Jerat Utang Sebab Sistem Ekonomi Ribawi


Oleh. Sofia Ariyani, S.S

Mengutip dari VOI, JAKARTA - Menteri Keuangan Sri Mulyani mengaku senang karena masyarakat saat ini sangat peduli terhadap kondisi keuangan negara. Pihak Kementerian Keuangan (Kemenkeu) menurutnya, juga selalu menjaga transparansi keuangan negara melalui publikasi rutin setiap bulan.

"Sekarang semua orang ngurusin utang, semua bicara mengenai itu. Jadi it's good kalau masyarakat punya ownership terhadap keuangan negara,” kata Menkeu dalam acara Memaknai Krisis: Peluncuran Buku 25 Tahun Kontan; Melintasi 3 Krisis Multidimensi, dikutip Senin 25 Oktober. (voi.id, 25/10/2021)


Begitulah tabiat negara kapitalis, di saat negara berutang, di saat negara meneken kontrak kerjasama dengan negara lain tanpa restu dari rakyat, artinya rakyat mengetahui ketika kebijakan sudah diketuk palu. Namun, kala utang negara menumpuk, rakyat disodorkan buku utang yang angkanya Rp6.570,17 triliun. Dengan dalih apresiasi kepada masyarakat yang peduli terhadap keuangan negara. Padahal selama ini pun rakyat dijadikan sapi perah. Agar dapat melunasi utang negara mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang mencekik rakyat. Lihat saja bagaimana pajak diberlakukan hampir pada semua komoditi tak terkecuali pada aspek jasa pelayanan.

Dari tahun ke tahun, periode ke periode, utang negara semakin menjulang tinggi. Pembelanjaan negara yang begitu besar tampak pada aspek pembangunan infrastruktur, utamanya di periode ini, era kepemimpinan Presiden Jokowi. Kenaikannya dituding jauh lebih tinggi dari era pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).

Dilansir oleh finance.detik.com, Jumat 01/10/2021, Sejak Presiden Joko Widodo (Jokowi) menjabat mulai 20 Oktober 2014, utang pemerintah sudah bertambah Rp 4.024 triliun. Per Agustus 2021, utang pemerintah sebesar Rp 6.625 triliun. Bagaimana dibandingkan era pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)?
Mengutip data dari Kementerian Keuangan, utang pemerintah saat SBY menjabat pada 2004 sebesar Rp 1.299,5 triliun. Menutup periode pertama SBY di 2009, utang pemerintah bertambah menjadi Rp 1.589,8 triliun. (finance.detik.com, 01/10/2021)

Selama kurun 76 tahun Indonesia berdiri dengan sekitar tujuh kali pergantian presiden, utang negeri ini tak kunjung lunas. Justru semakin meningkat dan tak mampu mengeluarkan Indonesia dari jerat utang. Akhirnya setiap presiden mewariskan tongkat estafet utang kepada presiden selanjutnya. Tak habisnya utang negara ini lantaran utang yang berbunga. Negara berutang demi melunasi bunga utang maka tak heran jika utangnya semakin meroket. Padahal negeri ini adalah negeri yang kaya sumber daya alamnya, tapi mengapa justru menjadi negara pengutang terbesar ke-7 di dunia?

Jika menilik bagaimana pengelolaan keuangan juga sumber dalam alam yang diterapkan negeri ini yaitu menggunakan sistem ekonomi kapitalistik. Sistem ekonomi kapitalisme dinilai sebagai biang kerok problem ini sebab sistem ini dijalankan dengan sistem ribawi. Belum lagi sistem kebebasan berkepemilikan yang diusung demokrasi. Seolah mix n match dua jurus ini mencekik negara juga rakyat yang menganutnya. Sejatinya utang luar negeri ini adalah alat penjajahan baru. Melalui bank dunia negara-negara berkembang diiming-imingi kemajuan negara dengn proyek pembangunan. Namun, sejatinya mereka masuk perangkap hegemoni ekonomi kapitalisme. Inilah alat pemiskinan sistemik yang dijalankan negara makmur terhadap negera berkembang.

Di dalam Islam, negara tidak boleh berutang kepada negara luar apalagi negara kafir. Hal ini akan menyebabkan tergadaikannya kedaulatan negara. Untuk pendanaan negara diambil dari baitulmal, dimana kas baitulmal diperoleh dari harta jizyah, kharajiyah, fai, ghanimah, zakat, dan sebagainya. Tata kelola keuangannya pun jauh dari praktik ribawi. Sebab riba jelas diharamkan:

"Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang kembali (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya." (QS. Al Baqarah: 275)

Jika negara dalam kondisi paceklik atau defisit maka negara boleh mengambil pajak dari rakyat. Negara akan memungut pajak kepada orang-orang muslim yang mampu saja. Selain itu tidak wajib untuk dpunguti pajak. Tidak sebagaimana hari ini setiap kalangan masyarakat dipunguti pajak yang beragam.

Dalam pendanaan proyek-proyek pembangunan, negara hanya akan menggunakan harta dari tiga pos yang ditentukan syarak yaitu pos fai dan kharaj, pos kepemilikan umum, dan pos sedekah. Bukan diambil dari pajak dan utang. Inilah sebab baitulmal terbukti kuat dan stabil dalam pendanaan negara. Pengelolaan sumber daya alam pun dikelola oleh negara, bukan swasta maupun asing.

Dengan demikian hanya dengan menerapkan sistem keuangan baitulmal yang sesuai dengan syarak maka negara akan terbebas dari utang. Kedaulatan negara pun tetap terjaga.

Post a Comment

Previous Post Next Post