DEMOKRASI: MELAHIRKAN PEMIMPIN YANG TEPAT?


Oleh: Sukmawati Umar
 (Pemerhati Sosial)


JAKARTA, KOMPAS.com - Sekretaris Jenderal Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Aboe Bakar Al-Habsyi mengatakan bahwa PKS masih terbuka kepada siapa saja tokoh calon presiden (capres) untuk didukung Pilpres 2024.
Menurut Aboe, PKS membantah jika dinilai orang cenderung mendukung Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan sebagai capres.
"PKS wait and see sampai sekarang. Kita tunggu sampai ada perkembangan yang menarik. Enggak (cenderung mendukung Anies) enggak ada, enggak ada," kata Aboe dalam wawancara yang dikutip dari YouTube Tribun Network, Senin (13/6/2022).

Bursa capres 2024 makin panas. Beberapa nama mulai muncul ke permukaan di antaranya Anies Rasyid Baswedan, Ganjar Pranowo, Prabowo Subianto, AHY, Sandiaga Uno, Jendral Andika Perkasa, Ridwan Kamil, Muhaimin Iskandar, dan Puan Maharani. Sudah ada beberapa partai yang mengelus jagoannya. Seperti Partai Nasdem yang mengusung tiga nama, yakni Anies, Ganjar, dan Jendral Andika. DPD PAN Jakarta Barat juga mengusulkan Anies untuk menjadi capres, selain Zulkifli Hasan. Sedangkan Partai Gerindra sudah bulat mengusung Prabowo Subianto. Elektabilitas ketiganya menjadi yang tertinggi. Tetapi, hal ini bukanlah suatu jaminan bahwa mereka akan maju menjadi capres. Pasalnya, untuk mendapatkan tiket Pilpres 2024, mereka harus memenuhi ambang batas pencapresan, yaitu 20% dari jumlah kursi DPR atau 25% dari suara sah pemilu. Seperti Prabowo dia tidak akan bisa maju Pilpres tanpa berkoalisi, karena Partai Gerindra yang mengusungnya hanya memiliki 12,57% suara sah pemilu. Sedangkan Anies belum mendapatkan dukungan yang mencukupi dari partai-partai. Dukungan Nasdem jelas tidak mencukupi dari partai-partai. 

Sementara PKS yang selama ini tampak dekat dengan Anies ternyata belum memberikan dukungan resminya. Alhasil, pencalonan Anies seolah hanya wacana belaka. Sedangkan Ganjar masih terhalang dengan restu Megawati untuk bisa nyapres. PDIP lebih memilih Puan sebagai penerus Soekarno untuk maju menjadi capres. Padahal, Ganjar banyak dielu-elukan publik. Bahkan, internal PDIP terpecah karena sebagian ada yang mendukung Ganjar. Anies dan Ganjar menjadi sosok yang memiliki elektabilitas tinggi, tapi tidak mendapat restu partai.

Beda Kutub

Arus pencapresan ini telah menunjukkan bahwa pasangan yang banyak didukung publik, yang memiliki elektabilitas tinggi,  tetapi berbeda dengan pasangan yang diusung partai. Anies dan Ganjar boleh saja memiliki elektabilitas tinggi, tetapi tanpa partai, jadi kedua tidak bisa maju melaju dalam kontestasi. Sebaliknya, tokoh yang disukai partai ternyata tidak mendapatkan dukungan dari publik, elektabilitasnya rendah, seperti Puan Maharani. Fakta ini menunjukkan bahwa masyarakat dan partai politik sedang berada di satu kutub, sedangkan parpol berada dikutub yang berbeda. Jadi, keduanya bertolak belakang. Demokrasi yang selama ini mengatakan, bahwa suara rakyat adalah suara kita ternyata itu hanya isapan jempol saja, karena faktanya suara rakyat justru diabaikan dan hanya dipandang sebagai komoditas ekonomi yang bisa dimanfaatkan saat jelang kontestasi. Selebihnya, suara rakyat tidak penting bagi mereka.

Kemunafikan Demokrasi

Demokrasi, yang katanya mengedepankan suara rakyat dan pilihan terbanyak, tetapi kenyataannya berbeda. Partai memiliki haluan sendiri yang tidak seiring dengan rakyat yang diwakilinya di parlemen. Ini adalah bukti dari kemunafikan demokrasi, mereka mengaku berjuang demi rakyat tetapi realitasnya tidak. 

Calon-calon yang dianggap mampu oleh rakyat justru tidak dilirik oleh partai. Dengan demikian pemimpin yang mumpuni  dari jalan demokrasi hanyalah ilusi. Karena calon pemimpin yang dipilih oleh rakyat tidak diadopsi oleh partai. Jika begitu realitasnya, lantas, perjuangan partai untuk siapa?

Besarnya biaya demokrasi membuat partai bergantung pada para pemodal (kapitalis). Sehingga para kapitalis sebagai pemilik korporasi itu, akan mendapatkan kompensasi dari penguasa berupa regulasi yang berpihak pada mereka. Inilah yang menguntungkan keduanya, tetapi sangat merugikan rakyat. Penguasa yang seharusnya melayani rakyatnya justru menjadi pelayan para kapitalis. Beginilah wajah politik dalam demokrasi yang akan diuntungkan hanyalah mereka yang bermodal dan yang menentukan siapa sosok yang akan menjadi pemimpin. Siapa yang loyal kepada kapitalis, maka akan mendapat dukungan dengan dana yang tidak berseri, sehingga berhasil lolos menjadi pemimpin. Sehingga pilihan rakyat tidak berkesempatan maju dalam kontestasi. Rakyat akhirnya harus pasrah untuk menerima hasil yaitu penguasa yang buruk.

Perjuangan Islam

Dengan faktanya, bahwa gugurnya calon pemimpin yang baik dalam demokrasi ini menjadi pelajaran untuk umat Islam, tentang mendapatkan  pemimpin yang baik hanyalah ilusi dalam demokrasi. Para kapitalis pasti akan meminggirkan calon yang islami karena tidak berpihak pada kepentingan mereka. Maka sudah jelas, bahwa untuk mendapatkan pemimpin yang Islami tidak bisa melalui jalan demokrasi. Sehingga untuk mendapatkan pemimpin yang islami, jalan satu-satunya adalah melalui sistem Islam, yaitu Khilafah. Pemilihan pemimpin dalam Khilafah berjalan efektif dan efisien sehingga para calon tidak butuh dukungan dana dari para pemodal. Asalkan memenuhi syarat in'iqad, mereka boleh mengajukan diri menjadi penguasa. Dengan demikian rakyat dapat memilih pemimpin yang di ridhai. Pemimpin yang terpilih tidak akan menjadi sandera oleh para pemilik modal karena konsepnya tidak memakan biaya satu dinar pun. Dengan begini, maka jelas sekali perbedaan antara demokrasi dan sistem Khilafah, maka sudah seharusnya umat Islam menyibukkan dirinya dalam berjuang mewujudkan sistem Islam, sehingga akan mendapatkan pemimpin sholih yang mau mengayomi dan melayani sesuai dengan syariat Islam. Wallahu a'lam.

Post a Comment

Previous Post Next Post