Hutan Milik Rakyat, Bukan Milik Pengusaha


Oleh: Dessy Fatmawati
Aktivis Muslimah



Lagi-lagi kebakaran hutan dan lahan (karhutla). Kalau mendengar karhutla langsung mengingatkan kembali kejadian 2015, tepatnya 7 tahun yang lalu Indonesia mengalami kebakaran hutan besar-besaran. Saat itu, karhutla tidak hanya menghancurkan ekosistem flora dan fauna, tetapi masyarakat juga mendapat dampaknya. Bagaimana tidak, asap yang dihasilkan dari kebakaran hutan itu tebal dan pekat sekali sehingga menghasilkan kabut yang mengandung partikel debu yang tinggi. Partikel debu menyebabkan penyakit pernapasan dan iritasi bagi manusia dan menyebabkan kematian. Akankah kejadian menyedihkan itu terulang lagi? Mengingat kembali saja sudah membuat merinding apalagi sampai terulang lagi

Baru-baru ini, pada 5 Agustus 2022 berita adanya karhutla di Sumatera Utara yaitu di kawasan Bukit Parombahan (Simpang Gonting), Desa Aek Sipitudai, dan lahan kawasan Bukit Desa Siboro, Kecamatan Sianjur Mulamula. Selain itu karhutla juga terjadi di Riau Pekanbaru. Menurut Kepala Pelaksana (Kalaksa) Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Provinsi Riau, Edy Afrizal, terdapat 12 kabupaten dan kota yang mengalami karhutla. 4 Kabupaten di antaranya menjadi kawasan paling luas mengalami karhutla mencapai 1.060,85 hektar terhimpun dari Januari 2022 hingga Juli 2022. Selain itu, Edy juga memberikan himbauan kepada masyarakat untuk tidak membuka lahan dengan cara membakar dan berhati-hati dalam beraktivitas sehari-hari, jangan sampai menimbulkan karhutla.

Sudah sering didengar pembakaran hutan merupakan cara instan untuk pembukaan lahan yang dilakukan pelaku-pelaku bisnis, pelaku bisnis tidak hanya yang berskala kecil di masyarakat, tetapi banyak juga pelaku bisnis perkebunan besar. Karhutla biasa terjadi di tanah-tanah gambut yang berada di Sumatera, Kalimantan sebab tanah gambut sangat cocok untuk dijadikan perkebunan. 

Tanah gambut merupakan jenis tanah basah yang terbentuk dari timbunan material organik berupa sisa-sisa pohon, rerumputan, lumut dan jasad hewan yang membusuk di dalam tanah yang sangat bagus untuk menanam sawit. Tanah gambut terdiri dari material organik berupa sisa tumbuhan sampai di bawah permukaan tanah sehingga mudah terbakar. 

Tentunya hal ini sangat memudahkan para pelaku bisnis untuk membuka lahan karena lebih cepat dan ekonomis dibandingkan harus observasi hutan, menebang pohon dan prosedur lainnya yang membutuhkan waktu lama dan biaya yang besar. Selain itu, banyak berpendapat bahwa tanah gambut yang sudah terbakar lebih mudah untuk ditanami. Pemerintah saat ini sudah melakukan pencegahan dan penanganan karhutla, tetapi belum efektif karena setiap tahun selalu berulang.

Padahal, hutan merupakan sumber daya alam yang diberikan Allah untuk masyarakat Indonesia bukan untuk segelintir orang dan pelaku bisnis saja.  Tidak cukup hanya dengan pencegahan dan  karhutla. Hakikatnya pemerintah harus mengelola hutan Indonesia dan hasilnya diserahkan kembali ke masyarakat. Karhutla terjadi karena pemerintah tidak mengelola langsung hutan-hutan Indonesia sehingga banyak pelaku bisnis yang menginginkan keuntungan besar dengan efektivitas biaya melakukan pembakaran hutan kemudian dijadikan perkebunan tanpa memikirkan efek dari karhutla itu untuk masyarakat flora dan fauna Indonesia. 

Berbeda sekali dengan Islam, semua sumber daya alam seperti hutan, laut, hasil tambang dikelola oleh negara yang hasilnya nanti akan diserahkan ke masyarakat. Akibatnya, alam lebih terjaga, tidak ada individu dan pelaku bisnis yang mengelola untuk diri mereka sendiri dengan cara yang menguntungkan mereka pula karena tugas pemerintah Islam adalah mengurusi urusan umat.[]

Post a Comment

Previous Post Next Post