Harga Mie Instan Naik ?


By : Wiwik Afrah 
(Aktivis Muslimah)

Harga mi instan diprediksi bakal naik tiga kali lipat. Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo memberikan keterangan bahwa harga gandum saat ini tengah naik dan pasokan yang sulit. 

Direktur Center of Economics and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira mengatakan jika harga mi instan naik tiga kali lipat seperti proyeksi Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo, maka garis kemiskinan berisiko naik. "Karena data menunjukkan mi instan ada di posisi kelima, yaitu sumbangan terhadap garis kemiskinan yang paling besar," ujar Bhima saat dihubungi Tempo, Ahad 14 Agustus 2022. 

Pada 07/07/2022 lalu, Jokowi mengatakan bahwa perang Rusia dan Ukraina menimbulkan dampak salah satunya mahalnya harga gandum. Dalam sebuah webinar di YouTube Direktorat Jenderal Tanaman Pangan Kementan, Mentan menyarankan agar masyarakat lebih baik mengonsumsi singkong hingga sagu ketimbang harus impor gandum dengan harga mahal. (Detik.com)

Indonesia sendiri menempati urutan kedua di dunia sebagai pengonsumsi mi instan. Pada 2018 saja, konsumsi mi instan di Indonesia mencapai 12,52 miliar bungkus. Hal tersebut mengindikasikan besarnya ketergantungan rakyat Indonesia terhadap mi instan.

Ketergantungan terhadap bahan baku asal luar negeri tentu berdampak pada meroketnya harga mi instan. Sebagai negara agraris, kondisi Indonesia sesungguhnya berada pada situasi ironis sebab Indonesia belum mampu memenuhi kebutuhan pangan dalam negeri secara utuh. Kondisi ini diperparah oleh ketakseriusan pemerintah untuk membangun pertanian. Padahal, pertanian itu menyangkut hidup dan mati manusia.

Ironi Negara Agraris

Sebagai negara agraris, kondisi Indonesia sesungguhnya berada pada situasi ironis sebab Indonesia belum mampu memenuhi kebutuhan pangan dalam negeri secara utuh. Kondisi ini diperparah oleh ketakseriusan pemerintah untuk membangun pertanian. Padahal, pertanian itu menyangkut hidup dan mati manusia. 

Di samping itu, aspek pertanian yang tidak terurus telah menyumbang angka kemiskinan masyarakat Indonesia. Jika swasembada beras dapat terwujud karena adanya dukungan pemerintah melalui pembangunan irigasi pertanian, mengapa hal itu tidak pemerintah lakukan untuk pangan lainnya? Bukankah kebutuhan rakyat terhadap gandum, gula, terigu, dan sejenisnya pun sangat besar?

Aspek pertanian tentu tidak terpisah dari sektor lain yang mendukung berlangsungnya kehidupan manusia. Mulai dari kebijakan pemerintah di sektor pertanian, pengelolaan tanah, penemuan inovasi, termasuk dukungan sektor industri yang menopang sektor pertanian. 

Aksi industrialisasi dan pengembangan wilayah yang masif telah berdampak pada kian menyempitnya lahan pertanian. Kasus alih fungsi lahan banyak terjadi. Meski sejumlah kebijakan hadir untuk mengerem laju alih fungsi lahan, realitas berkata lain. 

Tumpang tindih kebijakan telah menciptakan hukum rimba di tengah masyarakat. Tidak sedikit masyarakat harus merelakan lahan yang mereka miliki demi mengejar pembangunan yang kapitalistik. Walhasil, konversi lahan pertanian menjadi pabrik atau bisnis perumahan makin masif. Kalaupun masih ada lahan tersisa, kualitasnya kian jauh berkurang karena tercemar limbah pabrik atau rumah tangga. 

Selain itu, dukungan pemerintah dalam pengadaan pupuk dinilai masih sangat kurang. Harga pupuk nonsubsidi saja sangat mencekik para petani. Sementara itu, pemberian pupuk bersubsidi masih menimbulkan keluhan dari para petani. Pasalnya, selisih antara kebutuhan dan jumlah pupuk subsidi sangat jomplang.

Kebutuhan petani terhadap pupuk per 2021 saja mencapai 24 juta ton per tahun. Sedangkan yang pemerintah salurkan hanya 9 juta ton. Alokasi pupuk ini pun hanya pemerintah tujukan kepada para petani padi, sedangkan sektor lainnya tidak.

Padahal, kebijakan ketahanan pangan meliputi seluruh kebutuhan pangan masyarakat. Karut-marutnya kebijakan di bidang pertanian ini tidak terlepas dari paradigma sistemis yang pemerintah jalankan.

Cita-cita mewujudkan ketahanan bahkan kedaulatan pangan seolah jauh dari asa para petani. Semrawutnya pengelolaan sektor pertanian seiring laju pembangunan yang kapitalistik, telah menciptakan stigma lekatnya kemiskinan terhadap para petani. Walhasil, negeri agraris tetapi petaninya gigit jari. 

Rakyat pun harus menanggung kenaikan harga pangan karena bahan baku yang bergantung dari hasil impor. Tentu kita butuh satu paradigma khas untuk mengukuhkan cita-cita kedaulatan pangan secara sistemis. Islam memiliki pandangan khas untuk mewujudkan kedaulatan pangan yang hakiki. 


Pandangan Islam

Untuk mewujudkan swasembada dan kedaulatan pangan di seluruh jenis pangan, negeri ini membutuhkan politik pertanian yang visioner. Dalam Islam, politik pertanian kekhalifahan Islam terdiri atas dua strategi penting. 

Pertama, intensifikasi yaitu peningkatan produktivitas pertanian. Hal ini meliputi pengadaan benih unggul, pupuk berkualitas, inovasi berbasis teknik pertanian modern, dan dukungan sarana prasarana lainnya untuk pengembangan sektor pertanian. 

Kedua, ekstensifikasi pertanian yakni dengan menambah luas area yang akan ditanami. Di dalam Islam, negara berhak mengambil tanah dari orang yang menelantarkan tanah selama tiga tahun berturut-turut. Tanah tersebut akan pemerintah berikan kepada siapa saja yang mampu mengelolanya. 

Sebagaimana sabda Rasulullah saw., “Siapa saja yang memiliki sebidah tanah, maka hendaknya dia menanaminya atau hendaklah ia berikan kepada saudaranya. Apabila ia mengabaikannya, maka hendaklah tanahnya diambil.”

Atas hal ini, aspek produktivitas pertanian dapat terkontrol. Di sisi lain, pemerintah dapat mengerahkan pegawai negeri, khususnya dari departemen pertanahan, untuk mengawasi tanah-tanah yang rakyat miliki. Jelas ini membutuhkan komunikasi lintas sektor demi terwujudnya kemaslahatan umat.

Melalui pengawasan tanah produktif ini, akan tercipta atmosfer kondusif dan semangat kerja yang produktif pada para petani. Jadi, aspek intensifikasi yang sepenuhnya menjadi tanggung jawab negara, berbarengan dengan ekstensifikasi pertanian yang memadai akan menjadi penopang terwujudnya swasembada pangan. 

Di sisi lain, kebijakan politik pertanian ini diiringi dengan politik industri yang menjadikan negara mandiri dalam menyediakan sarana dan prasarana seperti alat maupun mesin pertanian. Dengan demikian, Khilafah akan menjadi negara yang mandiri dan tidak tergantung terhadap negara lain. 

Dampak dari seluruh strategi ini adalah bahan baku melimpah dan hasil pertanian meningkat. Etos kerja dan atmosfer pertanian pun menjadi kondusif. Walhasil, cita-cita swasembada dan kedaulatan pangan bukan sekadar asa. Ada langkah strategis untuk mewujudkan itu semua dan Islam punya jawabannya. 
Wallahu ‘alam bisshowab

Post a Comment

Previous Post Next Post