Kekerasan dalam Keluarga, Islam Solusinya



Oleh Zia Sholihah
(Pemerhati Kebijakan Publik)

Pemahaman tentang fungsi keluarga akan menjadi dasar mengelola rumah tangga. Semakin tidak faham anggota keluarga tentang fungsi berkeluarga, semakin tidak jelas arah keluarga itu. Fungsi ini seharusnya diketahui oleh yang sudah berkeluarga.

Pemahaman bahwa keluarga punya peran sangat strategis dalam membangun peradaban harus diketahui pasangan suami-istri. Hal itu akan yang akan melahirkan sinergitas suami-istri untuk mendidik anak-anaknya.

Namun, apa jadinya keluarga yang seharusnya menjadi tempat berlindung setiap anggota keluarganya, justru membawa marabahaya karena ada anggota keluarga yang bersikap anarkis terhadap yang lain.

Polda Kalimantan Selatan mencatat kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak meningkat selama pandemi Covid-19 terutama kekerasan dalam rumah tangga (KDRT).

“Jumlah kasus yang ditangani dalam setengah tahun 2021 sudah mencapai lebih dari 60 persen kasus sepanjang 2020 lalu,” kata Kabid Humas Polda Kalsel Kombes Pol Mochamad Rifa’i.

Hingga pertengahan tahun 2021, Unit Pelayanan Perempuan dan Anak Subdit 4 Renakta Ditreskrimum Polda Kalsel menangani 147 kasus terdiri dari 68 kasus kekerasan terhadap perempuan dan 79 kasus anak. Sedangkan selama 2020, total ada 214 kasus terdiri dari kekerasan terhadap perempuan 94 kasus dan terhadap anak 120 kasus.

Dari tindak pidana yang terjadi, mayoritas KDRT yaitu sebanyak 32 kasus. Diakui Rifa’i, KDRT dipicu persoalan ekonomi dampak dari pandemi antara suami terhadap istri.

“Kasus suami istri ini kebanyakan berakhir dengan perceraian karena tidak ada jalan damai,” ujar dia.

Ada juga KDRT dengan pelaku orangtua terhadap anaknya. Polisi berupaya memediasi agar hubungan keluarga kembali harmonis. “Namun orangtua sebagai pelaku juga membuat surat pernyataan agar tidak mengulangi perbuatannya. Jika sampai terulang, tindakan lebih tegas berupa pidana siap diberikan,” ucap Rifa’i.

Selain KDRT, ada sejumlah kasus lain yang juga ditangani polisi. Di antaranya penganiayaan 23 kasus, pencabulan dan perkosaan masing-masing lima kasus, persetubuhan satu kasus dan lain-lain dua kasus.

Sedangkan kasus kekerasan terhadap anak didominasi pencabulan dan perkosaan masing-masing 19 kasus, diikuti persetubuhan 18 kasus, penganiayaan 14 kasus, pelarian anak enam kasus, pengeroyokan dua kasus dan perbuatan tidak menyenangkan satu kasus.

“Di samping penegakan hukum, kekerasan terhadap perempuan dan anak tentunya juga harus dikedepankan upaya edukasi agar peristiwa jangan sampai terjadi. Harus disadari semua ada konsekuensi hukum meski itu di lingkup keluarga,” ujar Rifa’i.

Karena banyaknya kasus itulah, Pemprov sendiri telah mengupayakan beberapa langkah. Sekretaris Komisi IV, Firman Yusi SP mengemukakan permintaan itu saat kunjungan kerja (Kunker) dalam daerah provinsi setempat ke Kabupaten Tabalong, ungkap Humas Sekretariat DPRD (Setwan) Kalsel melalui WA-nya, Selasa (28/12) malam.

Permintaan wakil rakyat dari Partai Keadilan Sejahtera (PKS) itu menanggapi fenomena di provinsinya belakangan ini dan paparan Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (P3A) “Bumi Saraba Kawa” Tabalong saat Kunker Komisi IV DPRD Kalsel.

Laki-laki kelahiran “Kota Minyak” (237 kilometer utara Banjarmasin), ibukota Tabalong Tahun 1974:itu menyatakan prihatin atas kejadian berdasarkan paparan Kepala Dinas P3A Bumi Saraba Kawa tersebut.

Oleh karena itu, dia melalui komisinya akan mendorong Pemprov setempat agar terus memberikan perhatian yang lebih serius terhadap kasus-kasus perempuan dan anak di kabupaten/kota.

“Ke depan kita akan coba adakan rapat dengan Dinas P3A  DPPPA Kalsel untuk mengutarakan kasus-kasus dan kendala yang dihadapi sehingga aspirasi yang dapat dilanjutkan buat dijadikan pedoman kebijakan,” demikian Firman Yusi.

Namun, sangat disayangkan. Dampak dari upaya itu tidak terlihat berhasil. Dari waktu ke waktu, kasus KDRT masih juga terjadi.

Dalam Islam, Keluarga, adalah juga penerus misi umat Islam.

Menurut riwayat Abu Zar’ah Arrozi bahwa jumlah kaum muslimin ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat sebanyak 120.000 orang pria dan wanita. Para sahabat sebanyak itu kemudian berguguran dalam berbagai peperangan. Ada yang syahid dalam perang Jamal atau perang Shiffin. Meski demikian, sebagian besar dari para syuhada itu telah meninggalkan keturunan yang berkah sehingga muncullah berpuluh-puluh “singa” yang semuanya serupa dengan sang ayah dalam hal kepahlawanan dan keimanan.

Kaum Muslim yang jujur tersebut telah menyambut pengarahan Nabi-nya, “Nikah-lah kalian, sesungguhnya aku bangga dengan jumlah kalian dari ummat lainnya, dan janganlah kalian berfaham seperti rahib nashrani.”

Berlomba-lomba untuk mendapatkan keturunan yang bermutu merupakan faktor penting yang telah memelihara keberadaan ummat Islam yang sedikit. Pada waktu itu menjadi pendukung Islam dalam mempertahankan kehidupannya.

Keluarga juga sebagai pembentuk generasi Islam. Pembentukan generasi yang handal, utamanya dilakukan oleh keluarga. Karena keluargalah sekolah kepribadian pertama dan utama bagi seorang anak. Penyair kondang Hafidz Ibrohim mengatakan, “Ibu adalah sekolah bagi anak-anaknya. Bila engaku mendidiknya berarti engkau telah menyiapkan bangsa yang baik perangainya.“

Ibu sangat berperan dalam pendidikan keluarga, sementara ayah mempunyai tugas yang penting yaitu menyediakan sarana bagi berlangsungnya pendidikan tersebut. Keluargalah yang menerapkan sunnah Rasul sejak bangun tidur, sampai akan tidur lagi, sehingga bimbingan keluarga dalam melahirkan generasi Islam yang berkualitas sangat dominan.

“Dalam hal ini, ibu lebih menjalankan peran di sektor domestik, dan ayah lebih menjalankan peran eksternal keluarga” ujar Nuri Fauziah, seorang Psikolog. Menurutnya, sinergi antara ayah-ibu yang baik akan menjalankan fungsi keluarga seutuhnya. Ia mengibaratkan keluarga sebagai sekolah, ibu sebagai gurunya dan ayah sebagai kepala sekolah. Butuh saling melengkapi satu sama lain untuk mencapai output yang sempurna.

Keluarga juga sebagai benteng perlindungan terhadap akhlaq.
Islam memandang pembentukan keluarga sebagai sarana efektif memelihara pemuda dari kerusakan dan melidungi masyarakat dari kekacauan. Karena itulah bagi pemuda yang mampu dianjurkan untuk menyambut seruan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,

“Wahai pemuda, siapa di antara kalian berkemampuan maka menikahlah. Karena nikah lebih melindungi mata dan farji (kemaluan), dan barang siapa yang tidak mampu maka hendaklah puasa, karena puasa itu baginya adalah penenang.” (HR. AL-Khosah dari Abdullah bin Mas’ud).

Keluarga juga seharusnya mampu memelihara status aosial dan Ekonomi
Dalam pembentukan keluarga, Islam mempunyai tujuan untuk mewujudkan ikatan dan persatuan. Dengan adanya ikatan keturunan maka diharapkan akan mempererat tali persaudaraan anggota masyarakat dan antar bangsa.

Islam memperbolehkan pernikahan antar bangsa Arab dan  non-Arab, antara kulit hitam dan kulit putih, antara orang timur dan orang barat. Berdasarkan fakta ini menunjukkan bahwa Islam sudah mendahului semua “sistem Demokrasi ” dalam mewujudkan persatuan umat manusia.

“Islam adalah agama kebebasan bukan agama perbudakan, ia telah merintis dan mengupayakan terbentuknya persaudaraan Islam sejak Seribu Tiga Ratus Lima Puluh tahun yang lalu, suatu prinsip yang tidak pernah dikenal oleh bangsa Romawi, tidak pernah ditemukan oleh bangsa Eropa dan bahkan Amerika Modern sekalipun,” ujar Bernard Sha, seorang kritikus asal Irlandia.

Menurutnya, untuk menjamin hubungan persudaraan yang akrab antara anak-anak satu agama, maka Islam menganjurkan dilangsungkannya pernikahan dengan orang-orang asing (jauh), karena dengan tujuan ini akan terwujud apa-apa yang tidak pernah direalisasikan melalui pernikahan keluarga dekat.

Selain fungsi sosial, fungsi ekonomi dalam berkeluarga juga akan nampak. Mari kita simak hadis Rasul, “Nikahilah wanita, karena ia akan mendatangkan harta.” (HR. Abu Dawud, dari Urwah RA).

Maksud dari hadis tersebut adalah bahwa perkawinan merupakan sarana untuk mendapatkan keberkahan. Dari segi harta, orang yang sudah berkeluarga jauh lebih terjamin daripada yang belum berkeluarga.

Pada akhirnya, hanya Islam sajalah yang memandang keluarga dengan fungsi yang detail.

Lantas seperti apakah Islam menawarkan solusi permasalahan dan perselisihan rumah tangga? Dalam kaitan ini, Syekh ‘Abdurrahman ibn ‘Abdul Khalik al-Yusuf dalam al-Zawâj fî Zhill al-Islâm (Kuwait: Daru al-Salafiyyah, 1988, cetakan ketiga, hal. 166), mengemukakan, ada beberapa solusi yang ditawarkan kepada pasangan suami istri sebelum atau sewaktu menyelesaikan permasalahan dan perselisihan keluarga yang terjadi di tengah mereka. 

Pertama, jika suami atau istri ingin mencari solusi masalah dan perselisihan, hendaknya ia memposisikan diri sebagai orang yang berselisih dengan dirinya. Dengan begitu, ia akan mengetahui bagaimana seharusnya ia bersikap terhadap orang yang berselisih dengannya. Selain itu, ia juga harus mengetahui pangkal masalah atau sebab-sebab terjadinya. Barulah ia memutuskan jalan keluarnya. 

Kedua, suami harus mengetahui secara pasti bahwa pada diri istrinya ada tabiat untuk menyimpang. Ini merupakan tabiat penciptaan dan fitrah yang diberikan Allah kepadanya. Wanita tak mungkin mengubah penciptaan dan tabiat itu kecuali dengan kelapangan hati menerima koreksi dari pemimpinnya, yaitu laki-laki. Inilah yang dimaksud hadis Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. 

إِنَّ الْمَرْأَةَ خُلِقَتْ مِنْ ضِلَعٍ لَنْ تَسْتَقِيمَ لَكَ عَلَى طَرِيقَةٍ، فَإِنِ اسْتَمْتَعْتَ بِهَا اسْتَمْتَعْتَ بِهَا وَبِهَا عِوَجٌ، وَإِنْ ذَهَبْتَ تُقِيمُهَا، كَسَرْتَهَا وَكَسْرُهَا طَلَاقُهَا 
“Sesungguhnya wanita diciptakan dari tulang rusuk. Ia tidak akan pernah lurus untukmu di atas sebuah jalan. Jika engkau ingin bersenang-senang dengannya, maka bersenang-senanglah. Namun, padanya tetap ada kebengkokan. Jika engkau berusaha meluruskannya, engkau akan memecahnya. Dan pecahnya adalah talaknya,” (HR Muslim). 

Suami mana pun yang telah memahami hakikat ini, tentu akan bersabar menyikapi kekurangan dan sikap menyimpang istrinya. Begitu pula sang istri akan menerima koreksi dan pandangan suaminya atas kekurangan dirinya. 

Ketiga, betapa banyak laki-laki yang dikaruniai istri yang lebih hebat, lebih cerdas, lebih sabar, dan lebih bijak pandangannya. Namun, ini tidak boleh mengubah kodrat dan kaidah umum tentang laki-laki dan perempuan. Ini tidak boleh dimaknai perempuan boleh dieksploitasi untuk kepentingan laki-laki. Bukan pula laki-laki harus menempati posisi istrinya, sebab ini akan merusak fitrah keduanya dan menghancurkan kebahagiaan rumah tangga. 

Selanjutnya, cara terbaik bagi istri untuk mengoreksi sikap membangkang atau menyimpang suaminya adalah memberi nasihat melalui kerabat atau orang terdekatnya, sebagaimana firman Allah yang artnya:

Dan jika seorang wanita khawatir akan nusyuz atau sikap tidak acuh dari suaminya, maka tidak mengapa bagi keduanya mengadakan perdamaian yang sebenar-benarnya, dan perdamaian itu lebih baik, (TQS al-Nisa’ [4]: 128). 

Pasalnya, jika istri meluruskan sikap menyimpang dan membangkang suami secara langsung, boleh jadi hanya akan menambah kerusakan rumah tangga kecuali jika keduanya menyadari kekurangan dan kelebihan masing-masing. 

Keempat, laki-laki memang diberi hak kepemimpinan. Sehingga ia adalah orang pertama yang menjadi pengayom dan pemimpin, baik bagi dirinya maupun bagi istrinya. 

Ini pula yang dimaksud dalam firman Allah:

Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum perempuan, karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu maka wanita yang saleh ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, karena Allah telah memelihara (mereka), (QS al-Nisa’ [4]: 34). 

Namun, kepemimpinan di sini bukan berarti ia boleh otoriter, keras, dan luhur. Kepemimpinan dimaksud adalah menaungi, melindungi, mendidik, menyayangi, menempatkan segala sesuatu pada tempatnya, baik dengan cara tegas maupun cara lembut. Tak diragukan lagi bahwa kelalaian suami memenuhi hak dan kewajiban ini akan berakibat buruk pada sikap sang istri kepadanya. 

Kelima, pergunakan cara-cara yang telah diberikan Allah dalam meluruskan kekurangan perempuan, yaitu: (1) menasihati dengan lemah lembut dan menggugah hati. Dilakukan pada waktu yang tepat dan kadar yang tepat pula. Sebab, jika dilakukan terus-menerus siang dan malam hanya akan menambah kebal orang yang dinasihati. Nasihat itu ibarat dosis obat. Dosis yang tepat bisa mengobati, dosisi yang berlebihan bisa merusak bahkan mematikan; (2) menjauhi tempat tidur istri bilamana cara pertama sudah tidak mampu. 

Selanjutnya, (3) memukulnya dengan pukulan yang tidak membahayakan. Artinya, hanya pukulan yang dapat melunakkan kerasnya hati sang istri, bukan menyakitinya, dan diyakini dapat mengubahnya menjadi lebih baik. Jika diperkirakan malah destruktif, cara ini mesti ditinggalkan; (4) meminta bantuan kepada juru damai dari kedua belah pihak (suami-istri). Ini merupakan jalan terakhir ketika cara-cara sebelumnya tidak mampu. Kedua juru damai itu tentunya harus mampu memahami duduk permasalahan suami-istri dan juga mumpuni untuk memecahkannya. 

Keempat cara itu dilansir dalam firman Allah yang artinya :

'':Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasihatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar. Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, maka kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan. Jika kedua orang hakam itu bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami-isteri itu, "(T.QS al-Nisa’ [4]: 34-35). 

Demikian solusi Islam dalam menyikapi permasalahan dan perselisihan keluarga, sebagaimana yang dikemukakan Syekh ‘Abdurrahman ibn ‘Abdul Khalik al-Yusuf dalam al-Zawâj fî Zhill al-Islâm.

Dan, tentu saja peran pemerintah untuk mewujudkan generasi penerus yang berkepribadian Islam sangatlah dibutuhkan. Penguasa tak boleh abai dengan ini, dan menegakkan kebijakan yang membawa agar syariat ini bisa ditegakkan.

Allahu a'lam bishawwab

Post a Comment

Previous Post Next Post