Karhutla Membara, Ulah Siapa?


Oleh Merli Ummu Khila
Pemerhati Kebijakan Publik

Sesungguhnya  Allah Swt. telah menyatakan dalam firman-Nya Surah ar-Rum: 41 bahwa
telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia. Kebakaran hutan dan lahan (karhutla) sudah menjadi bencana tahunan yang tidak pernah terselesaikan. Kebakaran hampir terjadi di beberapa provinsi yang menyebabkan ribuan hektar lahan terbakar. Tidak hanya itu, kabut asap juga menjadi ancaman kesehatan bagi jutaan penduduk terdampak. Begitu pula satwa liar yang harus kehilangan habitatnya. 

Awal Agustus ini telah terjadi kebakaran hutan dan lahan  di Kabupaten Samosir, Sumatra Utara. Kobaran api telah melahap lebih dari 560 hektare hutan dengan jumlah hotspot 46 titik. Kebakaran ini diduga karena pembukaan lahan dengan cara membakar hutan. Salah satu cara paling mudah dan murah yang sering kali dijadikan korporasi menekan biaya pembukaan lahan. Meskipun resiko yang ditimbulkan sangat besar yaitu kebakaran yang meluas dan mengakibatkan bencana bagi satwa dan manusia.

Karhutla sudah menjadi bencana tahunan yang telah melahap ribuan hektare hutan. Namun mirisnya tidak ada upaya yang memadai dari pencegahan dan mitigasi, penanggulangan bencana hingga sangsi yang menimbulkan efek jera bagi pelaku pembakaran yang sebagian besar dilakukan oleh korporasi. Seperti dikutip dari SuaraRiau.id, Kepala Pelaksana BPBD Riau Edy Afrizal mengungkapkan, dalam kurun waktu Januari-Juli 2022 saja luas total karhutla mencapai 1.060,85 hektare tersebar di 12 kabupaten dan kota di Riau.

Kerusakan hutan tidak hanya berdampak pada ekosistem tapi juga manusia secara keseluruhan. Di balik bencana kebakaran akan mengakibatkan bencana yang lebih dahsyat yaitu longsor dan banjir sedangkan pemulihan hutan butuh puluhan tahun lamanya.  Begitu juga dampak kebakaran akan sangat buruk yaitu hilangnya habitat satwa liar, berkurangnya cadangan air, polusi udara yang berdampak bagi kesehatan, emisi gas karbondioksida bagi pemanasan global dan kerugian lainnya.

Namun sayangnya ini seolah bukan persoalan besar bagi negara. Kesannya pemerintah tidak mampu menanggulangi bencana hingga kebakaran berlangsung berhari-hari dan hutan terdampak semakin luas. Kurangnya personil pemadam, sulitnya mencari sumber air, beratnya medan dan setumpuk kendala tekhnis terkesan menjadi alasan klise. Belum lagi penindakan terhadap pelaku pembakaran yang melibatkan korporasi terkesan lemah dan berlarut-larut. Seperti kita ketahui bahwa hukum negeri ini bisa dibeli, terlebih bagi tersangka sebuah perusahaan besar, akan mudah saja berkelit dan memenangkan perkara.

Sebut saja dalam sebuah kasus yang dikutip oleh media online Jakarta, law-justice.co pada Kamis, 13/01/2022 bahwa  sebuah perusahan PT Bumi Mekar Hijau (BMH) anak dari PT Sinar Mas telah terbukti melakukan pembakaran hutan seluas 20.000 hektare di Kabupaten Ogan Komering Ilir, Sumatra Selatan. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menggugat melalui jalur perdata dengan menuntut ganti kerugian Rp 7,9 triliun. Namun, dalam perkembangannya, yakni di Februari 2019, Mahkamah Agung (MA) hanya mengabulkan tuntutan sebesar Rp78 miliar. Sungguh ironi, vonis hanya diberikan satu persen dari gugatan dengan alasan tidak ada kerugian negara atas kebakaran tersebut.

Pembakaran hutan ini adalah konsekuensi logis dari adanya pemberian izin Hak Pengusahaan Hutan atau HPH/IUPHHK- HA oleh pemerintah kepada sejumlah korporasi. Pada akhirnya perusahaan ini membabat hutan secara besar-besaran dan menyisakan bencana bagi satwa dan manusia. Aktivitas pembalakan hutan secara masif telah memicu deforestasi dan degradasi. 

Paradigma sistem ekonomi yang sangat dominan kapitalisme neoliberalisme yang diadopsi oleh negara meniscayakan kepemilikan hutan dikuasai oleh negara dan dipercayakan sepenuhnya pada korporat. Kepemimpinan pemegang kekuasaan yang bersimbiosis dengan pengusaha membuat sumber daya alam yang seharusnya menjadi hak rakyat pada faktanya justru diserahkan pada asing dan aseng.

Sudah menjadi tabiat korporasi menguasai perekonomian dari sektor hulu hingga sektor hilir. Korporasi yang bergerak di bidang industri kertas akan menguasai bahan baku yaitu pohon untuk menekan biaya produksi sehingga tidak perlu membeli bahan baku. Misal perusahaan minyak goreng, akan menguasai  bahan baku yaitu membuat perkebunan sawit. Dengan pemberian konsesi dari negara maka korporasi ini akan semakin mudah membabat hutan dan membuka lahan perkebunan dan hutan industri. Hal ini akan terus berlansung jika tidak ada upaya untuk menghentikannya.

Akar permasalahan dari karhutla adalah konsekuensi dari diterapkannya sistem pemerintahan kapitalisme demokrasi. Sebuah institusi yang dipimpin oleh orang-orang yang meraih kekuasaan dengan uang dan demi uang. Corak kepemimpinan ini tidak akan pernah menjadikan kepentingan rakyat sebagai tujuan berkuasa. Lalu apakah mungkin kita menggantungkan harapan pada kepemimpinan jenis ini? Mengingat semua kebijakan nyaris tidak ada yang diperuntukkan demi kesejahteraan rakyat sebagaimana jargonnya. Jadi bisa disimpulkan bahwa kegagalan negara melindungi hutan adalah kesalahan ideologi karena kebijakan yang lahir dari penguasa adalah lahir dari ideologinya.

Dalam Islam, hutan merupakan kepemilikan umum, bukan kepemilikan individu atau negara. Hutan termasuk dalam kepemilikan umum (al-milkiyah al-‘ammah) (Zallum, 1983:25). Ketentuan ini didasarkan pada hadits Nabi Saw : “Kaum muslimin berserikat dalam tiga hal : dalam air, padang rumput [gembalaan], dan api.” (HR. Abu Dawud, Ahmad, Ibnu Majah). Negara hanya boleh mengelolanya karena pemanfaatan hutan tidak bisa dilakukan oleh individu karena memerlukan sarana dan modal yang besar. Negara tidak boleh memberikan pengelolaan hutan pada swasta apalagi asing.

Semua hasil hutan akan menjadi sumber pendapatan kas negara yang kelak akan membiayai semua kebutuhan rakyat baik yang diberikan secara langsung maupun tidak langsung. Hal ini didasari oleh konsep kepemimpinan dalam Islam)l yaitu ri’ayah asy-syu’un al-ummah atau memelihara urusan umat. Sebagaimana sabda Rasulullah, Imam (Khalifah) adalah raa'in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya.” (HR al-Bukhari).

Paradigma kepemimpinan yang menerapkan hukum Islam inilah yang mampu menjadi solusi dari segala problematika umat salah satunya adalah karhutla yang merupakan ulah manusia. Karhutla tidak akan terjadi karena visi negara bukan hanya mengejar keuntungan semata. Setiap kebijakan yang diambil bukan berdasarkan hasil pemikiran manusia namun berpedoman pada hukum syariah. Demikianlah ketika Islam dijadikan sebagai ideologi dan hukumnya dijadikan asas bernegara di bawah institusi yaitu Khilafah Islamiah.

Wallahu a'lam bishawab

Post a Comment

Previous Post Next Post