapan sistem kapitalis. Maka persoalan ini pun hanya akan bisa selesai dan diselesaikan dengan menuntaskan permasalahan dari akarnya, yakni dengan penerapan sistem Islam secara kafah.

Sistem kapitalis telah nyata kerusakan dan kebobrokannya, demikian pula dengan sistem komunis yang telah tumbang terlebih dahulu. Maka hanya sistem Islam-lah yang mampu menyelesaikan semua problema yang muncul di tengah masyarakat, termasuk pemenuhan  kebutuhan telur para konsumen. 

Pemimpin dalam sistem Islam yang dikenal dengan sebutan Khalifah, dialah yang bertanggung jawab penuh terhadap kesejahteraan rakyatnya. Sebagaimana sabda Rasulullah Saw. : 
الإِÙ…َامُ رَاعٍ ÙˆَÙ…َسْئُولٌ عَÙ†ْ رَعِÙŠَّتِÙ‡ِ 
“Imam (Khalifah) adalah raa’in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya.” (HR al-Bukhari)
Khalifah sebagai pemimpin tunggal kaum muslim di seluruh dunia memiliki tanggung jawab yang begitu besar dalam mengurusi urusan umat, tidak hanya di dunia tapi juga di akhirat. Oleh karena itu, Umar bin Khattab ra. memanggul sendiri sekarung gandum ketika mengetahui ada rakyatnya yang kelaparan. Bahkan di masa Kekhalifahan Harun Al Rasyid tidak ditemukan satu pun dari rakyatnya yang kelaparan. Ini membuktikan bahwa sistem Islam mampu mewujudkan ketahanan pangan bagi rakyatnya. Sistem Islam lebih memfokuskan pada produksi dalam negeri dengan sistem padat karya dan membatasi keterlibatan pihak asing. Sistem politik Islam juga menjamin ketahanan pangan tiap individu rakyatnya, baik untuk konsumsi harian maupun untuk menjaga cadangan pangan saat mitigasi bencana dan paceklik.

Alhasil, dengan penerapan Islam kafah ini negara Islam mampu memimpin 2/3 wilayah dunia selama berabad-abad lamanya. Lalu tunggu apa lagi? Mari kita kembali pada sistem Islam! Sistem yang akan menuntaskan segala problema kehidupan manusia termasuk problema harga telur, sehingga konsumen tak akan babak belur.

Wallahua'lam bisshawab

Post a Comment

Previous Post Next Post