Stunting; Benarkah Karena Nikah Dini?


Oleh Yuniar Alifah
Pengamat Sosial dan Generasi

Hari Keluarga Nasional (Harganas) 2022 masih mengusung tema yang sama dengan tahun lalu, yaitu penyelesaian masalah stunting. BKKBN Jember juga mengadakan Video Challenge pada Harganas 29 kali ini dengan mengangkat tema yang sama dengan tema Harganas nasional. 

Berdasarkan data survei Studi Status Gizi Indonesia (SSGI) tahun 2021 prevalensi angka stunting nasional masih ada di angka 24,4 persen. Artinya, masih ada sekitar 6 juta anak yang dalam kondisi stunting. Adapun ambang batas maksimal angka kekurangan gizi pada anak menurut WHO adalah 20%. Hal ini mengindikasikan bahwa persoalan gizi buruk ataupun stunting tak bisa dianggap remeh. Sebab, kondisi balita di masa sekarang adalah cerminan SDM di masa depan. Apa jadinya bila gizi buruk dan stunting terus meningkat? 

Sementara angka stunting di Jember mencapai 23 persen dibawah angka stunting nasional sebesar 24,4 persen. Namun pada tahun 2021 kemarin angka stunting di Jember mencapai 37,08 persen peringkat kedua di Jatim. Angka yang masih fluktuatif tentunya menuntut  penanganan yang lebih efektif supaya angkanya terus berkurang. Penanganan yang efektif dipengaruhi kemampuan mencari akar masalah dari problem stunting. Kesalahan mendeteksi akar masalah tentunya akan berdampak pada penanganan yang dilakukan. Walaupun tahun ini alokasi dana stunting sebesar 44,8 triliun. Namun sebesar apapun dana yang dialokasikan, tidak akan mampu mengatasi persoalan secara signifikan jika tidak diawali dari analisa akar masalah yang benar dan penanganan yang nyambung dengan akar masalah tersebut.

*Nikah  Dini, Penyebab Stunting?* 

Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Bintang Puspayoga mengatakan pernikahan dini menjadi salah satu penyebab permasalahan stunting pada anak di Tanah Air. "WHO menyebut salah satu masalah stunting adalah karena tingginya pernikahan dini," kata Menteri Bintang dalam webinar bertajuk "Cegah Stunting untuk Generasi Emas Indonesia Bersama Megawati Soekarnoputri" yang diikuti di Jakarta, Kamis (17/3/2022).

Beberapa waktu lalu, Bupati Jember Ir. H. Hendy Siswanto pada video yang beredar beberapa lalu juga menyatakan keprihatinan terhadap tingginya nikah dini di Jember yang mengakibatkan tingginya angka perceraian, AKI/AKB dan stunting. Karena anggapan-anggapan inilah maka pencegahan nikah dini digencarkan di Indonesia untuk mencegah stunting. 

Berbeda dengan narasi yang beredar tentang hubungan nikah dini dan stunting di Indonesia, Dinas Kesehatan menyebutkan empat faktor penyebab stunting, yaitu praktik pengasuhan yang kurang baik, terbatasnya layanan kesehatan, kurangnya akses keluarga pada makanan bergizi, serta pada air bersih dan sanitasi. Mengacu pada faktor stunting menurut Dinas Kesehatan, maka akar masalah stunting sebenarnya adalah berakar pada problem kemiskinan yang semakin akut, kualitas pendidikan dan lemahnya pelayanan penguasa pada semua rakyatnya sehingga layanan kesehatan dan air bersih & sanitasi menjadi sulit terakses. 

Direktur Lembaga Riset Institute for Demographic and Poverty Studies (IDEAS) Yusuf Wibisono dalam Diskusi Publik Nasional “Buruk Gizi di Masa Pandemi” di Jakarta pada Kamis (8/4/01) menyampaikan gizi buruk pada balita meningkat karena kombinasi dua persoalan utama, yaitu jatuhnya daya beli masyarakat dan terganggunya layanan kesehatan esensial, terutama bagi kelompok rentan, seperti ibu dan anak.
 
Turunnya daya beli masyarakat adalah akibat dari guncangan ekonomi saat pandemi, yang membuat akses pangan dan asupan gizi masyarakat miskin memburuk. “Konsumsi pangan yang tidak bergizi pada gilirannya memicu malnutrisi, yang pada penduduk usia dini akan membawa pada masalah serius, yaitu stunting (pendek), underweight (kurus), dan wasting (gizi kurang),” kata Yusuf 
Jika masalah-masalah ini tidak berusaha di selesaikan dan malah fokus pada upaya menekan pernikahan dini, maka pencegahan stunting tidak akan berhasil dan justru memunculkan masalah baru.

*Kampanye Tolak Nikah Dini Dalam Arus Liberalisme, Munculkan Masalah Baru*

Sebenarnya apa hubungan nikah dini dengan stunting? Berdasarkan keterangan Menteri Bintang,” Perempuan dan laki-laki usia anak yang melakukan pernikahan sebenarnya belum matang secara psikologis. Pengetahuan dan pemahaman mereka mengenai kehamilan dan pola asuh anak juga belum tentu mumpuni dan benar. Demikian pula secara fisik, organ reproduksinya belum terbentuk sempurna sehingga berisiko tinggi mengganggu perkembangan janin. Selain itu, perkawinan pasangan di bawah umur juga belum didukung oleh kemampuan finansial yang mapan yang menentukan asupan gizi yang didapatkan anak.” Walaupun kasus yang sama juga kemungkinan terjadi pada pernikahan bukan usia anak.
 
Jika memang ada hubungan antara nikah dini dan stunting, maka tentunya kita perlu melihat mengapa nikah dini banyak terjadi. Sebanyak 17.151 kasus pernikahan dini terjadi di Jatim pada 2021. Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa mengatakan hampir 80 persen pernikahan di Jawa Timur terjadi karena MBA (Married By Accident). Sementara pada saat yang sama kampanye pacaran sehat, berbagai film remaja yang justru mempromosikan gaul bebas juga bebas tayang, pornografi pornoaksi tanpa sensor, sosial media bebas menyuguhkan konten-konten yang mengarah pada pergaulan bebas, maka angka dini tentu tidak bisa ditekan. Mencegah nikah dini dalam kondisi sekarang justru akan menyuburkan pergaulan bebas yang dampaknya tentu jauh mengerikan. 

*Islam, Solusi Tepat Atasi Stunting*

Islam akan menyelesaikan masalah tepat pada titik penyebab masalahnya. Di antara faktor yang menyebabkan anak-anak mengalami gizi buruk hingga stunting antara lain: ekonomi, sanitasi, pendidikan dan perilaku orang tua baik menjalani pernikahan anak atau yang menjalani pernikahan usia normal.

Semua faktor tadi sebenarnya tersimpul dalam dua faktor, yaitu problem ekonomi dan pendidikan. Ibarat  rantai masalah yang tidak akan pernah habis dibabat. Sebab, faktor penyebab rendahnya ekonomi dan pendidikan adalah penerapan sistem kapitalisme yang melahirkan kesenjangan sosial, tidak terjaminnya kebutuhan dasar, dan abainya pemerintah dalam mengatur urusan hulu hingga hilir.
 
Masalah gizi buruk adalah efek dari tidak terwujudnya jaminan kesejahteraan masyarakat.  Indikator keadilan dan kesejahteraan dalam Islam yang akan diterapkan oleh negara Khilafah adalah terjaminnya kebutuhan pokok setiap individu. Secara praktis, negara Khilafah akan menempuh dua cara dalam mewujudkan kesejahteraan rakyat, yaitu melalui mekanisme langsung dan tidak langsung.

Mekanisme langsung berlaku untuk memenuhi kebutuhan pokok berupa jasa. Sementara pemenuhan kebutuhan pokok berupa barang dijamin dengan mekanisme tidak langsung.
 
Pertama, negara wajib memberikan pelayanan langsung berupa jasa, yakni pelayanan kesehatan, pendidikan, dan keamanan. Jaminan atas pelayanan ini harus diberikan secara gratis. Karena ketiganya termasuk dalam kebutuhan dasar rakyat.
 
Negara juga wajib menyediakan semua fasilitas yang dibutuhkan untuk pelayanan jasa tersebut, seperti pengadaan rumah sakit dan segala infrastrukturnya, sarana pendidikan dan semua perlengkapannya, dan sarana perlindungan keamanan beserta perangkat hukumnya. Inilah yang disebut mekanisme langsung.
 
Kedua, mekanisme tak langsung untuk menjamin kebutuhan pokok rakyat ditempuh dengan cara menciptakan kondisi dan sarana yang dapat menjamin kebutuhan pokok tersebut. Hal ini dilakukan untuk mengurangi “ketergantungan” rakyat pada negara. Sekaligus melatih mental rakyat agar tetap menjalankan ikhtiar dalam memenuhi kebutuhannya dengan dukungan penuh dari negara.
 
1) Negara akan memberikan lapangan pekerjaan yang layak bagi semua kepala rumah tangga (laki-laki). Kemudahan dalam mengakses lapangan kerja akan memberikan kepastian bagi kaum laki-laki untuk mencari nafkah serta memenuhi kebutuhan primer dan sekunder bagi keluarganya.
 
2) Jika individu tersebut tidak sanggup bekerja, maka ahli waris berkewajiban memenuhi kebutuhan pokoknya. Jika tidak ada ahli waris yang mampu memenuhi kebutuhannya, maka negara berkewajiban memenuhinya melalui kas Baitulmal.
 
Itulah beberapa mekanisme yang akan dilakukan negara Khilafah dalam menjamin kebutuhan rakyat. Jika kebutuhan primer terpenuhi, gizi anak tentu tercukupi. Jika akses ekonomi dan pendidikan mudah, kualitas SDM meningkat, orang tua akan memahami terkait pengetahuan dan tata cara memenuhi gizi dan nutrisi anak. Dengan begitu, angka gizi buruk dan kelaparan akan terminimalisasi manakala akar masalahnya sudah terselesaikan.
Wallahu a'lam bishshawab.

Post a Comment

Previous Post Next Post