Penistaan Agama Bukan Masalah Kemanusiaan

Oleh: Siti Mawadah, S.T.

Alumnus Politeknik Negeri Jakarta

 

 

Penistaan terhadap agama Islam kembali terjadi, kali ini pelakunya adalah seorang YouTuber bernama Muhammad Kace. Kasus ini bermula ketika M. Kace sering mengunggah video ceramahnya di YouTube, namun konten ceramah tersebut berisikan penghinaan terhadap ajaran agama Islam seperti halnya ibadah shalat dan haji, penghinaan terhadap Nabi Muhammad SAW dan lain sebagainya.

Hal ini kemudian mengundang kontroversi dan kritik dari sejumlah pihak terutama kaum Muslim. Pengurus Besar Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PB PMII) mengecam tindakan Muhammad Kace yang berpotensi memecah belah kerukunan dan keharmonisan. PB PMII menyatakan, tindakan suku, agama, ras dan antargolongan (SARA) dan penistaan agama adalah musuh utama kemanusiaan. (nu.or.id, 26/08/2021)

Bersamaan dengan ditangkapnya M. Kace, Yahya Waloni (YW) juga dilaporkan oleh Komunitas Masyarakat Cinta Pluralisme atas kasus ujaran kebencian SARA dan penistaan agama. Berawal dari konten ceramahnya yang tersebar di media sosial terkait pernyataan YW, bahwa kitab injil fiktif serta palsu. Keduanya terjerat pasal berlapis mulai dari Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) terkait ujaran kebencian hingga pasal penodaan agama. Pasal-pasal tersebut antara lain Pasal 28 ayat (2) juncto Pasal 45a ayat (2) UU ITE serta Pasal 156a KUHP. Di dalam Pasal 156a KUHP disebutkan yang termasuk dalam penodaan agama yaitu “…melakukan perbuatan yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalah-gunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia.”

Namun dalam pasal tersebut tidak memberikan penjelasan mengenai kriteria apa saja yang termasuk sebagai perbuatan penodaan agama dan siapa yang berhak menentukan perbuatan tersebut sebagai perbuatan penodaan agama atau bukan. Ketidakjelasan kriteria penodaan agama ini yang akhirnya memberikan peluang terjadinya multitafsir dari pihak-pihak tertentu dan itu akan sangat berbahaya.

Kejadian penistaan agama yang terus berulang menunjukkan ketidakmampuan negara untuk melindungi kehormatan dan kemuliaan agama. Negara tidak hadir ketika umat Islam berulang kali didzalimi dengan kian menjamurnya penista agama yang menghina ajaran Islam dan Nabi Muhammad SAW. Namun, lagi-lagi umat Islam hanya diminta untuk bersabar dan tidak terprovokasi dengan adanya kasus penistaan agama tersebut. Para pelaku penistaan agama yang sebelumnya pun hanya berakhir dengan permintaan maaf.

Bahkan berita terakhir, Wakil Ketua Komisi III DPR RI, Ahmad Sahroni menantang Polri untuk menggunakan pendekatan restorative justice dalam menangani kasus M Kace. Restorative justice merupakan upaya penyelesaian perkara di luar jalur hukum atau peradilan, dengan mengedepankan mediasi antara pelaku dengan korban. Ini semakin menunjukkan ketidakseriusan negara dalam menyelesaikan kasus penistaan agama ini secara tuntas hingga ke akarnya. Tidak ada ketegasan hukum yang bisa mencegah dan membuat efek jera bagi para pelakunya. 

Wajar semua hal itu bisa terjadi karena efek diterapkannya sistem kapitalisme yang dasar akidahnya adalah sekularisme. Dari sekularisme ini kemudian melahirkan paham-paham sesat lainnya, yakni liberalisme, pluralisme dan demokrasi yang menganggap agama bukan sesuatu yang penting untuk dijaga kemuliaannya. Dengan dalih kebebasan berekspresi dan kebebasan berpendapat semakin menumbuhsuburkan para pelaku penista agama.

Hal yang mustahil juga ketika kita mengharapkan agar para pelaku penista agama diberikan hukuman yang menimbulkan efek jera karena ketidakjelasan makna dari kriteria penodaan agama. Akhirnya da’i yang menyampaikan konten dakwah pun terkena jerat pasal karet tersebut. Berharap keadilan pada sistem saat ini juga merupakan hal yang mustahil untuk didapatkan.

Miris memang jika kita hidup di bawah cengkeraman sistem sekular kapitalis yang menyampingkan peran agama untuk mengatur kehidupan. Agama hanya dipandang sebagai hubungan pribadi dengan Tuhan, hanya sebatas ibadah ritual saja. Agama selalu dijadikan bahan tertawaan, ejekan dan olok-olokan. Kasus penistaan agama pun hanya dipandang sebagai masalah kemanusiaan, padahal jelas ini merupakan masalah serius, karena menyangkut keyakinan umat Islam. Agama tidak akan terlindungi jika umat saat ini tidak memiliki pelindung yang kuat.

Kejelasan makna dan ketegasan hukum bagi pelaku penista agama sudah dijelaskan sangat detail di dalam Islam. Syekh al-Islam Ibn Taimiyah telah menjelaskan penistaan agama (al-istihzâ` bi ad-dîn) bisa dimaknai penghinaan dan cemoohan kepada Allah SWT atau penghinaan dan ejekan terhadap Rasul SAW atau penghinaan dan ejekan terhadap agama Islam. Bisa juga dimaknai menampakkan setiap akidah (keyakinan), perbuatan atau ucapan yang menunjukkan tikaman terhadap agama dan meremehkannya, melecehkan Allah SWT dan para Rasul-Nya.“Bagi orang Islam,” katanya, “hukum menghina Rasul jelas haram. Pelakunya dinyatakan kafir. Hukumannya adalah hukuman mati (muslimahnews.com, 25/08/2021).

 

Hukuman mati bagi pelaku penistaan agama jelas akan menjadi pencegah (zawajir) dan penebus dosa (jawabir) bagi pelakunya. Ketegasan sistem sanksi di dalam Islam ini akan menutup kemungkinan munculnya kembali pelaku penistaan agama yang lain. Jaminan terpeliharanya akidah, terpeliharanya kemuliaan dan terpeliharanya keamanan kerukunan antar umat beragama hanya akan terwujud jika syariat Islam diterapkan secara menyeluruh di bawah naungan sistem khilafah.[]

Post a Comment

Previous Post Next Post