IMPOR MENINGKAT: PEMERINTAH TIDAK TAU ATAU NGGA MAU TAU?


Penulis: Firda Faradilah

Beberapa waktu lalu Presiden Indonesia Jokowidodo menyampaikan kekecewaannya terhadap sikap para pemerintah pusat dan daerah serta BUMN yang masih melakukan impor terkait pengadaan barang dan jasa. Padahal, anggaran modal yang diberikan cukup. Menurut presiden seharusnya anggaran tersebut dapat membeli barang-barang dalam negeri. Dan dapat membuka lebih dari 2 juta lapangan pekerjaan. “kalau ini tidak dilakukan bodoh banget kita ini" katanya. Hal tersebut disampaikan jokowi saat memberikan pengarahan kepada menteri dan lembaga serta kepada kepala daerah tentang Afirmasi Bangga Buatan Indonesia di Bali. (Sindonews.com, 25/3/2022)

Jokowi juga menyinggung sejumlah menteri yang instansinya masih banyak melakukan impor. Mulai dari Menteri kesehatan Budi Gunadi Sadikin, kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbud Ristek) Nadim Makarim, Menteri Pertanian (Mentan) Syahrul Yasin Limpo, yang produk disetiap instansi nya masih berasal dari impor sebut saja alat kesehatannya dan tempat tidur untuk rumah sakit, Pengadaan laptop dan kursi, Pencil, pulpen, kertas, seragam, sepatu tentara, traktor dan juga CCTV. (Kompas.com, 25/03/2022). Jokowi mengungkapkan bahwa anggaran pengadaan barang dan jasa sebenarnya sangat besar. Anggaran pemerintah pusat mencapai Rp 526 triliun, pemerintah daerah Rp 535 triliun dan BUMN Rp 40 triliun. Jika saja 40 persen dari total anggaran yang digunakan untuk pengadaan barang dan jasa dari dalam negeri, Jokowi yakin pertumbuhan ekonomi indonesia akan meningkat. 

Hal ini bak angin segar bagi Masyarakat Indonesia. Bagaimana tidak, disini penguasa kita melontarkan kalimat yang menunjukan rasa marah serta geram karena impor masih terus berlangsung. Ia berkoar-koar terkait keutamaan mencintai produk dalam negeri, agar perekonomian rakyat indonesia bisa meningkat. Tampak sekali keberpihakan penguasa terhadap rakyat, dan terlihat sangat mengutamakan kedaulatan dan kesejahteraan rakyat. 

Akan tetapi benarkah realitasnya demikian? Sedangkan jika kita melihat kenyataan di lapangan, lain. Upaya penguasa untuk menahan laju impor tidak juga diwujudkan dan memberikan bukti nyata. Karena masih banyak kebijakan yang meloloskan barang impor, yang bahan pangannya dapat diproduksi sendiri seperti beras, kentang, teh dan jagung. Nyatanya masih aktif mengimpor bahan pangan tersebut. Badan Pusat Statistik (BPS) menyebut, pada Juli 2021 Indonesia diketahui melakukan impor beras sebanyak 41.6 ribu ton dengan mencapai US$ 18.5 juta atau 108.944,8 ton (2017) menjadi 795.600,1 ton (2018). (Antara News).

Lantas bagaimana dengan tindakan marah-marah di depan publik kemarin? Apakah hanya sekedar sensasi? akankah penguasa tidak tau kekeliruannya selama ini dalam menjalankan kebijakan impor untuk segala bidang kehidupan kita? 

Bisa saja tindakan penguasa kemarin adalah sebuah skenario yang mereka telah buat hanya untuk menutupi kegagalan mereka dalam menangani permasalahan dalam bidang ekonomi. Dimana, pemerintah gagal untuk menstabilkan kondisi perdagangan dalam negeri, akibat konsep perdagangan bebas dan pasar bebas. pemerintah tidak mampu menahan laju dari masuknya produk luar negeri. Apalagi ketika bea cukai dipangkas harga impor lebih murah dibandingkan produk lokal. Di sisi lain, akibat meningkatnya impor dalam negeri menyebabkan produk dalam negeri lumpuh dan mengalami deindustrialisasi, apalagi penguasa tidak mampu untuk menghidupkan kembali industri yang telah lumpuh.

 Negara kurang mampu mengolah komoditas mentah menjadi produk jadi. Kalaupun ada produknya, tetap saja tidak mampu untuk bersaing dan berkompetisi dengan produk impor. Oleh karena itu, negara akan lebih cenderung mengekspor bahan mentah dan akan mengimpor barang jadi. Ketika kebijakan ini diterapkan di berbagai bidang, maka yang dirugikan adalah rakyat dan yang paling di untungkan adalah para pejabat yang juga pemilik modal. Hal ini menunjukan bahwa penguasa dalam sistem kapitalisme demokrasi tidak mampu dan telah gagal untuk mensejahterakan rakyat karena keberpihakannya hanya kepada pihak yang memilki dan memberikan modal.

Berbeda dengan kebijakan yang diterapkan di negeri islam yaitu khilafah yang dimana negeri ini menjadikan Islam sebagai landasan hukum dan semua aturan hidupnya berdasarkan syariat islam termasuk kebijakan luar negeri. Dalam Islam, perdagangan dan kerjasama dengan luar negeri tidak melihat dari jenis barang yang ditawarkan dan diperdagangkan, akan tetapi yang dilihat siapa yang melakukan perdagangan tersebut.

Dalam islam khalifah hanya akan melakukan kerjasama dengan sesama muslim, kafir dzimi (kafir yang tunduk dan berlindung terhadap islam) dan kafir mu’ahad (kafir yang bekerjasama dengan khilafah), mereka hanya boleh mengimpor dan mengekspor barang yang menyangkut komoditas saja sedangkan untuk persenjataan dan alat-alat pertahanan strategi dari Khilafah tidak diperbolehkan. Kemudian untuk negara kafir (kafir harbi) yang secara terang-terangan memusuhi Khilafah, maka mereka tidak boleh melakukan kerjasama atau perdagangan jenis apapun dengan negeri ini.

Dalam hal impor barang, khilafah tidak menggantungkan pemenuhan kebutuhan dalam negeri pada negera lain (asing). Karena proses impor hanya dilakukan ketika produksi dalam negeri tidak terpenuhi. Untuk mengantisipasi kesusahan pangan, Khilafah akan melakukan swasembada untuk mengatasi masalahnya apalagi jika ditambah dengan bahan-bahan mentah yang dibutuhkan melalui pengolahan SDA diolah dengan baik dan amanah maka tidak perlu impor. Bahkan jika di mungkinkan khilafah yang akan melakukan ekspor. Semua hal ini akan menjadikan perekonomian negara sangat makmur dan luas. Dan akan dipastikan neraca perdagangan di negeri ini tidak akan pernah mengalami defisit akibat nilai tukar. 

Sehingga menjadi penting untuk kita kaum muslim, mengembalikan Sistem Islam dalam institusi Khilafah. Yang dimana penerapannya untuk segala lini kehidupan, mulai dari perekonomian dalam islam dan politik perdagangan luar negeri untuk stabilitas ekonomi dan politik sekaligus dapat digunakan untuk mengembangkan Risalah Islam ke seluruh dunia. Khalifah tidak perlu naik pitam dengan para pejabatnya apabila tidak mampu mengemban tugas masing-masing. Karena mereka menyadari bahwa amanah jabatan semata-mata untuk melayani rakyat, bukan memiskinkan rakyat.

Post a Comment

Previous Post Next Post