Tempat Berlibur Membawa Petaka, Bukti Makin Abainya Negara



Oleh: Fatimatuz Zahro 

(Pemerhati Sosial)


Kenjeran park atau lebih dikenal dengan istilah kenpark pada pukul 13.30 mengalami insiden kecelakaan pada bagian seluncuran kolam renang setinggi 10 m, kejadian terjadi pada saat ramainya pengunjung di waktu liburan hari raya kemarin. Sebanyak 15 orang pengunjung menjadi korban dan dilarikan ke rumah sakit terdekat untuk mendapatkan pertolongan medis.


Berdasarkan penjelasan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Surabaya menyatakan dugaan sementara insiden ambrolnya sambungan seluncuran kenpark disebabkan karena lapuknya seluncuran, terbukti kejadian terjadi secara tiba-tiba di saat banyaknya pengunjung berada dalam wahana tersebut. Akibatnya sebagian pengunjung berjatuhan dari ketinggian 10 m saat insiden tersebut dan harus dilarikan ke rumah sakit.


Tragedi kecelakaan di tempat-tempat wisata bukan pertama kali ini terjadi, seperti putusnya jembatan gantung di taman wisata baturaden beberapa tahun lalu yang menewaskan 4 orang, tenggelamnnya perahu wisata di danau singkarak, dan kasus air bah di tabalong kalimantan selatan yang menewaskan 7 orang wisatawan dosmestik, dan masih banyak sederet kasus lainnya. Mengapa wahana rekreasi yang harusnya menjadi tempat berlibur dan bersenang senang malah membawa petaka?


Minimnya Pengawasan

Saat musim liburan tempat-tempat wisata mengalami kenaikan pengunjung sampai 100% lebih, hal ini menjadikan pengelola tempat-tempat wisata menggunakan prinsip aji mumpung. Sehingga terkadang tempat wisata digunakan melebihi kapasitas normalnya. Ditambah lagi minimnya pengecekan, usia teknis fasilitas yang sudah lama dan berkarat, kurang terawat, serta frekuensi pemakaian meningkat karena jumlah pengunjung yang membludak, jelas akan mempercepat terjadinya bencana. Sebagaimana peristiwa ambrolnya seluncuran di kenpark beberapa hari lalu.


Cara pandang kapitalis menjadikan faktor keuntungan menjadi prioritas utama dalam pengelolaan wisata, hingga pengelola disibukkan mengejar untung semata, dibandingkan pemeliharaan wahana agar aman dan nyaman saat digunakan. Sistem kapitalisme yang mendominasi juga meminimalkan dan mengabaikan pengawasan obyek wisata oleh aparat pemerintah daerah (Pemda). Padahal, petugas Pemda rajin memungut biaya retribusi, tetapi malas melakukan pengawasan dan membuat SOP standar keselamatan tempat rekreasi.


Disfungsinya peran negara dalam mengawasi fasilitas-fasilitas publik dan mengontrol kelayakan fasilitas publik membawa celaka terhadap keselamatan masyarakat. Inilah bukti abainya negara dalam melakukan pengontrolan dan pengawasan kelayakan fasilitas-fasilitas publik seperti tempat-tempat rekreasi khususnya dimana dibanjiri pengunjung pada musim liburan atau akhir pekan. 


Lemahnya Penegakan Hukum

Dalam Undang-Undang (UU) No. 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan konsumen jasa wisata, wisatawan mempunyai hak yang amat mendasar. Sebagaimana yang tertuang dalam Pasal 20 UU Kepariwisataan menyatakan bahwa setiap wisatawan berhak memperoleh informasi yang akurat mengenai daya tarik wisata, pelayanan kepariwisataan sesuai dengan standar, perlindungan hukum dan keamanan, pelayanan kesehatan, perlindungan hak pribadi, dan perlindungan asuransi untuk kegiatan pariwisataan yang berisiko tinggi.


Demikian juga dalam UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen disebutkan bahwa konsumen (jasa pariwisata) berhak untuk mendapatkan informasi yang jelas, benar dan jujur; hak untuk mendapatkan keamanan, keselamatan, dan kenyamanan; hak untuk mendapatkan pembinaan dan advokasi, bahkan hak untuk mendapatkan kompensasi dan ganti rugi. Pelaku usaha (pengelola tempat wisata) wajib memberikan rasa aman, selamat, dan nyaman bagi konsumennya sebagai pengguna jasa tempat wisata.


Akan tetapi dalam prakteknya, aturan yang telah tertuang tidak sinkron, penegakan hukum atas persoalan ini justru memble. Kepolisian dan aparat terkait misalnya, sering kali setengah hati memproses kasus kecelakaan  di tempat wisata terutama yang merenggut korban jiwa. Tidak ada upaya untuk memberikan efek jera (detterent effect).


Pihak pengelola (manajemen) pariwisata juga tidak jarang menyelesaikan perkara tersebut dengan uang, atau hanya petugas lapangan saja yang menjalani proses hukum pidana sesuai UU diatas. Padahal jelas, terjadinya kecelakaan, selain karena faktor human error, juga dipicu oleh management error pihak pengelola. Sangat tidak adil kalau yang diproses secara hukum pidana hanya petugas lapangan. Sementara, pihak manajemen dibiarkan melenggang bebas. (ylki.or.id)


Abainya Negara

Peristiwa ini memberikan pelajaran bagi kita untuk mempertanyakan peran negara. Karena bila diserahkan pada pihak swasta sebagai pemilik atau pengelola maka orientasi keuntungan akan mendominasi, mengalahkan pertimbangan keamanan dan kenyamanan.


Padahal, sektor pariwisata adalah salah satu sumber pendapatan negara yang banyak dikembangkan saat ini. Oleh karena itu, negara sejatinya yang paling bertanggung jawab penuh terhadap keselamatan warga, khususnya terkait fasilitas rekreasi yang dibuka untuk publik ini.


Rekreasi bernilai Dakwah bukan eksploitasi

Pariwisata adalah sektor penting membangun jiwa masyarakat untuk menyadari betapa besarnya nikmat yang Allah berikan, melalui sektor ini negara bisa berdakwah ke masyarakat untuk menjaga keseimbangan alam. Selain memanfaatkan sebagai sumber pendapatan negara meski bukan sumber utama. Sebab sistem islam telah memiliki sumber pendapatan negara yang bersifat tetap.


Tujuan utama sektor pariwisata adalah sebagai sarana dakwah. Objek wisata dalam islam didesain untuk membuat manusia, baik muslim maupun nonmuslim, senantiasa tunduk dan takjub ketika menyaksikan keindahan alam semesta sebagai bagian dari ciptaan Allah swt.


Sehingga dengan melakukan rekreasi akan menumbuhkan keimanan dan kesadaran pada adanya Zat yang menciptakan alam semesta dan seisinya bagi seseorang yang belum beriman. Sedangkan, bagi mereka yang sudah beriman dapat semakin mengukuhkan keimanannya.


Tempat rekreasi bukan hanya untuk meraup keuntungan semata sebagaimana dalam prinsip kapitalisme. Perbedaan tujuan utama ini menjadikan perbedaan dalam membuat kebijakan di bidang rekreasi. Oleh karena itu dalam islam bidang rekreasi adalah sarana dakwah maka sistem islam tidak akan mengeksploitasi bidang ini untuk kepentingan ekonomi dan bisnis.


Sedangkan sistem kapitalisme yang  menjadikan pariwisata sebagai sumber perekonomiannya maka apa pun akan dilakukan demi kepentingan ekonomi dan bisnis.sehingga prinsip ekonomi sangat mendominasi dalam pengelolaan sektor pariwisata ini, misalnya meminimalisasi biaya operasional yang harus dikeluarkan, seperti untuk pengecekan dan perawatan fasilitas dan sarana di tempat rekreasi.


Sistem islam hanya dapat diterapkan dalam naungan khilafah, sebagaimana yang telah dicontohkan oleh baginda nabi Muhammad Saw dan para khalifah setelahnya. Terbukti selama 13 abad sistem ini diterapkan, Khilafah mampu meriayah(melayani) umat dengan penuh kesejahteraan. Penguasa hadir sebagai pelayan bagi seluruh urusan masyarakat, termasuk dalam sektor pariwisata dan benar-benar mewujudkan keselamatan bagi masyarakat, khususnya di tempat rekreasi. Negara Khilafah akan menjaga sarana dan fasilitas di tempat rekreasi dengan semaksimal mungkin karena penjagaan ini merupakan amanah yang tidak hanya dipertanggungjawabkan di dunia ini, melainkan juga di hadapan Allah Swt. di akhirat nanti. Wallahualam.

Post a Comment

Previous Post Next Post