Skandal Omnibus Law, Buat Rakyat Kok Coba-Coba?


Oleh Ummu Zhafran
Pegiat Literasi

Lagi, ironi terjadi di negeri ini. Baru-baru ini Mahkamah Konstitusi mengeluarkan putusan yang mengejutkan. UU Cipta Kerja yang kontroversial sejak lahir, akhirnya dinilai inkonstitusional, bertentangan dengan UUD 1945. Namun sayang, MK lalu memberi pemakluman inkonstitusionalitas bersyarat. Pemerintah dan DPR diberi waktu dua tahun guna memperbaiki pembuatan UU Ciptaker. Jika dalam kurun waktu tersebut tidak diperbaiki, maka UU Ciptaker menjadi inkonstitusional permanen. Menanggapi hal ini, Guru Besar Hukum Tata Negara, Denny Indrayana, menilai MK ambigu. Seharusnya MK tegas membatalkan UU tersebut, tanpa ada embel-embel syarat. (cnnindonesia, 27/11/2021)

Sebagian besar masyarakat  senada dalam hal ini. Sekelumit tanya pun terlontar di ruang publik. Bagaimana mungkin produk hukum yang jelas melanggar UUD 1945 masih dibiarkan tetap berlaku? Setiap pelanggaran bukankah layak dihukum, mengapa justru diminta revisi? Lalu, selama kurun waktu tersebut, rakyat diminta patuh pada UU gagal yang melanggar dasar negara? 

Teringat saya akan tayangan pariwara sebuah produk minyak angin untuk anak. Slogannya cukup akrab di telinga, “Buat anak kok coba-coba?” Pertanyaan yang sama bisa pula diajukan kini terkait Omnibus Law yang diberi kesempatan revisi. Tak seharusnya lebih dari 250 juta rakyat negeri ini diperlakukan bak kelinci percobaan. Diminta patuh menerapkan produk gagal lalu berspekulasi dalam dua tahun, kegagalan bisa menjelma jadi keberhasilan. Bila tidak berhasil, akankah ‘kelinci’ harus mengambil risiko terkapar di atas meja eksperimen? Keterlaluan.  

Pengamat politik, Rocky Gerung di kanal Youtube miliknya,  mengutarakan bahwa keputusan MK tersebut tak lepas dari kepentingan oligarki. Menurutnya, wajar bila orang menengarai telah terjadi transaksi politik di balik layar. Lebih jauh, Rocky menganalogikan MK seperti penjual mangga. Ketika ada pembeli bertanya apa mangga yang dijualnya manis apa busuk, sang penjual mengatakan bahwa meskipun busuk yang dijualnya tetaplah mangga. Tentu dengan motif menghindar dari kerugian. (Rockygerungofficial, 26/11/2021)

Apa yang dikatakan Rocky Gerung sepertinya tak asing lagi. Ya, semua bermuara pada  ideologi yang bercokol di negeri ini.
Kapitalisme memang meniscayakan adanya oligarki. Bukan rahasia lagi, demokrasi yang merupakan turunan langsung dari kapitalisme menelan ongkos yang mahal. Dapat diduga kuat tak satu pun di antara pihak yang terlibat dalam lingkar kekuasaan bisa lolos dari jerat oligarki dan kapitalis yang menyokongnya. Akibatnya produk-produk hukum yang lahir dari rahim kapitalisme-demokrasi rentan berubah mengikuti  kepentingan segelintir orang yang memegang kuasa dan dana.  

Di sisi lain, dicabutnya berbagai subsidi pada gilirannya juga mewujudkan relasi rakyat dengan penguasa bak pembeli dan penjual. Bukan lagi rakyat dengan abdi rakyatnya. Alhasil slogan no free lunch (tiada makan siang gratis) dengan sistem kapitalisme ibarat dua sisi mata uang, tak terpisahkan. Rakyat dibiarkan berjuang sendiri memenuhi kebutuhan hidupnya. Terlebih di masa pandemi seperti sekarang ini. Alih-alih mendapatkan jalan keluar dari kapitalisme dengan demokrasinya, yang ditemui justru jalan buntu. Terbukti yang meningkat bukan kesejahteraan  melainkan rasio utang yang wajib ditanggung rakyat melalui pajak.

Di titik inilah dibutuhkan alternatif ideologi guna mengganti kapitalisme yang nyata kerusakannya.  Sebuah sistem hidup yang tak berasal dari buah pikir manusia yang lemah dan terbatas, namun datang dari Al Khalik, Maha Pencipta seluruh alam semesta. Karenanya, seluruh aturannya mengacu pada sumber yang tetap, tidak berubah dengan berubahnya waktu dan zaman. Itulah Islam dengan kitab sucinya yang dijadikan Allah Swt. sebagai pedoman hidup manusia. Syariatnya tak lekang oleh zaman. Sebab Allah Swt. sendiri yang langsung menjaga kemurnian Islam. 

Firman Allah Swt.,
“Sesungguhnya Kamilah yang menurunkan Al-Qur'an, dan pasti Kami (pula) yang  memeliharanya.”(QS Al Hijr :9)

Imam Ibnu Katsir menjelaskan dalam kitab tafsirnya, bahwa Allah Swt. menetapkan bahwa Dialah yang menurunkan Al Qur'an.  Allah pula yang memeliharanya dari perubahan dan penggantian hingga kiamat kelak. Hal ini menjadikan hidup di bawah naungan syariah jauh dari kontradiksi dan labilnya aturan.  Karena Islam menugaskan negara tampil mengurusi rakyat dengan  menerapkan syariah secara konsisten dan kafah. Negara dalam Islam berperan layaknya seorang ibu yang mencurahkan perhatian sepenuhnya untuk kebaikan anak-anak bangsa dalam bentuk pemenuhan seluruh kebutuhan rakyat tanpa kecuali. 

Sehingga dapat dimaklumi bagi siapa pun yang jujur melihat sejarah, termasuk kalangan ahli Barat, tak kuasa mengelak untuk mengakui keagungan peradaban Islam pada masa lalu dan sumbangsihnya bagi dunia.  Simak pengakuan salah seorang filsuf Barat,  W.E Hocking, 

“Sungguh dapat dikatakan bahwa hingga pertengahan abad ke tiga belas (yakni sepanjang era kekhalifahan Islam), Islamlah pembawa segala apa yang tumbuh yang dapat dibanggakan oleh dunia Barat ( The Spirit of World Politics , 1932, hlm.461). Wallaahu a’lam.

Post a Comment

Previous Post Next Post