Pembunuhan Marak Terjadi Bagaimana Islam Kasih Solusi?


Oleh Ummu Ainyssa

Peristiwa penyerangan ustaz dan tokoh agama dalam pekan terakhir ini kembali marak terjadi. Bahkan dalam aksi ini sampai menewaskan korban. Peristiwa terbaru terjadi di Masjid Baitussyakur, Batam, Kepulauan Riau yang menimpa ustaz Abu Syahid Chaniago. Beliau diserang oleh orang yang tidak dikenal saat sedang menyampaikan ceramahnya pada Senin, (20/9) lalu. Pelaku berinisial H (26 tahun) telah berhasil ditangkap, namun motif pelaku masih dalam penyelidikan. 

Dua hari sebelum kejadian tersebut, peristiwa pembunuhan juga dialami oleh seorang tokoh, ketua Majlis Taklim yang biasa disapa ustaz Alex (43 tahun) di Kecamatan Pinang, Kota Tangerang. Ia meninggal dunia akibat ditembak oleh orang yang tidak dikenal seusai melaksanakan sholat maghrib berjamaah tidak jauh dari rumahnya. Info terbaru polisi telah mengamankan 4 orang yang diduga sebagai tersangka. 

Menanggapi kasus ini, Abdul Mu'ti, Sekretaris Umum (Sekum) Pengurus Pusat (PP) Muhammadiyah menulis cuitan di dalam akun twitternya pada Kamis (23/9), ia menuliskan bahwa peristiwa penyerangan ustaz yang akhir-akhir ini terjadi secara beruntun kemungkinan besar bukanlah suatu kebetulan. Dalam kasus ini bisa diduga ada yang sedang bermain api.

Desakan agar Polri segera mengusut motif-motif penyerangan juga disampaikan oleh Arsul Sani, Anggota Komisi III DPR RI fraksi PPP. Selain mengusut motif menurutnya polisi juga harus menyelidiki apakah ada kaitannya antara beberapa kasus penyerangan tersebut, atau murni kasus-kasus yang berdiri sendiri, tidak saling berhubungan. CNNIndonesia.com, Kamis (23/9). 

Melihat rentetan berbagai peristiwa kriminal yang hampir setiap hari terjadi, membuktikan bahwa keamanan di negeri ini masihlah sangat minim. Sementara nyawa seseorang dianggap sangat murah harganya. Perlindungan dan penghormatan negara kepada seorang tokoh agama atau ulama pun terlihat masih belum maksimal. Sehingga kasus yang serupa pun sering terulang kembali. 

Penyerangan terhadap tokoh agama atau ustaz bukan kali ini saja terjadi di negeri dengan penduduk mayoritas muslim ini. Dalam beberapa waktu sebelumnya juga telah terjadi peristiwa yang sama yang berujung pada kesimpulan bahwa pelaku adalah orang yang mengalami gangguan kejiwaan. Pernyataan yang tentunya sangat membuat geram masyarakat. Disaat masyarakat banyak yang menuntut penyelidikan terhadap kasus yang sangat meresahkan ini, kasus malah terhenti dan pelaku bisa bebas dengan alasan mengalami gangguan kejiwaan.

Maka wajar jika kemudian Menteri Koordinator Bidang Politik dan Keamanan (Menko Polhukam), Mahfud MD pun ikut mendesak Polri agar secepatnya mengusut kasus ini dan tidak terburu-buru menyatakan bahwa pelaku penyerangan adalah orang dengan gangguan jiwa (ODGJ) seperti dikutip dari Telisik.id (26/9). 

Hal ini sangat berbeda dengan penyelesaian kasus kriminal di dalam sistem Islam. Aturan Islam yang diterapkan secara kafah oleh negara Islam bertindak sebagai jawabir dan jawazir. Makna Islam sebagai jawabir adalah ketika hukum Islam diterapkan kepada pelaku kriminal di dunia (di negara Islam) maka dosa mereka di dunia telah terhapus. 
Hal ini sebagaimana hadis Rasulullah Saw yang diriwayatkan oleh Bukhari dan 'Ubadah bin Shamit;

"Kalian berbaiat kepadaku untuk tidak menyekutukan Allah dengan sesuatu apapun, tidak mencuri, tidak berzina, tidak membunuh anak-anakmu, tidak membuat dusta yang kalian ada-adakan sendiri dan tidak menolak untuk mengerjakan perbuatan yang makruf. Barangsiapa menepatinya maka Allah akan menyediakan pahala, dan barangsiapa yang melanggarnya kemudian dihukum di dunia, maka hukuman itu akan menjadi penebus dosa (siksa akhirat) baginya. Dan barangsiapa melanggar nya kemudian Allah menutupinya (lolos dari hukuman dunia), maka urusan itu diserahkan kepada Allah. Jika Allah berkehendak maka Dia akan menyiksanya, dan jika Dia berkehendak maka memaafkannya."

Sementara jawazir artinya pencegah. Itu berarti tegasnya aturan Islam bukan karena Islam itu keras, akan tetapi dengan aturan yang tegas tersebut akan mencegah masyarakat melakukan berbagai kejahatan, membuat jera pelaku untuk mengulangi legi bahkan bisa membuat takut duluan sebelum melakukan tindakan kriminal. Dengan begitu angka kriminalitas bisa ditekan. 

Di dalam Islam sanksi terhadap kejahatan terbagi menjadi 3 golongan, hudud, jinayat dan ta'zir. Sementara pembunuhan masuk ke dalam golongan jinayat, yang menurut istilah artinya sanksi yang diberikan atas pelanggaran terhadap badan yang di dalamnya mewajibkan qishash atau harta (diyat).

Sementara untuk kasus pembunuhan sendiri, di dalam Islam ada tiga jenisnya. Ketiga jenis pembunuhan itu pun berbeda sanksinya. Jenis yang pertama adalah pembunuhan yang disengaja yaitu pembunuhan yang benar-benar sudah direncanakan atau diniatkan oleh si pelaku untuk dilakukan kepada seseorang. Alat yang digunakan biasanya alat-alat yang memang bisa untuk membunuh misal menggunakan pedang, pisau tajam, granat, pistol atau benda lain yang biasa digunakan untuk membunuh.

Sanksi yang diterapkan terhadap pembunuhan yang disengaja dengan segala jenisnya adalah hukum qishash, yaitu membunuh si pembunuh, jika tidak ada maaf dari wali orang yang dibunuh. Apabila ada maaf dari walinya maka diyatnya harus diserahkan kepada walinya. 
Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam surat Al Baqarah ayat 178, "Diwajibkan atas kamu qishash berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh. "

Juga dalam hadis yang diriwayatkan oleh Tirmidzi dari 'Amru bin Syu'aib dari bapaknya dari kakeknya, "Barangsiapa yang membunuh dengan sengaja, maka keputusannya diserahkan kepada wali pihak yang terbunuh. Mereka berhak membunuh, atau mengambil diyat, yakni 30 unta dewasa, 30 unta muda (jadza'ah), dan 40 unta yang sedang bunting, dan mereka juga berhak untuk memaafkan."

Yang kedua jenis pembunuhan mirip disengaja adalah pembunuhan yang dilakukan dengan menggunakan alat yang tidak biasa untuk membunuh. Bisa jadi awalnya hanya untuk menyiksa saja. Seperti memukul dengan cambuk, tangan kosong, kerikil, tongkat, dan sebagainya yang umumnya tidak mematikan.
Sanksi bagi pembunuhan mirip disengaja adalah menyerahkan 100 ekor unta, dan 40 ekor diantaranya sedang bunting. 

Hal ini berdasarkan hadis Rasulullah Saw, "Diyat pembunuhan yang mirip disengaja sangat berat seperti pembunuhan yang disengaja, akan tetapi pelakunya tidak dibunuh. Hal itu supaya setan menyingkirkan dari kalangan manusia, sehingga tidak ada balas dendam atau pengangkatan senjata."
Juga dalam riwayat lain Imam Bukhari meriwayatkan dari 'Abdullah bin 'Amr, "Perhatian, orang yang terbunuh secara mirip disengaja, terbunuh karena cambuk atau tongkat, maka diyatnya adalah 100 ekor unta dan 40 ekor diantaranya sedang bunting."

Selanjutnya jenis yang ketiga adalah pembunuhan tidak disengaja. Pembunuhan ini ada dua bentuk. Yang pertama, pelaku melakukan tindakan yang ia sendiri tidak sengaja menimpakan kepada pihak terbunuh, misal ia hendak melempar binatang namun mengenai seseorang hingga meninggal.
Yang kedua, pelaku membunuh di negeri kafir harbi namun tidak sengaja mengenai orang muslim yang sedang menyembunyikan keislamannya.

Sanksi untuk pembunuhan jenis pertama ini adalah dengan membayar diyat berupa 100 ekor unta dan membayar kafarat dengan membebaskan budak. Jika tidak ada budak yang dibebaskan maka ia harus berpuasa 2 bulan secara berturut-turut. Sementara untuk pembunuhan yang kedua ia hanya diwajibkan membayar kafarat saja.

Mengenai pembuktian dalam kasus pembunuhan, maka hal itu bisa dibuktikan dengan pengakuan dari si pelaku dengan dorongan ketakwaannya dan pembuktian. Pembuktian harus dibuktikan oleh dua orang saksi. Jika ada dua orang saksi maka terbuktilah pembunuhan tersebut, jika tidak ada dua orang saksi maka tidak terbukti. 

Demikianlah Islam dengan tegas menerapkan hukum bagi orang yang melakukan pembunuhan, terlebih mereka yang membunuh dengan sengaja karena itu artinya mereka dengan sengaja tidak menghargai nyawa orang lain. Padahal di dalam Islam nyawa manusia sangatlah berharga. Allah pun telah mengharamkan membunuh tanpa alasan, "Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah membunuhnya, melainkan dengan suatu alasan yang benar. Dan barangsiapa dibunuh secara zalim, maka sesungguhnya Kami telah memberikan kekuasaan kepada ahli warisnya." (Al Isra ayat 33)

Dengan aturan yang tegas ini terbukti pada masa kekhilafahan Utsmaniyah, sepanjang kepemimpinannya hanya terjadi 200 kasus kejahatan. Sungguh angka yang sangat jauh jika dibandingkan dengan keadaan saat ini. Maka sudah saatnya kita berjuang demi diterapkannya kembali syariat Islam secara kafah yakni dalam bingkai Khilafah ala minhaj an nubuwwah.

Post a Comment

Previous Post Next Post