Biaya Kuliah Naik, Keniscayaan dalam Kapitalisme


Oleh: Rissa S Mulyana, 
Aktivis Muslimah


Departemen Advokasi dan Kesejahteraan Mahasiswa (Adkesma) BEM se-UI menerima 250 pengaduan dari seluruh fakultas di UI yang berasal dari mahasiswa tingkat akhir yang mengalami kenaikan tagihan biaya pendidikan (BOP) secara tiba-tiba, pada 3 Agustus 2022. Rincian kenaikan BOP ini dipaparkan di akun Instagram @bemui_official.

Laporan juga diterima dari mahasiswa baru angkatan 2022 jalur mandiri yang mendapatkan peralihan biaya dari BOP-B (Biaya Operasional Pendidikan Berkeadilan)  menjadi BOP-P (Biaya Operasional Pendidikan Pilihan). Dilansir dari situs ui.ac.id, BOP-B adalah penetapan biaya pendidikan sesuai dengan kemampuan penanggung biaya mahasiswa, sedangkan BOP-P adalah penetapan biaya pendidikan sesuai dengan pilihan penanggung biaya untuk berkontribusi pada pendidikan. 

Peralihan biaya kuliah yang muncul secara tiba-tiba ini tentu menuai banyak protes dari kalangan mahasiswa UI, hingga isu ini menjadi salah satu yang dibawa dalam aksi simbolik dengan tema #PRUIMASIHBANYAK.

Kejadian serupa juga terjadi di Universitas Gunadarma. Mahasiswa menuntut adanya keringanan biaya kuliah berkaitan dengan pelaksanaan perkuliahan yang terdampak pandemi. Audiensi dengan pihak Rektorat telah dilakukan beberapa kali sejak Maret 2020. Mahasiswa meminta keringanan biaya dalam bentuk cicilan serta menuntut adanya transparansi biaya pendidikan. Aksi dan audiensi terus dilakukan hingga tahun ini masih dengan tuntutan yang sama.

Kenaikan biaya kuliah di Indonesia sebetulnya terjadi setiap tahun. Menurut AIA-Financial Indonesia, kenaikan biaya pendidikan di Indonesia mencapai 20% per tahun, sementara kenaikan biaya kuliah di perguruan tinggi swasta dapat mencapai 40% per tahun (dilansir dari cnbcindonesia.com). 

Beberapa waktu lalu bahkan harian Kompas sempat menerbitkan analisa bahwa kenaikan biaya kuliah tidak sebanding dengan kenaikan penghasilan orang tua lulusan SMA dan Sarjana. Bisa diperkirakan meskipun orang tua telah menabung 18 tahun lebih dini, tabungan tersebut tidak akan mampu menutup biaya kuliah anak hingga lulus.

Mengatasi kenaikan biaya kuliah yang kian menjulang tinggi, beberapa pakar menawarkan solusi berupa penghimpunan dana abadi perguruan tinggi. Pada Juli 2022, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) bekerja sama dengan LPDP meluncurkan Merdeka Belajar Episode ke-21, yaitu dana abadi perguruan tinggi. Menurut Juan Martin, M.Kes; Program Dana Abadi Perguruan Tinggi ditargetkan untuk PTNBH sebagai badan hukum yang dapat mengelola aset finansial secara independen. Setiap PTNBH harus memperbesar sumber pendapatannya di luar bantuan pemerintah dan uang kuliah tunggal (dilansir dari muslimahnews.net).

Skema dana abadi dinilai dapat membantu perguruan tinggi untuk menekan biaya perkuliahan dengan tetap mempertahankan kualitas SDM. Pemerintah akhirnya menyerahkan pengelolaan dana kepada perguruan tinggi sendiri. Perguruan tinggi harus melakukan berbagai upaya, membentuk model bisnis, demi berlangsungnya pendidikan, bahkan salah satu pilihan dengan menaikan biaya kuliah pada mahasiswanya.

Skema pendanaan seperti di atas akan memiliki berbagai konsekuensi, beberapa di antaranya adalah penyusunan kurikulum yang disesuaikan dengan kebutuhan industri serta output pendidikan yang berorientasi menghasilkan lulusan dengan daya serap tinggi di korporasi. Hal ini menunjukkan dengan jelas bahwa pendidikan telah dialihkan menjadi komoditas yang dikomersialisasi demi mencari keuntungan materi semata. Hal itu sejalan dengan arahan dalam General Agreement on Trade in Services - World Trade Organization (GATS-WTO) yang menjadikan pendidikan sebagai salah satu sektor jasa. Artinya, pendidikan menjadi jasa yang harus dibayar oleh masyarakat, bukan lagi menjadi hak yang harus dipenuhi negara.

Mengapa demikian? Telah tampak dengan jelas bahwa mekanisme pendanaan pendidikan seperti di atas memang nyatanya terjadi dalam sistem kehidupan kapitalisme. Seluruh sektor kehidupan, salah satunya pendidikan, diarahkan menjadi keran keuntungan materil bagi para pemilik modal. Dari mulai kurikulum, SDM, hasil penelitian, semuanya menjadi bertujuan untuk menghasilkan keuntungan sebanyak-banyaknya.

Terdapat perbedaan yang mendasar antara konsep pendidikan dalam sistem kapitalisme dengan konsep pendidikan dalam sistem Islam. Dari aspek pendanaan, pendidikan adalah kebutuhan dasar rakyat yang pemenuhannya wajib diselenggarakan oleh negara, baik dari segi pendanaan hingga pengadaan sarana-prasarana. Sistem Islam memiliki baitul mal sebagai pos pengelolaan keuangan negara dan pendidikan adalah aspek yang dibiayai penuh oleh negara. Pemasukan negara berasal dari pos fa’i, kharaj, serta kepemilikan umum. 

Pun jika suatu kondisi membuat kas negara kosong, maka negara akan memotivasi kaum Muslim untuk infaq maupun berwakaf. Negara tidak akan membiarkan rakyat berjuang sendiri hanya untuk memenuhi kebutuhan pokoknya, termasuk pendidikan, sehingga masyarakat tidak dibuat khawatir atau harus banting tulang untuk mendapatkan pendidikan berkualitas.

Dalam sistem Islam, pendidikan juga bertujuan melahirkan manusia yang cerdas dan bertakwa. Ilmu yang dipelajari berorientasi sebagai problem solver bagi masalah yang dihadapi masyarakat. Sejarah telah menunjukkan jejak para intelektual Muslim yang lahir dalam ketinggian peradaban Islam; seperti Al-Khawarizmi, Ibnu Sina, Al-Farabi, Al-Kindi, Fatimah Al-Fihri, dan banyak lagi. Karya-karya mereka telah memberikan pengaruh besar bagi peradaban, hal ini tentu tidak akan terwujud jika tanpa dukungan atmosfer sistem yang kondusif bagi para intelektual, yakni sistem Islam yang menerapkan syariat Islam.[]



Post a Comment

Previous Post Next Post