MENGAKHIRI GURITA KORUPSI


Oleh: Tia Damayanti, M.Pd.
Pemerhati Politik

Seperti lingkaran setan, mungkin ungkapan ini yang pas untuk penanganan korupsi yang kian menggurita di negeri ini. Masih dalam suasana kecemasan menghadapi pandemi Covid-19 yang belum diketahui kapan akan berakhir, masyarakat dikejutkan dengan beredarnya berita bahwa Menteri BUMN, Erick Thohir, mengangkat Izedrik Emir Moeis sebagai komisaris BUMN. Dilansir dari tirto.id, 5 Agustus 2021, sejak tanggal 18 Februari 2021 Emir Moeis resmi ditunjuk oleh para pemegang saham sebagai Komisaris PT. Pupuk Iskandar Muda.

Sebagai catatan, Emir Moeis yang merupakan anggota Komisi VIII DPR RI yang terjerat kasus suap terkait lelang proyek pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) di Tarahan, Lampung, pada 2004. Dia terbukti menerima suap senilai USD 357 ribu dari konsorsium Alstom Power Inc. yang mendaftar menjadi salah satu peserta lelang. Akibat perbuatannya, Emir Moeis divonis 3 tahun penjara dan denda Rp150 juta subsider 3 bulan penjara pada 2014. Hal inilah yang kemudian memunculkan kritik dari berbagai kalangan masyarakat. Bagaimana mungkin seorang mantan napi tindak pidana korupsi bisa diangkat menjadi Komisaris sebuah Badan Usaha Milik Negara?

Berbagai spekulasi pun mengemuka. Beberapa elemen masyarakat tentu mempertanyakan akhlak menteri BUMN, Erick Thohir yang sampai hati mendayagunakan eks koruptor terpidana. Tidak berhenti sampai di situ, tuduhan “ada udang di balik batu” pun turut mencuat. Pasalnya, Emir Moeis adalah politisi dari PDI Perjuangan, partai yang berkuasa saat ini. Maka tak mengherankan pula jika para politisi di DPR melontarkan kecaman pedas. Masih dilansir dari tirto.id, 5 Agustus 2019, kecaman yang paling keras datang dari politisi Partai PSI (Partai Solidaritas Indonesia).

PSI melihat pencalonan mantan koruptor sebagai komisaris BUMN merupakan salah satu praktik impunitas terhadap kejahatan korupsi dan pelakunya. Efek jera yang selama ini didengungkan tidak akan pernah efektif selama mantan koruptor masih bisa menduduki jabatan publik. “Apakah di negeri ini tidak ada orang baik dan berkualitas yang layak menjadi petinggi BUMN? Kenapa harus mantan koruptor? Saya kira, perlu ada klarifikasi, transparansi, dan bila mungkin koreksi untuk masalah ini,” demikian Ariyo Bimmo, juru bicara PSI menjelaskan. 

Lebih jauh Bimmo menambahkan, dari sisi manajemen berbasis risiko, terdapat kerawanan tinggi jika mantan koruptor diberi jabatan penting dalam BUMN. “Tidak ada jaminan seorang mantan koruptor tidak akan melakukan tindakan residif di kemudian hari. Memberi posisi strategis kepada mantan koruptor di BUMN sama saja membuka peluang terjadinya korupsi yang lebih besar lagi. Ini sangat merugikan reputasi BUMN kita.” 

Baru-baru ini, Erick Thohir menanggapi berbagai rumor yang ada dengan memberikan pernyataan, bahwa penunjukan Izedrik Emir Moeis sebagai Komisaris PT. Pupuk Iskandar Muda (PIM), tidak menyalahi undang-undang. Menurut Erick, penunjukkan Emir Moeis menjadi bagian dari proses. Dia pun membuka diri untuk semua masukan bila keputusan yang diambil ternyata keliru dan salah. "Undang-undang tidak melarang, itu menjadi bagian dari proses, kembali check and balance. Kalau ada keputusan saya yang salah, ya kita koreksi," ujar Erick. (sindonews, 15/11/2021)

Dengan dalih apapun, apa yang dilakukan Menteri BUMN dengan mengangkat dan mendayagunakan eks koruptor dalam jabatan penting di BUMN, selain menodai performansi BUMN itu sendiri dalam lingkup sebagai Trusted Company, juga nyata-nyata menyakiti hati rakyat. Yang dilakukan Erick Thohir sebetulnya adalah sebuah kulminasi rasa kepercayaan masyarakat terhadap penanganan korupsi di negara ini yang sudah sangat tergerus. 

Sebuah survey yang dilakukan Lembaga Survei Indonesia (LSI) memaparkan hasil survei sebagai berikut:  "Mayoritas publik nasional 60 persen menilai, bahwa tingkat korupsi di Indonesia dalam dua tahun terakhir meningkat," kata Direktur Eksekutif LSI Djayadi Hanan dalam konferensi pers secara daring, Minggu (8/8/2021). (detik.com)

Sungguh memprihatinkan. Lebih dari separuh masyarakat Indonesia menyatakan, bahwa korupsi menjadi problem besar bagi bangsa. Jika masyarakat, dalam proporsi lebih dari separuh sudah beranggapan demikian, maka sebetulnya kepercayaan terhadap penyelenggara negara sudah mulai terkikis. Persoalan ini tidak semata dalam ranah moral belaka. 

Memang, sebagai manusia yang sudah menjalani hukuman akibat tindak pidana yang dilakukannya, secara hukum, Emir Moeis adalah orang bebas. Meski demikian, tidak berarti dia layak sebagai komisaris sebuah Badan Usaha Milik Negara yang secara de facto status kepemilikannya adalah mandat dari rakyat. Masuknya eks koruptor sebagai komisaris BUMN pun semakin menegaskan bahwa sistem ini sangat ramah terhadap koruptor.

Jika kita teliti lebih mendalam, sebetulnya fenomena ini bersifat sistemik. Buah dari demokrasi ekonomi dan free fight liberalism. Semuanya dipandang hanya dari kacamata profit semata. Paradigmanya selalu menganggap, “Ah biar saja eks napi kek, eks koruptor kek, yang penting bisa bikin BUMN ini untung laba.” Ini adalah paradigma yang menyesatkan. Bagai memelihara gurita dalam sarang yang nyaman. Si gurita bisa dengan tak segan-segan membelit habis semua potensi ekonomi. Lalu bagaimana nasib lapisan masyarakat yang lain? Kejadian semacam ini lebih mempertegas lagi bahwa dalam demokrasi, ekonomi berbasis free fight liberalism, keadilan dan kesejahteraan sosial adalah jauh api dari panggang.

Mengatasi hal semacam itu tidak hanya memerlukan tekad dan kesadaran penguasa. Karena bersifat sistemik, maka sang gurita bernama korupsi harus dikandangkan dalam kandang yang tak lagi nyaman. Dalam sebuah sistem yang lebih adil dan menyejahterakan. Sistem ini adalah sistem Islam. 

Islam merupakan agama paripurna yang mengatur seluruh aspek kehidupan, termasuk urusan pemerintahan. Dalam pandangan Islam kekuasaan ada di tangan rakyat dan kedaulatan ada pada Allah (Alquran dan Hadis). Artinya kepala negara (Khalifah) yang diangkat berdasarkan rida dan pilihan rakyat adalah mereka yang mendapat kepercayaan dari rakyat untuk menjalankan roda pemerintahan sesuai dengan Alquran dan Hadis. Begitu pun pejabat-pejabat yang diangkat, untuk melaksanakan pemerintahan berdasarkan kitabullah dan sunnah Rasul-Nya. 

Pengangkatan kepala daerah dan pemilihan anggota Majelis Ummah/Majelis Wilayah dalam sistem Islam bersumber dari kandidat yang betul-betul berkualitas, amanah, dan mempunyai kapasitas, serta siap melaksanakan Alquran dan Sunnah. Dari sinilah, maka secara mayoritas pejabat negara tidak melakukan kecurangan, baik korupsi, suap, maupun yang lain. Sekalipun demikian tetap ada perangkat hukum yang telah disiapkan untuk mengatasi kecurangan yang dilakukan oleh pejabat/pegawai negara.

Dalam pemerintahan Islam terdapat larangan keras menerima harta ghulul, yaitu harta yang diperoleh para wali (gubernur), para amil (kepala daerah setingkat walikota/bupati), dan para pegawai negara dengan cara yang tidak syar’i, baik diperoleh dari harta milik negara maupun harta milik masyarakat. Pejabat akan memperoleh gaji/tunjangan. Selain itu, harta-harta yang diperoleh karena memanfaatkan jabatan dan kekuasaanya seperti suap dan korupsi, maka termasuk harta ghulul atau harta yang diperoleh secara curang. 

Termasuk ghulul adalah korupsi, yaitu harta yang diperoleh para wali (gubernur), para amil (kepala daerah setingkat walikota/bupati), dan para pegawai negara dari harta–harta negara yang di bawah pengaturan (kekuasaan) mereka untuk membiayai tugas pekerjaan mereka, atau (yang seharusnya digunakan) untuk membiayai berbagai sarana dan proyek, ataupun untuk membiayai kepentingan negara dan kepentingan umum lainnya. 

Adapun aturan yang diterapkan dalam sistem Islam, untuk mencegah korupsi adalah sebagai berikut:
Pertama, adanya Badan Pengawasan/Pemeriksa Keuangan. Yang bertugas untuk mengetahui apakah pejabat dalam instansi pemerintahan itu melakukan kecurangan atau tidak, maka ada pengawasan yang ketat dari Badan Pengawasan/ Pemeriksa Keuangan. 

Kedua, dalam sistem Islam, para pejabat/pegawai negara diberikan gaji yang cukup untuk memenuhi kebutuhan primer, sekunder, bahkan tersier. Di samping itu dalam pemerintahan Islam biaya hidup murah, karena politik ekonomi negara menjamin terpenuhinya kebutuhan seluruh rakyat. Kebutuhan kolektif, akan digratiskan oleh pemerintah seperti pendidikan, keamanan, kesehatan, jalan dan birokrasi. Sedangkan kebutuhan pokok yaitu sandang, pangan dan papan bisa diperoleh dengan harga yang murah.

Ketiga, ketakwaan individu. Dalam pengangkatan pejabat/pegawai negara, sistem Islam menetapkan syarat takwa sebagai ketentuan, selain syarat profesionalitas. Karenanya mereka memiliki self control yang kuat. Sebagai seorang Muslim akan menganggap bahwa jabatan adalah amanah yang harus ditunaikan dengan benar, karena akan dimintai pertanggungjawaban di dunia dan akhirat. Dengan demikian seorang muslim akan menjadikan amanah/jabatannya itu sebagai bekal masuk surga. 

Keempat, sifat amanah. Dalam pemerintahan Islam setiap pejabat/pegawai wajib memenuhi syarat amanah, yaitu wajib melaksanakan seluruh tugas-tugas yang menjadi tanggung jawabnya. Berkaitan dengan harta, maka calon pejabat/pegawai negara akan dihitung harta kekayaannya sebelum menjabat. Selanjutnya saat menjabat pun selalu dihitung dan dicatat harta kekayaan dan penambahannya. Jika ada penambahan yang meragukan, maka diverifikasi apa ada penambahan hartanya itu secara syar’i atau tidak. Jika terbukti dia melakukan kecurangan/korupsi, maka harta akan disita, dimasukkan kas negara dan pejabat/pegawai tersebut akan diproses hukum.

Khalifah Umar bin Khatthab pernah membuat kebijakan, agar kekayaan para pejabatnya dihitung, sebelum dan setelah menjabat. Jika bertambah sangat banyak, tidak sesuai dengan gaji selama masa jabatannya, maka beliau tidak segan-segan untuk menyitanya.

Kelima, penerapan aturan haramnya korupsi dan sanksi yang keras. Sistem Islam juga menetapkan aturan haramnya korupsi/suap/kecurangan. Hukuman yang keras, bisa dalam bentuk publikasi, stigmatisasi, peringatan, penyitaan harta, pengasingan, cambuk hingga hukuman mati.

Inilah cara yang dilakukan oleh sistem Islam untuk membuat jera pelaku korupsi dan mencegah yang lain berbuat serupa. Berdasarkan laporan bahwa ada kecurangan, Khalifah Umar kemudian membagi kekayaan Abu Hurairah (Gubenur Bahrain), Amru bin Ash (Gubenur Mesir), Nu’man bin Adi (Gubenur Mesan), Nafi’ bin Amr al-Khuzai (Gubenur Makkah), dan lain-lain. Pada zamannya, beliau juga melarang para pejabat berbisnis, agar tidak ada konflik kepentingan. Khalifah Umar juga pernah menyita kekayaan Abu Sufyan dan membagi dua, setelah Abu Sufyan berkunjung ke anaknya Muawiyah, yang saat itu menjadi gubernur Syam.

Merindukan sistem yang bersih dari korupsi menjadi keniscayaan, sebagai pembanding sistem yang ramah kepada para pelaku korupsi. Gurita korupsi pun akan musnah dan tidak akan pernah muncul kembali. 

Wallahua'lam bishshawwab.

Post a Comment

Previous Post Next Post