Utang Bandara Mengalami Peningkatan, Benarkah Kesalahan Pandemi?


Oleh Susci 
Anggota Komunitas Sahabat Hijrah Banggai Laut-Sulteng

Pembengkakan utang kembali diperbincangkan. Bandara baru yang sepi penumpang diduga menjadi salah satu penyebab pembengkakan utang BUMN. Bandara baru tersebut yakni Bandara Baru Yogyakarta (YIA). Pembengkakan utang merupakan imbas dari menurunnya operasional bandara baru yang disebabkan sepinya penumpang akibat pandemi. Hal ini dapat dilihat dari tanggapan Tiko dalam rapat dengan DPR.

"AP I ini memang kondisinya berat, dengan utang Rp35 triliun dan rate loss (kerugian rata-rata) per bulan Rp200 miliar. Kalau tidak direstrukturisasi, setelah pandemi utangnya bisa mencapai Rp38 triliun." (kumparan.com 5/12/21)

Pemerintah nampaknya makin transparan memperlihatkan utang yang nilainya tidak sedikit. Tentu utang ini makin menambah beban negara. Apalagi utang negara meningkat dengan rata-rata yang cukup tinggi. Hal ini seakan memperlihatkan ketidakmampuan negara membiayai pembangunan bandara dan lainnya.

Tak heran dalam kondisi ini, negara terus menghadapi peningkatan utang. Hal ini merupakan bagian dari resiko pilihan. Sungguh tidak adil jika pembengkakan utang murni kesalahan pandemi. Sebab, pengelolaan kebutuhan negara dengan campur tangan pihak asing pasti mengganggu kestabilisasian negara. Utang awalnya terlihat manis, ke depannya akan membawa pada kesusahan. Utang adalah gambaran kemiskinan dan ketidakberdayaan.

Dengan melihat peningkatan utang bandara akibat pandemi diduga akan mencapai 38 T. Hal tersebut merupakan sebuah pengalihan isu belaka. Sebab, sebelum pandemi pun utang sudah begitu banyak. Sebenarnya permasalahan adalah ketika negara mampu membangun dan mengelola bandara tersebut secara mandiri tanpa intervensi pihak asing, maka sekalipun ditimpa pandemi atau problematika lainnya, tidak akan menjadi alasan terjadi pembengkakan utang.

Oleh karena itu, utang menjadi gambaran hilangnya kemandirian negara dalam membangun kebutuhan umum. Intervensi asing inilah yang mengakibatkan negara makin kuat bergantung dan lemah berdiri sendiri. Kedaulatan negara semakin goyang, segala pembangunan dan penyediaan negara dengan mudah dimasukkan dan disetir oleh pihak asing. Utang sendiri menjadi peluang keuntungan bagi asing dan kerugian bagi negara. Bisa dibayangkan, jika utang negara makin meningkat, siapa yang melunasinya? Dan bagaimana cara melunasinya?

Utang seringkali dijadikan alasan pembangunan, seakan negara tidak mampu membiayainya. Padahal negara memiliki sumber daya alam (SDA) yang berlimpah. Mengapa SDA tidak dikelola secara mandiri tanpa harus berutang? 

Dalam kondisi ini, dapat disimpulkan bahwa adanya ketidakmampuan negara dalam mengelola SDA sebagai potensi pengembangan dan pembangunan negara. Seharusnya, negara dengan kekayaan SDA mampu menghasilkan pendapatan yang besar. Sehingga, mampu membiayai segala macam pembangunan demi tercapainya kemudahan bagi warga negara. Bandara jika dibangun dengan menggunakan dana murni dari negara, maka hasil dari pengelolaan SDA akan menghindari utang. Dalam hal ini, bukan berarti negara tidak boleh membantu atau dibantu pihak asing, hanya saja negara perlu memperhatikan kerja sama tersebut, agar tidak mengganggu kestabilan dan kedaulatan negara, apalagi kerja sama yang merugikan.

Pembangunan dan Utang dalam Islam

Pembangunan dalam Islam mempunyai beberapa tujuan di antaranya pembangunan yang dilakukan demi tercapainya kesejahteraan. Yang termasuk pembangunan ini adalah pembangunan bandara. Sebab, bandara merupakan bagian dari kebutuhan negara. Maka, Islam dengan sigap akan membuat dan menjalankan pembangunan tersebut. Pembangunan dalam Islam sangat memperhatikan kualitas hasil. Oleh karena itu, agar mencapai kualitas terbaik, tentunya membutuhkan kuantitas dana yang besar. Islam dengan aturannya, akan menjadikan SDA dikelola secara mandiri dan berkualitas dengan cara memanfaatkan SDM yang ada. Sebab, kualitas SDM sangat menentukan tingkat keberhasilan pembangunan suatu negara. Islam tidak langsung memerintahkan melakukan utang.

Utang dalam pandangan Islam diperbolehkan. Namun, mengingat pertanggungjawabannya kelak yang begitu berat jika tidak dilunasi, maka Islam menganjurkan berutang hanya dalam kondisi terdesak. Islam melarang keras mengutang hanya untuk berfoya-foya.

Dalam kasus pembangunan, Islam tidak langsung mengambil utang. Mengingat adanya sumber kekayaan melimpah dan SDM yang berkualitas. Hal inilah yang akan dimanfaatkan. Tidak langsung mengambil utang, hanya karena melihat adanya kecepatan dan kemudahan, tanpa perlu memperhatikan dampak yang akan terjadi.

Bisa dibayangkan, jika seandainya negara mengelola dan menjalankan SDA secara mandiri, maka negara bisa menjadi salah satu negara terkaya di dunia. Apalagi berada pada letak geografi yang strategis. Alhasil, tidak ada peraturan yang mampu memberikan keadilan, kemudahan, dan kesejahteraan selain kembali kepada Islam sebagai agama sekaligus ideologi yang mengatur kehidupan manusia, baik dalam lingkup individu, masyarakat, maupun negara.

Wallahua'lam bishshawab.

Post a Comment

Previous Post Next Post