PLIN-PLAN KEBIJAKAN MIGOR MUNGKINKAH DESAKAN MAFIA ?

Penulis : Nurul Rabiatul Adawiyah

Utak atik kebijakan migor tata niaga minyak goreng berlanjut. Pemerintah membuka kembali kran ekspor minyak goreng setelah sempat disetop kurang lebih selama satu bulan. Dikatakan karena pasokan dalam negeri aman dari pertimbangan kesejahteraan petani sawit.

Seiring dibukanya lagi ekspor minyak goreng dan bahan bakunya. Air langga memastikan kebijakan ini terjadi sebagai langkah menjamin ketersediaan bahan baku minyak goreng dan keterjangkauan harga minyak goreng kepada masyarakat dengan menerapkan peraturan DMO oleh kementerian perdagangan dan DPO yang mengacuh pada kajian dari BPKP ditentukan oleh Kemendag. (Inilah.com, Jum'at/20/05/22).

Memang benar bahwa terjadinya ekspor migor memastikan perbaikan harga dalam negeri seolah buah segar bagi rakyat. Namun bila dilihat sejauh ini rakyat masih mengalami kesulitan pada harga minyak goreng yang masih terbilang tinggi, ditambah lagi belum ada kejelasan terkait penuntasan kasus-kasus mafia yang mengambil untung dari ekspor dan kenaikan harga di dalam negeri.

Total ketersediaan minyak goreng atau jumlah DMO yang harus terpenuhi di dalam negeri sebanyak 10 juta ton minyak goreng. Jumlah ini terdiri dari 8 juta ton minyak goreng kebutuhan nasional dan cadangannya 2 juta ton.

Akar masalah harga minyak goreng melonjak hingga plin-plan kebijakan minyak goreng tidak lain adalah akibat dari permainan korporasi. Drama kelangkaan minyak goreng tidak lepas dari intervensi mereka. Inilah wajah kapitalisme yang menjadikan rakyat sebagai objek meraup keuntungan yang sebesar-besarnya. Padahal keuntungan itu bukan untuk mengisi kas APBN negara. Sedangkan pihak swasta diberi ruang untuk memanfaatkan rakyat untuk kepentingan mereka.

Seperti ini lah watak kapitalisme dan ini merupakan perkara mutlak. Sementara pencabutan larangan ekspor memastikan biaya produksi industri minyak goreng akan semakin tinggi sehingga tidak ada kepastian mengenai harga minyak goreng di pasaran.

Ditambah lagi belum ada kejelasan terkait penuntasan kasus mafia minyak goreng yang telah mengambil keuntungan dari ekspor dan kenaikan harga di dalam negeri.

Dalam sistem kapitalisme, negara bukan lah satu-satunya penyedia barang dan jasa untuk memenuhi kebutuhan publik. Akan tetapi pihak sewasta mengakporasi dan loyal menjadi penyebabnya. Dalam mengeluaran bahan baku minyak goreng saja penguasaan lahan mencapai 58% sedangkan BUMN hahya 4% ini menjadi bukti liberalisasi ekonomi. Sistem kapitalisme telah membuka lebar investasi pihak swasta. Alhasil rakyat hanya memiliki daya beli yang bisa mengakses kebutuhan pokok.

Dalam sistem kapitalisme negara laksana wasit yang menjadi penengah antara pengusaha dan rakyat. Padahal sejatinya, negaralah yang berperan memenuhi kebutuhan rakyat. Dalam rangka melaksanakan amanah sebagai pelayan rakyat, sudah selayaknya negara memastikan aspek produksi hingga distribusi. Negara harus memiliki jati dirinya sebagai pelayan rakyat, negara harus memastikan kebutuhan rakyat tidak hanya persoalan kebutuhan rakyat di pasar melainkan sandang, pangan, kesehatan, keamanan dan sebagainya. Namun konsep seperti ini hanya ada di dalam sistem pemerintahan Islam yakni Khilfah.

Dalam Islam negara berperan besar memastikan aktivitas produksi, berikut ketersediaan faktor-faktor produksi (SDM, SDA, dan Modal). Dalam kasus minyak sawit ini negara jelas membutuhkan keberadaan para petani, bahkan negara wajib menyediakan berbagai sarana pertanian yang memudahkan para petani dalam memenuhi kebetuhan pertanian mereka. Hasil pertanian tersebut dapat menjadi sumber penghasilan dan sumber pemenuhan kebutuhan rakyat. Negara akan mengelola hasil pertanian tersebut berdasarkan pendapat para ahli dan iljtihad Khilafah.

Wallahu'alam Bishawab.

Post a Comment

Previous Post Next Post