Narasi Islamofobia di Balik Masifnya Pemberitaan Kasus ACT


Oleh Zidni Sa'adah
Ibu Rumah Tangga dan Pegiat Dakwah

Kasus Aksi Cepat Tanggap (ACT) beberapa pekan terakhir menjadi bahan perbincangan di berbagai platform media sosial, bahkan sempat masuk dalam Google Trends. Hal ini terkait dengan berita investigasi majalah Tempo yang menyatakan ada dugaan penyelewengan dana bantuan kemanusiaan di internal lembaga tersebut. 

Kabar tersebut cukup mengejutkan, karena selama ini ACT sebagai lembaga kemanusiaan besar yang ada di Indonesia selalu ada dan terlibat dalam setiap kegiatan kemanusiaan seperti penggalangan dana untuk membantu korban bencana baik yang di Tanah Air maupun di luar negeri. Mereka menghimpun dana dari masyarakat untuk disalurkan kepada para korban bencana alam atau orang-orang yang membutuhkan pertolongan hingga pemberdayaan dan pengembangan masyarakat. Jumlah penerima manfaat dari bantuan yang disalurkan ACT disebutkan mencapai puluhan juta orang dan sudah menjangkau 76 negara dengan memiliki relawan 357 ribu orang. 

Tentunya mendengar kasus yang menimpa ACT sungguh miris dan memunculkan beragam praduga. Pemberitaan kasusnya seolah kasus besar yang harus diwaspadai publik hingga akhirnya pihak kepolisian turun tangan melakukan penyelidikan terhadap ACT.  Padahal, lembaga kemanusiaan ini begitu dirasakan keberadaannya termasuk di wilayah Kabupaten Bandung. Sebagaimana diungkapkan oleh Kepala Bidang Ormas Kesbangpol Kabupaten Bandung Edho bahwa ACT meski tidak ada pemberitahuan keberadaannya kepada pemerintah setempat, aktivitasnya terpantau dengan baik yang sejauh ini sebatas pada kegiatan sosial dan kemanusiaan. (Inilahkoran.com, Bandung, 12/7/2022). 

Kenyataan ini menimbulkan satu pertanyaan, ada apa di balik dugaan penyelewengan dana ACT? Karena kasus ACT terkesan  begitu masif diberitakan ketika oknum pelakunya berkaitan dengan Islam dan aktivis keislaman. Padahal kasus-kasus yang serupa sebenarnya juga banyak terjadi di lembaga lain. Sementara pelaku korupsi yang jelas-jelas merampok harta rakyat dan merugikan negara dibiarkan lolos begitu saja. 

Sejatinya, berita miring tentang ACT ini begitu tendesius ke arah islamofobia dengan isu terorisme dan radikal. Negaralah yang mestinya bisa bersikap adil melihat fakta yang sebenarnya dan membuat suasana kondusif, tidak mudah cepat membubarkan dan membekukan dana ACT. Apalagi seperti penuturan Kesbangpol di atas aktivitas lembaga ini hanya sebatas kegiatan sosial dan kemanusiaan, tidak berbau radikalisme atau terorisme yang selama ini sering dikaitkan. 

Ironis. Negeri berpenduduk muslim terbesar  di dunia, tapi justru begitu mudah menaruh dugaan mengaitkan sesuatu yang bersimbolkan  Islam  dengan terorisme, radikalisme dan ektremis. Apakah ini menunjukkan nuansa islamofobia di negeri ini makin menguat?

Kasus ACT mngingatkan pada sebuah isi buku yg berjudul Democratic Islam: Partners, Resources, And Strategy yang ditulis Cheryl Bernard dengan gamblang merekomendasikan untuk menyerang kelompok muslim yang mereka sebut fundamentalis dan mendorong media untuk membunuh karakter tokoh-tokoh agama dan lembaga kemanusiaan Islam, terlepas apakah tokoh atau lembaga donasi tersebut benar-benar melakukan penyelewengan di depan hukum ataukah hanya fitnah. Tujuannya untuk memutus mata rantai kepercayaan masyarakat terhadap simbol-simbol keislaman yang  salah satunya seperti lembaga kemanusiaan Islam.  

Selain itu, dalam buku tersebut tertulis bahwa sistem demokrasi akan memunculkan ke hadapan publik sesuatu yang mengaitkan antara tokoh atau pengelola lembaga dengan kelompok yang dicap teroris, radikal dan ektremis. Tujuannya adalah agar masyarakat menjauhi lembaga tersebut dan menjadi waspada untuk menyumbangkan dananya. 
Sungguh ini upaya mencitraburukkan Islam di masyarakat. Dan tentunya upaya ini tidak bisa dilepaskan dari penerapan sistem kapitalisme dengan sudut pandang sekulernya yakni paham yang memisahkan agama dari aturan kehidupan. 

Tak heran segala upaya dilakukan oleh rezim sekuler agar masyarakat tidak melirik Islam yang notabene memiliki aturan sempurna dan terperinci dalam segala aspek kehidupan termasuk melalui media. 

Pemerintah sendiri membiarkan media menayangkan tayangan yang bernuansa sekuler-liberal, termasuk membiarkan tumbuh suburnya hinaan dan cercaan terhadap simbol dan syiar Islam dari musuh-musuh Islam. Apalagi dalam sistem sekuler, kebebasan berpendapat seolah wajar bagi setiap orang meski itu dengan menjelekkan umat agama lain. Oleh karena itu, selama kehidupan umat berpijak pada sistem kapitalis-sekuler, maka upaya stigmatisasi negatif melalui media akan terus terjadi. Diperparah lagi dengan ketiadaan penjaga dan pemersatu umat saat ini yaitu pemimpin tunggal untuk seluruh umat Islam yang akan menjaga kemuliaan Islam dan umatnya. Rasulullah saw bersabda: 
"Sesungguhnya seorang Imam adalah perisai, Orang-orang berperang dari belakangnya dan menjadikannya pelindung, maka jika ia memerintah ketakwaan kepada Allah dan berlaku adil baginya terdapat pahala dan jika ia memerintahkan yang selainnya maka ia harus bertanggungjawab atasnya”(HR. Al-Bukhari, An-Nasa'i dan Ahmad) 

Dengan adanya perisai ini seluruh syariah Islam akan diterapkan secara menyeluruh dan menjadi solusi bagi segala permasalahan yang dihadapi umat, termasuk melawan arus islamofobia yang diorganisasikan oleh negara-negara pengusung kapitalis yang ingin melanggengkan penjajahan. Keadilan akan tegak dan kezaliman pun akan mampu tersingkirkan, bahkan seluruh umat akan merasakan kebaikannya, baik muslim maupun nonmuslim. 

Dalam sistem Islam, media didaulat sebagai sarana menebar kebaikan dan alat kontrol serta sarana syiar dakwah Islam baik di dalam maupun ke luar negeri. Penyelewengan fungsi media sebagai alat propaganda kebatilan hingga alat penguasa akan ditutup oleh paradigma Islam tentang fungsi kekuasaan dan kepemimpinan itu sendiri dimana kedua fungsi ini dipandang sebagai amanah yang berdimensi dunia akhirat. Bukan sebagai alat untuk meraup materi atau kepentingan pribadi dan kelompok. 

Selain itu, media akan dijadikan sebagai sarana edukasi umat dan mendorong mereka untuk menjadi bagian dari berlomba-lomba dan ikhtiar menguatkan ketaatan, bukan menyebarluaskan kebohongan dan keburukan yang justru mencitraburukkan Islam. 

Dari sini, jelaslah hanya dalam sistem Islam lah media akan menjadi sarana menebar kebaikan dan membangun ketakwaan umat. 

Dan sungguh satu-satunya solusi untuk mengakhiri segala bentuk upaya menghinakan kaum muslimin adalah dengan tegaknya satu institusi Islam yang merupakan perisai bagi umat yang lemah tak berdaya.
Wallahua'alam bi ash-Showwab.

Post a Comment

Previous Post Next Post