Intelektual Pengidap Islomophobia


By : Nurul Husna S.Pd
Aktivis Muda Medan dan Pendidik Sekolah Anak Tangguh

Buru-baru ini aroma islamophobia kembali menguar ditengah-tengah kita melalui statement yang dilontarkan oleh Bapak Prof. Budi Santosa selaku Rektor Institut Teknologi Kalimantan yang menyebut mahasiswi berjilbab dengan istilah manusia gurun. Pernyataan tersebut banyak mengundang kontroversi ditengah-tengah masyarakat karena dianggap rasis (pembedaan berdasarkan ras) dan xenophobic (benci pada orang asing) karena mengandung unsur SARA.

Miris dan sangat disayangkan. Tulisan yang jelas menghina Islam itu terlontar dari seorang Rektor. Tentu saja tulisan tersebut menuai kontra hingga masyarakat meminta agar rektor tersebut dipecat. Sungguh, di era kapitalisme sekuler ini, sudah tidak terhitung kasus rasis dan penghinaan terhadap Islam. Racun sekulerisme yang berkembang disisi pendidikan kita hari ini telah menjadikan para intelektualnya menjadi intelektual yang angkuh karena menilai prestasi unggul dari prestasi akademik bahkan menganggap semestinya manusia cerdas adalah para penolak ketaatan pada agama. Penerapan sekuler disistem pendidikan telah merusak mentalitas para intelektual yang menjadikan dunia diatas segalanya, mereka dicetak untuk berlomba-lomba memiliki IQ diatas rata-rata dan digenjot untuk mendapatkan gelar dan karir yang setinggi-tingginya, sehingga menjauhkan mereka dari perannya sebagai seorang hamba kepada tuhannya. Bahkan mereka menganggap bahwa peran agama dapat menjadi ancaman bagi karir mereka.

Beginilah wajah buruk kapitalisme sekuler menabur kebermanfaatan semu, seakan madu yang manis dan menggiurkan ternyata racun yang mematikan siapapun yang terjun kedalamnya. Pemisahan agama dari pendidikan menjadikan para intelektualnya jauh dari pemahamannya tentang islam, bahkan mereka dibius sehingga muncul rasa ketakutan terhadap agamanya sendiri, racun islamophobia yang ditebar menyebabkan banyaknya intelektual yang mengidap islamofobic. Ditambah lagi dengan paham liberal yang bertebaran ditengah-tengah mereka, menjadikan mereka berlomba-lomba untuk meraih fan, food and fashion ala mereka. Mereka terpacu untuk bagaimana bisa meraih kesenangan yang sebesar-besarnya, bergaya yang sebagus-bagusnya dan lain sebagainya. Sehingga mereka lupa tugas mereka sebagai intelektual pembawa perubahan bangsa dan agama.

Berbeda jauh dengan pendidikan pada sistem islam, didalam islam para intelektual akan dibentuk dengan aqidah islam sehingga mereka bisa memiliki kepribadian islam yang menjadikan mereka takut dalam melanggar aturan sang khaliq. Bagaimana kita belajar dari sosok khalifah Umar bin Khattab yang takut dimintai pertanggung jawaban sama Allah atas kepemimpinannya, dan belajar juga dari sosok sahabat Muadz bin Jabal, yang diutus oleh Rasulullah menjadi seorang wali di Yaman karena kecerdasannya dalam menjawab pertanyaan Rasulullah. Ketika Rasulullah bertanya, dengan apa kamu akan memutuskan perkara?, maka beliau menjawab dengan “Al Qur’an”, jika tidak bisa dengan Al Qur’an?, dengan “Sunnah Rasulullah”, jika tidak bisa juga?, “aku akan berijtihad dengan berpegang pada Al qur’an dan Sunnah”.

Dan tidak pernah sejarahnya didalam sistem kepemimpinan islam mencetak generasi intelektual mengeluarkan statement-statement tanpa didasari oleh dalil, apalagi statement penghinaan kepada islam. Didalam islam intelektual yang terbentuk adalah intelektual yang senantiasa takut akan pelanggaran kepada hukum-hukum Allah. Wallahu’alam bisshawab.

Post a Comment

Previous Post Next Post