Ketika HAN hanya Sebatas Seremonial


Oleh: Heti Suhesti, S. Pd

Hari Anak Nasional (HAN) yang diperingati setiap 23 Juli, dengan tema 'Anak Terlindungi, Indonesia Maju' tema tersebut bukanlah tema baru namun tema yang sama pada tahun 2020 dimana saat pandemi COVID-19 mulai melanda Indonesia. 

Menurut Kementerian Pemberdayaan dan Perlindungan Anak Indonesia (KPPAI), peringatan Hari Anak Nasional dimaknai sebagai kepedulian seluruh bangsa terhadap perlindungan anak Indonesia agar tumbuh dan berkembang secara optimal.

Peringatan HAN sepertinya hanya seremonial semata, karena pada kenyataannya kondisi anak bangsa masih jauh dari kata sejahtera. 
Masih ada anak yang menjadi korban kekerasan seksual, korban bullying, korban kekerasan dalam keluarga, korban pergaulan bebas serta menjadi korban kemiskinan dan putus sekolah. Bahkan miris, dalam sistem kehidupan yang sekuler dan liberal saat ini anak bukan hanya menjadi korban namun juga menjadi pelaku.


Kasus kekerasan seksual, kekerasan dalam keluarga bahkan kasus bullying masih menyelimuti anak bangsa ini, bahkan kasus kekerasan seksual adalah kasus tertinggi pada anak. Sebagaimana dituturkan Bintang dalam rapat dengan Badan Legislasi DPR, Kamis (24/3/2022).

"Kekerasan terhadap anak sebanyak 11.952 kasus dengan kekerasan seksual sebanyak 7.004 kasus. Hal ini berarti 58,6 persen kasus kekerasan terhadap anak adalah kasus kekerasan seksual,".

Belum lagi masalah pendidikan, Laporan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) menunjukkan, ada 75.303 orang anak yang putus sekolah pada 2021. Jumlah anak yang putus sekolah di tingkat sekolah dasar (SD) merupakan yang tertinggi sebanyak 38.716 orang. Menurut Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) penyebab utama anak putus sekolah adalah karena menikah, bekerja dan tunggakan SPP. 

Sejumlah masalah yang harus anak hadapi, secara langsung merupakan dampak dari kebijakan negara. Kebijakan tidak populis yang negara rumuskan berdampak langsung pada kehidupan sang anak. Kenaikan harga kebutuhan pokok berimbas pada tidak stabilnya ekonomi keluarga. Konsekuensinya, anak harus putus sekolah dan memilih bekerja untuk membantu ekonomi keluarga.

Kekerasan yang kerap anak alami di lingkungan keluarga juga banyak karena latar belakang tekanan hidup. Tidak sedikit anak yang harus merelakan masa kecilnya untuk bermain, berganti dengan dunia kerja yang tidak manusiawi. Ancaman kekerasan fisik berkelindan dengan kejahatan seksual dari para predator.

Atas dasar ini, benarkah peringatan HAN tahun ini sekadar seremonial semata? Jika negara benar-benar ingin mewujudkan perlindungan terhadap anak, negara harus menempuh langkah strategis dan sistemis. 

Islam memandang bahwa secara fitrah, anak berhak memperoleh perlindungan dan kasih sayang. Oleh karena itu, keluarga berperan menciptakan kehangatan, mendampingi tumbuh kembang anak, dan mengenalkan konsep dasar keimanan sehingga anak tumbuh sebagai hamba Allah yang taat.

Di sisi lain, masyarakat berperan mendukung perkembangan anak dengan bekerja sama menciptakan sistem sosial yang sehat dan ramah anak. Islam mengajarkan bagaimana menjaga hak antara sesama muslim, tidak saling mengejek, saling menjaga hak, juga menumbuhkan karakter untuk saling membantu (ta’awun). Orang tua tentu berperan besar mengenalkan sistem sosial islami kepada anak.

Sementara itu, negara berkewajiban untuk mengadopsi berbagai kebijakan dalam rangka mewujudkan kemaslahatan rakyat. Negara wajib memenuhi kebutuhan mendasar rakyat dan memastikan terpenuhinya kebutuhan mereka secara utuh dan menyeluruh, individu per individu.

Negara juga wajib memperhatikan aspek sosial masyarakat, ekonomi, pergaulan, pendidikan, dan seluruh aspek kehidupan lainnya. Negara bertugas memberi jaminan keamanan, perlindungan terhadap harta, serta memastikan keselamatan jiwa. Ini semua sebagai langkah nyata melindungi rakyatnya. 

Negara secara langsung memberikan perlindungan pada institusi keluarga sehingga anak terlindungi dan haknya sebagai anak pun terpenuhi. Dengan demikian, cita-cita untuk melindungi anak harus bersifat sistemis. Sebagai aset bangsa, harus ada langkah strategis untuk melindungi anak agar kelak mampu menjadi generasi penerus peradaban. Wallahu'alam bishowab

Post a Comment

Previous Post Next Post