Bandara Baru Bikin Utang Bengkak, Pembangunan Infrastruktur untuk Siapa?


Oleh Faizah Khoirunnisa' Azzahro, S.Sn.
Pegiat Literasi

Di tengah pandemi seperti ini, rasanya wajar jika orang tidak banyak bermobilitas apalagi menggunakan transportasi udara yang harga tiketnya tak murah. Ditambah kondisi perekonomian yang tak kunjung membaik, tentu masyarakat lebih memilih menggunakan uangnya untuk bertahan hidup, alih-alih untuk bepergian menggunakan pesawat. Hal inilah yang dikeluhkan PT Angkasa Pura 1 yang merupakan BUMN pengelola bandara. Sebab sepinya penumpang terutama di bandara baru, utang PT. Angkasa Pura membengkak mencapai 35 triliun. (www.kumparan.com, 5/12/2021)

Utang yang membengkak tersebut disebabkan pemasukan dari jumlah 
penumpang yang sepi tidak mampu menutupi biaya yang dikeluarkan untuk operasional yang tetap berjalan sekalipun di tengah pandemi. 
Salah satu bandara baru yang disorot karena menambah beban utang adalah YIA (Yogyakarta International Airport) di Kulonprogo. Bandara ini menelan biaya 12 triliun dalam pembangunannya. Merupakan bandara terluas di Indonesia saat ini, kapasitas penumpang YIA adalah 20 juta penumpang dalam setahun. Realita di lapangan, data traffic Januari-November 2021 hanya mencapai 1,2 juta penumpang, jauh di bawah kapasitas yang diharapkan.

Merespon hal ini, pemerintah memakluminya sebab saat peresmian bandara YIA bertepatan dengan pandemi, sehingga wajar jika sepi penumpang. Pihaknya berharap, usai pandemi dan pemerataan vaksinasi, bandara bisa kembali ramai. Namun, benarkah demikian? Apakah setelah pandemi, bisa menjamin Angkasa Pura tidak bangkrut sebab utang yang menumpuk? 
Tak belajar dari pengalaman YIA, di tahun 2022 mendatang, pemerintah justru akan membangun 6 bandara baru (www.goodnewsfromindonesia.id, 21/08/2021).

Langkah ini merupakan wujud dari fokus agenda APBN 2022, yakni pembangunan infrastruktur. Infrastruktur lagi, infrastruktur terus, apakah bisa jadi solusi amburadulnya negeri ini?

Tak Sentuh Akar Persoalan, Pembangunan Infrastruktur Hanya Akan Jadi Beban

Bukan sekali dua kali, rezim ini melakukan pembangunan infrastruktur tanpa melalui pengkajian yang tepat dan cermat. Alih-alih bermanfaat untuk kepentingan rakyat, infrastruktur yang dibangun seringkali diwarnai konflik pembebasan lahan, pencemaran lingkungan, menambah beban utang negara dan berujung kebangkrutan hingga harus dijual ke swasta. Infrastruktur yang jatuh ke swasta sudah pasti dikomersialisasi (hanya mengejar cuan) dan akhirnya memberatkan rakyat.

Ssebenarnya untuk kepentingan siapa pembangunan infrastruktur di sana-sini?
Rakyat, penguasa, atau pengusaha? 

Rasanya proyek infrastruktur sangat jauh dari kepentingan rakyat, sebab rezim yang berwatak kapitalisme ini hanya peduli pada kepentingan dirinya dan melayani hasrat pengusaha kaya-raya (asing dan aseng) yang telah menjadi sponsor politiknya. Rezim korporatokrasi, begitulah sebutan yang tepat untuk mewakilinya. 
Belum lagi di setiap proyek negara diiringi kasus korupsi yang dilakukan pejabat. Sehingga wajar jika muncul anggapan bahwa proyek baru dimunculkan sebagai lahan untuk korupsi lagi.
Lalu, bagaimana nasib rakyat? Di tangan penguasa zalim dan sistem kapitalisme, rakyat hanya menjadi sapi perah. Rezim yang menciptakan utang, tetapi rakyat yang diperas untuk membayarnya melalui pajak dan kapitalisasi kebutuhan-kebutuhan pokok. 

Kebut Hal Yang Lebih Urgen dan Mendasar

Daripada terus melakukan pembangunan infrastruktur yang belum jelas visi dan urgensinya, negeri ini lebih membutuhkan evaluasi total pada aspek yang lebih mendasar, yakni (1) ideologi serta sistem yang layak diterapkan dan (2) kualitas pemimpin beserta para pejabatnya.

Penerapan ideologi yang hak dan terbukti menyejahterakan, menjadi penentu keberhasilan sebuah negara dalam membangun peradaban. Ideologi akan menunjukkan hakikat hidup dan mengarahkan bagaimana seharusnya kehidupan ini berjalan beserta aturan-aturannya.
Ideologi yang diterapkan harus berasal dari pencipta manusia dan kehidupan itu sendiri, yang Maha Adil dan Maha Tahu apa yang terbaik bagi makhluk-Nya. 

Dari berbagai ideologi yang ada di dunia, jelas Islam-lah yang memiliki semua kriteria itu. 
Bukan sekedar agama yang berbicara tentang akhirat, Islam merupakan mabda' (ideologi) yang punya pandangan khas bagaimana cara mengatur kehidupan di dunia ini agar berjalan secara ideal sesuai fitrah kemanusiaan dan rida Allah Swt. Mulai dari sistem pendidikan, ekonomi, politik, sosial, pertahanan, hukum, dan sebagainya, Islam memiliki SOP-nya. 

Bagaimana jika yang diterapkan ideologi buatan manusia, seperi kapitalisme yang hari ini dipakai? Pengetahuan manusia sangatlah terbatas, sehingga ia takkan tahu solusi yang bisa adil bagi semua makhluk. Selain itu, manusia memiliki hawa nafsu yang berpotensi menimbulkan kerusakan. Naluri baqa' yang dimiliki manusia, membuatnya lebih mementingkan kepentingan dirinya dibandingkan yang lain. Karena kekurangan yang dimiliki manusia inilah, ideologi buatan manusia sangat rapuh.

Selain ideologi yang tepat, sebuah negara membutuhkan sosok pemimpin yang amanah. Pemimpin yang tunduk kepada Sang Pencipta, sehingga dalam memimpin negara dan mengurus rakyat ia menerapkan aturan-aturan yang diridai Rabb-nya.

Tak hanya amanah, seorang pemimpin harus memiliki rasa takut akan pertanggungjawaban atas kepemimpinannya di akhirat kelak. Ukuran keberhasilannya bukan hanya di dunia, namun juga di akhirat.

Dalam Islam, pemimpin memiliki dua fungsi utama, yaitu sebagai raa’in dan junnah bagi umat. Selama 14 abad kegemilangan Islam, kedua fungsi ini dijalankan oleh para Khalifah. Meski pasang surut kekhilafahan secara sunnatullah memang terjadi, kedua fungsi ini ketika dijalankan sesuai ketentuan hukum syarak, terbukti membawa kesejahteraan dan kejayaan umat Islam.

Dalam hadist riwayat Bukhari, dikatakan bahwa Imam (Khalifah) adalah raa’in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya.

Sementara fungsi pemimpin sebagai perisai terdapat dalam sabda Nabi Muhammad SAW bahwa, "sesungguhnya al-Imam (Khalifah) itu perisai, di mana (orang-orang) akan berperang di belakangnya (mendukung) dan berlindung (dari musuh) dengan (kekuasaan) nya.” (HR. Al-Bukhari, Muslim, Ahmad, Abu Dawud, dll)

Dengan demikian, yang harus dikebut negeri ini bukanlah pembangunan infrastruktur melainkan evaluasi total terhadap ideologi dan sistem yang diadopsi, serta perbaikan SDM-nya melalui pendidikan. Aktivitas dakwah yang membenahi aqidah umat dan mengajak pada penerapan syariat Islam secara kafah, merupakan bentuk  kepedulian kaum muslimin kepada negeri ini agar menjadi baldatun thayyibatun wa rabbun ghaffur.

Wallahu a'lam bishshawab.

Post a Comment

Previous Post Next Post