NASIB GURU HONORER YANG KIAN MENYESAKKAN DADA


OLEH :HJ PADLIYATI SIREGAR ST

Hingga saat ini, dana insentif bagi guru honorer di delapan kabupaten/kota di Provinsi Sumatera Selatan(Sumsel) belum dicairkan. Hal tersebut dikarenakan pemerintah daerah setempat belum menganggarkan insentif bagi guru honorer.

Ketua PGRI Provinsi Sumsel, Ahmad Zulinto mengatakan bahwa ada delapan kabupaten/kota di Sumsel yang belum menganggarkan dana insentif bagi guru.

"Delapan daerah tersebut yakni Lubuk Linggau, Ogan Ilir, Empat Lawang, Ogan Komering Ulu (OKU), OKU Timur, OKU Selatan, Ogan Komering Ilir (OKI) dan Pagaralam," ujar Zulinto, Jumat (3/12/2021).

Selain itu, pihaknya juga meminta kepada kepala daerah agar memikirkan nasib para guru honorer yang selama ini insentifnya tak kunjung dianggarkan dan dicairkan. "Kami mohon agar segera menganggarkan insentif mereka. Kita harusnya malu, karena upah mereka masih ada yang Rp300 ribu perbulan," ungkapnya.

Guru adalah pahlawan tanpa tanda jasa. Sebuah gelar yang tak biasa. Sebab, tugas dan tanggung jawabnya amatlah luar biasa. Baik buruknya guru akan berdampak pada generasi yang dididiknya. Guru, lisannya digugu, lakunya ditiru. Tanpa guru, tak ada ilmu yang diajarkan. Karena guru adalah penyampai ilmu laksana pelita di gelap gulita. Setinggi-tinggi jabatan seseorang, ia tak akan sampai pada jabatan tersebut tanpa seorang guru. Di balik prestasi gemilang, selalu ada guru yang mengajarkan.

Kehadiran guru honorer bagaikan oase di tengah padang pasir. Sosok mereka tak bisa dipandang sebelah mata. Kesenjangan guru dalam pemenuhan kebutuhan pendidikan lebih banyak ditopang dengan keberadaan guru honorer dengan segala keterbatasannya. Guru honorer mengisi ruang-ruang kosong di sekolah, terutama di daerah dan pelosok desa. 

Dalam sistim kapitalisme Demokrasi rupanya perjuangan para pahlawan tanpa tanda jasa khususnya para guru honorer belum berakhir. Setelah banting tulang mengajar dengan gaji minim dan seringkali tertunda pembayarannya berbulan-bulan,sementara kebutuhan hidup semakin menghimpit

Sungguh ironis keberadaan guru honorer,gaji yang amat minim selalu menjadi problem tak terurai bagi guru honorer. Negara yang sumber kekayaan alamnya berlimpah tidak bisa mensejahterakan nasib guru.

Negara yang hidup dengan utang hanya akan melahirkan ilusi kesejahteraan. Seakan-akan masih memiliki banyak pendapatan, padahal ngos-ngosan cari pendapatan. 

Beginilah jika negara membangun sistem keuangan yang tidak sehat dan tidak syar’i. Tidak akan ada keberkahan bila ekonomi negara ditopang sistem riba.

Tapi ini bukan hal aneh bagi para guru honorer di negeri zamrud khatulistiwa ini. Mereka bukan hanya membayangkan, tapi sudah merasakan berkali-kali. Kecewa karena gaji yang tak seberapa itu tak kunjung sampai di tangan karena berbagai alasan.

Sungguh tidak adil nasib yang dialami para guru honorer ini. Padahal guru honorer kebanyakan memiliki tugas atau beban yang sama dengan guru berstatus PNS yang sudah menerima gaji tetap dan lebih layak besarannya.

Nasib buruk yang dialami guru honorer di negeri ini tak lain dan tak bukan adalah akibat diterapkannya sistem kapitalisme sekuler. Ya, kapitalismelah sistem hidup yang membawa pendidikan di negeri ini masuk ke dalam jurang kehancuran.

Kemuliaan Guru dalam Sistem Khilafah

Dalam sistem Islam, pendidikan adalah kebutuhan yang wajib dipenuhi negara. Negara Khilafah akan mempersiapkan dengan baik agar hasil pendidikan berjalan sesuai harapan.

Negara akan menyiapkan infrastruktur sekolah yang memadai secara merata; menyediakan tenaga pengajar profesional; menetapkan gaji yang layak bagi para guru; menyiapkan perangkat kurikulum berbasis akidah Islam; memberi pelayanan pendidikan dengan akses yang mudah bahkan gratis bagi seluruh warga negara.

Perhatian negara Khilafah pada sistem pendidikan sangat tinggi. Hal ini bisa kita telusuri dari fakta sejarah peradaban Islam memimpin dunia selama 13 abad. Karena Khilafah memahami bahwa membangun manusia unggul harus dimulai dengan sistem pendidikan yang berkualitas. 

Mengingat pentingnya pendidikan bagi masa depan generasi, Khilafah memberi penghargaan tinggi termasuk memberi gaji yang melampaui kebutuhan guru. Khalifah Umar bin Khaththab ra. pernah menggaji guru-guru yang mengajar anak-anak kecil di Madinah sebanyak 15 dinar (jika dikonversi ke harga emas bisa setara dengan Rp51 juta) tiap bulan. 

Gaji ini beliau ambil dari Baitulmal. Di sistem Islam, posisi guru adalah aparatur negara (muwazif daulah). Tidak ada pembedaan antara guru PNS atau honorer. Semua guru dimuliakan dalam Islam. 

Pada masa Daulah Abbasiyah, tunjangan kepada guru begitu tinggi seperti yang diterima oleh Zujaj pada masa Abbasiyah. Setiap bulan beliau mendapat gaji 200 dinar. Sementara Ibnu Duraid digaji 50 dinar per bulan oleh al-Muqtadir. Di masa Shalahuddin al-Ayyubi, Syekh Najmuddin al-Khabusyani misalnya, yang menjadi guru di Madrasah al-Shalāhiyyah, setiap bulannya digaji 40 dinar dan 10 dinar untuk mengawasi wakaf madrasah (jika 1 dinar= 4,25 gram emas; 40 dinar= 170 gram emas; bila 1 gram emas harganya Rp800ribu, gaji guru pada saat itu tiap bulannya sebesar Rp136 juta).

 Dengan gaji yang begitu tinggi, para guru tidak perlu repot mencari pendapatan tambahan seperti yang dialami guru honorer hari ini. Mereka bisa fokus melakukan tugasnya sebagai pendidik dan pencetak SDM unggul yang dibutuhkan negara dalam membangun peradaban agung. 

Mengapa hanya Khilafah yang bisa menyejahterakan guru? Karena sistem ini sudah pernah diterapkan dengan hasil gemilang. Sementara kapitalisme hanya bisa menyisakan derita berkepanjangan bagi guru.

Post a Comment

Previous Post Next Post