Korupsi dan Politik Dinasti Niscaya dalam Demokrasi


Oleh : Fani Ratu Rahmani 
(Aktivis dakwah dan Pendidik)


Operasi Tangkap Tangan (OTT) terhadap Kepala daerah kembali dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Pada Rabu (27/4/2022) pagi, KPK melakukan kegiatan tangkap tangan di wilayah Jawa Barat. Ade Yasin dan rekannya diduga menyuap 4 orang auditor BPK perwakilan Jawa Barat sebesar Rp 1,9 miliar demi mendapatkan predikat opini WTP dalam laporan keuangan Pemerintah Kabupaten Bogor Tahun Anggaran 2021. 

Koordinator Divisi Korupsi Politik Indonesia Corruption Watch (ICW) Egi Primayogha menilai kasus dugaan suap membelit Bupati Bogor Ade Yasin, ini merupakan contoh kegagalan dalam proses kaderisasi yang dilakukan oleh partai politik. Ini menunjukkan bahwa parpol gagal dalam melakukan fungsi rekrutmen politik dan kaderisasi anggota. 

Di sisi lain, menurut Egi praktik korupsi yang dilakukan kepala daerah diakibatkan oleh pemilihan umum yang berbiaya tinggi. Hal ini membuat kepala daerah terdorong melakukan praktik koruptif agar bisa digunakan untuk memberi mahar pada parpol, jual beli suara, kampanye dalam pilkada ataupun balas jasa ketika ia terpilih. 

Demokrasi Biang Korupsi dan Politik Dinasti 

Berdasarkan hal ini kita bisa saksikan bahwa persoalan korupsi merupakan persoalan yang tidak kunjung usai. Ini adalah persoalan yang terus terulang. Dan kejahatan ini tidak lepas dari dinasti politik yang ada. Oleh sebab itu, kita mesti mencari solusi tuntas atas persoalan ini. Agar tidak terjadi lagi bentuk pengkhianatan yang dilakukan oleh para pejabat maupun elite politik yang berimbas pada urusan masyarakat. 

Namun, sebelum itu sebaiknya kita menelaah terlebih dahulu penyebab dari persoalan ini. Pertama, memang benar bahwa korupsi itu diawali dari individu yang memang berkhianat atau tidak amanah dalam menjalankan tugasnya. Perbuatan khianat ini karena lemahnya keimanan dan ketaqwaan dalam dirinya. Kedua, tidak dipungkiri bahwa tindakan korupsi ini juga dipengaruhi oleh lingkungan kerja atau teman sejawat yang ikut terlibat dalam tindakan korupsi. Ketiga, adanya dinasti politik yang berkorelasi dengan biaya kontestasi politik sehingga mengarah pada tindakan koruptif. Sebagaimana kita ketahui, seseorang bisa maju mendapatkan tampuk kekuasaan apabila memiliki modal yang besar. Dan modal besar ini didapatkan dari persekutuan dengan elit politik, melibatkan keluarga yang juga berkiprah di dunia politik dan juga para pengusaha. 

Peneliti Transparency International Indonesia (TII) Wawan Heru Suyatmiko pun juga menilai hal yang sama mengenai politik dinasti. Politik yang mahal hanya melahirkan pimpinan daerah yang korup. Kasus dinasti politik yang akhirnya membuat kepala daerah masuk bui bukan hanya kasus Ade Yasin dan Rahmat Yasin di Bogor. Di Provinsi Banten, ada Ratu Atut Chosiyah (eks gubernur) bersama adiknya Tubagus Chaeri Wardhana alias Wawan. Atut dan Wawan tersandung kasus korupsi alkes dan akhirnya dipenjara. 

Biaya yang mahal dalam kancah Pemilihan Umum (Pemilu) memang akan selalu terjadi dalam sistem politik yang diterapkan saat ini. Inilah potret nyata sistem demokrasi. Sebuah sistem gagasan Plato yang meletakkan kewenangan membuat hukum terletak pada manusia. Dan untuk bertarung dalam Pemilu, demokrasi seolah membolehkan untuk menghalalkan berbagai cara termasuk menarik simpati rakyat dengan suap, 'memukul lawan politik' dengan fitnah, maupun kampanye besar melalui media dan di tengah masyarakat. 

Oleh sebab itu, kita seharusnya memahami bahwa sistem demokrasi ini tidak bisa diandalkan untuk mengatur perpolitikan di negeri ini bahkan dunia. Kecacatan demokrasi tidak bisa dielakkan karna merupakan buah pikir manusia yang lemah dan terbatas. Manusia tidak bisa menetapkan kebenaran secara hakiki, akan selalu bersifat relatif. Sehingga dalam menangani berbagai problematika tidak mengantarkan pada solusi hakiki melainkan muncul masalah baru lagi. 

Selama masih menggunakan sistem yang sama, maka korupsi dan politik dinasti tidak dapat dihilangkan. Karna korupsi dan politik dinasti hanya buah dari penerapan demokrasi. Menghentikannya harus hingga ke akar masalah yaitu meninggalkan demokrasi. Dan meninggalkan demokrasi juga diikuti dengan meninggalkan ideologi kapitalisme yang diemban oleh barat (Amerika Serikat) hingga saat ini. Mampukah kaum muslim meninggalkan demokrasi ? Lantas, bagaimana pengaturan kehidupan kaum muslimin tanpa demokrasi ? 

Islam Aturan Hidup dan Solusi Komprehensif

Sebagai muslim seharusnya kita bersyukur karna Allah telah memberikan seperangkat aturan yang lengkap untuk kehidupan manusia. Aturan yang lengkap ini telah memuat berbagai hal seperti Politik, Ekonomi, Pendidikan, Sosial, Budaya dan Hukum. Berasal dari yang Maha Benar, maka bisa dipastikan bahwa aturan islam adalah aturan yang benar. 

Selain itu, islam juga merupakan panduan hidup yang solutif. Segala kerusakan dan permasalahan memang akibat ulah tangan manusia, namun islam memberi solusi tuntas itu semua. Bahkan, islam bisa mencegah berbagai persoalan agar tidak terjadi kembali, inilah disebut solusi preventif. Kemudian, islam mampu membuat efek jera bagi pelaku kejahatan, inilah disebut solusi kuratif atau represif. Semua demi kemaslahatan hidup masyarakat. 

Termasuk terhadap masalah korupsi ini, Islam memberikan sejumlah hukuman yang berat kepada pelaku korupsi, suap dan penerima komisi haram. Pada masa Rasulullah saw. pelaku kecurangan seperti korupsi, selain harta curangnya disita, pelakunya di-tasyhir atau diumumkan kepada umat. Ini memiliki maksud tertentu agar umat mengetahui dan menyadari sebuah tindakan kejahatan. 

Pada masa Khulafaur Rasyidin ada kebijakan yang dibuat oleh Khalifah Umar bin al-Khaththab ra. untuk mencatat harta kekayaan para pejabatnya saat sebelum dan setelah menjadi pejabat. Jika Khalifah Umar merasa ragu dengan kelebihan harta pejabatnya, ia akan membagi dua hartanya dan memasukan harta itu ke Baitul Mal. Khalifah Umar ra. juga tak segan merampas harta yang diberikan oleh para pejabatnya kepada karib kerabat mereka. Umar pernah merampas separuh harta Abu Bakrah ra. karena kerabatnya bekerja sebagai pejabat Baitul Mal dan pengurusan tanah di Irak. (Syahid al-Mihrab, hlm. 284). 

Pemberantasan korupsi dalam Islam menjadi lebih mudah dan tegas karena individu, negara dan masyarakatnya dibangun di atas dasar ketakwaan. Hukumnya pun berasal dari wahyu, bukan dari hawa nafsu manusia sebagaimana dalam sistem demokrasi. Dalam sistem demokrasi, hukuman untuk para koruptor dan upaya penindakannya bisa diubah sesuai kepentingan. 

Karena itu sudah saatnya umat kembali pada syariah Islam yang datang dari Allah Mahasempurna. Sehingga bukan hanya korupsi dalam politik dinasti yang bisa teratasi tapi berbagai problematika yang ada. Dengan izin Allah, terciptalah sebuah negara yang berkah dalam penerapan islam kaffah dalam bingkai khilafah rasyidah. Wallahu a'lam bish shawab.

Post a Comment

Previous Post Next Post