Atas Nama Kebudayaan, Pawang Hujan Pertontonkan Kemunduran Nalar dan Kesyirikan


Oleh: Faizah Khoirunnisa Azzahro, S.Sn

Eksistensi pawang hujan di perhelatan moto GP, viral dan menjadi sorotan dunia. Bukan menuai kekaguman, kebanyakan respon netizen justru menjadikan kejadian tersebut sebagai lelucon dan bahan meme. 

Saking viralnya, si pawang bahkan di undang di salah satu podcast di Indonesia yang populer dengan slogan "close the doornya. Dalam obrolan di podcast itu, tak ada argumentasi ilmiah yang bisa di terima logika, malah cenderung pada bayolan dan omong kosong semata.

Oleh Kemendikbud, keberadaan pawang hujan dibela karena bagian dari tradisi di berbagai budaya di dunia berabad-abad lalu. Selain itu yang lebih lucu, Kemendikbud menyebut bahwa pawang hujan menggunakan gelombang otak teta untuk "berkomunikasi" dengan semesta. Pernyataan Kemendikbud ini, mendapat tanggapan kontra dari ustadz Felix Siauw yang prihatin dengan masa depan pendidikan Indonesia karena sekelas kementerian pendidikan saja mewajarkan dan mendukung agar budaya klenik dilestarikan. Lantas, untuk apa mempelajari ilmu sains seperti meteorologi, fisika dan geofisika, jika hal-hal klenik diakui? (www.seputartangsel.pikiran-rakyat.com, 25-03-2022)

Di luar Nalar dan Syirik

Di tengah modernisasi dan kemajuan ilmu pengetahuan termasuk pemetaan dan pengendalian cuaca, adanya pawang hujan berbau klenik merupakan bentuk ironi serta kemunduran nalar. Apa yang dilakukan oleh pawang hujan di event MotoGP yang lalu seolah nampak berhasil, padahal dibaliknya ada kinerja ilmuwan cuaca. 

Tak hanya menghinakan nalar, praktik pawang hujan juga kental dengan hal-hal klenik dan syirik. Sesajen dan mantra-mantra, menjadi hal lumrah dari aktivitas ini. Dalam Islam, hal tersebut merupakan bentuk dosa besar karena mempersekutukan Allah subhanahu wa ta'ala, sang Pencipta hujan.

"Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni (dosa) karena mempersekutukan-Nya (syirik), dan Dia mengampuni apa (dosa) yang selain (syirik) itu bagi siapa yang Dia kehendaki. Barangsiapa mempersekutukan Allah, maka sungguh, dia telah berbuat dosa yang besar." (QS. An Nisa: 48).

Aneh, jika negeri yang mayoritas penduduknya beragama Islam ini melazimkan dan melestarikan budaya-budaya berbau kesyirikan. Apakah Islam antibudaya dan tradisi? Jelas tidak, sebab budaya merupakan bagian dari kehidupan manusia yang akan ada di setiap zaman. Hanya saja  Islam mengatur agar budaya dan tradisi sejalan dengan nilai-nilai yang Allah ridhoi. Dengan kata lain, selama tidak ada pertentangan dengan hukum syara', maka kita boleh mengikutinya.

Sebagai wujud keimanan dan ketaatan, muslim wajib melakukan amar makruf nahi mungkar saat melihat kesyirikan. Aktivitas dakwah inilah yang akan menyelamatkan umat dari kerusakan aqidah, sebab aqidah adalan hal pokok dalam beragama.

Melihat ancaman rusaknya aqidah umat akibat budaya-budaya jahiliah, maka keberadaan kelompok dakwah di tengah masyarakat sangatlah penting. Namun, jika penguasa dan rezimnya tidak mendukung bahan antipati kepada syari'at Islam, tentu tugas dakwah menjadi sangat berat dan penuh rintangan. 

Bagaimana kualitas penguasa dan sistem yang diterapkan, berpengaruh besar terhadap kondisi keimanan rakyatnya. Jika penguasa dan sistemnya rusak, maka rakyat pun ikut rusak. Sebaliknya, jika pemimpinnya soleh dan kehidupan bernegara dinaungi dengan sistem yang Haq, insyaAllah terbentuk juga masyarakat yang bertakwa.

Daulah Islam, Negara Penyelamat Aqidah

Kokohnya aqidah umat, tidak cukup hanya dengan berdakwah untuk perbaikan individu-individu. Sebab kualitas seseorang mudah naik dan turun tergantung kondisi lingkungan dan sistem kehidupan yang menaungi. Sistemlah yang punya dampak merusak sekaligus membangun skala masal. Oleh karena itu, aktivitas dakwah harus diarahkan kepada penerapan syari'at Islam secara kaffah, untuk perbaikan individu dan sistem kehidupan.

Penerapan ideologi kapitalisme sekuler di negeri ini, terbukti membahayakan dan merusak aqidah umat. Sektor pendidikan yang harusnya mengutamakan penguatan aqidah, justru peran agama dijauhkan dalam kehidupan. Hal-hal berbau agama, dengan sengaja dicabut. Justru sekularisasi serta moderasi beragama-lah yang dikampanyekan. 

Generasi milenial yang harusnya dididik dan dipersiapkan untuk melanjutkan estafet peradaban, kondisi moralnya hari ini sangat memprihatinkan. Pemikirannya dirusak dengan konten-konten negatif dan jauh dari nilai keimanan. Tak ada upaya sungguh-sungguh dari penguasa untuk membentengi generasi dari tayangan merusak di berbagai media. Alhasil, visi misi pendidikan Indonesia sangat jauh dari ketakwaan.

Hal berbeda ditunjukkan oleh negara yang menerapkan Islam secara totalitas. Penjagaan terhadap aqidah menjadi hal yang diprioritaskan. Sistem pendidikannya, mewajibkan penanaman aqidah sebagai kurikulum dasar di sekolah-sekolah. Sebelum umat mengenal ilmu-ilmu lain, aqidah dan tsaqofah Islam harus lebih dulu terinstall dengan kuat. 

Daulah Islam juga tak luput dalam mengembangkan sains, teknologi, dan ilmu-ilmu yang berguna untuk kehidupan dan sejalan dengan visi ibadah. Tak heran saat sistem Islam diterapkan, Daulah Islam menjadi mercusuar dunia dalam hal IPTEK. 

Dalam hal ilmu cuaca juga tak ketinggalan dalam pengembangannya. Namun tentu saja semua ilmu pengetahuan dan teknologi harus tunduk kepada hukum syara', sehingga keberkahan bisa diwujudkan. 

"Sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, niscaya Kami akan membukakan untuk mereka berbagai keberkahan dari langit dan bumi. Akan tetapi, mereka mendustakan (para rasul dan ayat-ayat Kami). Maka, Kami menyiksa mereka disebabkan oleh apa yang selalu mereka kerjakan." (Q.S. Al-A’raf: 96)

Kunci keberkahan terdapat pada keimanan dan ketaqwaan. Jika kita menginginkan kehidupan berkah, maka keimanan dan ketaqwaan harus diwujudkan di seluruh aspek, mulai dari level individu hingga bernegara. Negara berkah hanya bisa diwujudkan dengan penerapan syari'at Islam kaffah.

Wallahualam bissawab.

Post a Comment

Previous Post Next Post