Pajak Mengejar Rakyat, Kapitalisme Zalim!


Oleh Neneng Sriwidianti
Ibu Rumah Tangga dan Pejuang Literasi

"Tanda-tanda sebuah pemerintahan (negara) akan hancur maka akan semakin bertambah besarnya pajak yang dipungut." (Ibnu Kholdun)

Kutipan dari Ibnu Kholdun di atas sejalan dengan fakta yang terjadi di negeri ini. Perlahan tapi pasti, negara ini akan hancur, karena sudah memalak rakyatnya dengan pajak hampir di seluruh bidang. Penguasa negeri ini kalang kabut mencari pemasukan kas untuk membiayai operasional negara. Akhirnya, penguasa mencari celah agar bisa mengumpulkan pundi-pundi rupiah, sekalipun harus memeras darah rakyatnya dengan pajak yang mencekik. 

Untuk merealisasikan ambisinya, pemerintah mengesahkan RUU Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) menjadi UU. UU ini akan menjadi pembenaran atas aturan mengenai rencana penggunaan NIK menjadi NPWP. Di dalam bab II pasal 2 ayat 1A, drap RUU HPP tertulis, "Nomor Pokok Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bagi wajib pajak pribadi yang merupakan penduduk Indonesia menggunakan nomor induk kependudukan." (CNN Indonesia, 4/10/2021)

Publik pun berkomentar atas kondisi ini. Mereka khawatir jika penggunaan NIK menjadi NPWP akan menjadikan seluruh rakyat di negeri ini berkewajiban membayar pajak. Padahal, ekonomi rakyat sedang terpuruk akibat pandemi Covid-19. Alih-alih membantu rakyat, yang ada pemerintah membebani dengan berbagai macam pajak yang sangat menzalimi.

Walaupun pemerintah mengklaim tidak semua pemilik NIK berstatus wajib pajak. Kalaupun ada kelompok masyarakat yang terbebas  dari pajak penghasilan, bagaimana dengan pajak-pajak yang lainnya seperti pajak bumi dan bangunan (PBB), pajak pertambahan nilai (PPN), pajak kendaraan, pajak penjualan atas barang mewah (PPn BM), bea materi, dan lainnya. Belum lagi pajak pendidikan dan pajak kesehatan melalui BPJS.

Dalam sistem kapitalisme demokrasi, pajak adalah penyumbang terbesar devisa negara dan berperan penting bagi pembangunan nasional. Hampir 80% pendapatan negara bersumber dari hasil pemungutan pajak. Ironis, padahal negeri ini mempunyai kekayaan alam yang melimpah, tetapi negara telah menperjualbelikan kepada asing dan para pemilik modal dengan harga yang sangat murah. 

Pungutan pajak yang zalim ini sangat berpengaruh terhadap kelompok masyarakat akar rumput. Beban mereka semakin bertumpuk. Selain harus membayar pajak, mereka masih dihantui sulitnya mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Bandingkan dengan perilaku konglomerat dan kalangan borjuis, mereka justru mengalihkan aset kekayaannya untuk menghindar dari kewajiban pajak. Kalaupun kasusnya terbongkar, mereka akan dikenai hukuman yang sangat ringan. Berbeda perlakuannya terhadap rakyat. Tak ada ampun. Pajak terus akan mengejar rakyat sampai ke lobang jarum sekalipun.

Dalam Islam, pajak dikenal dengan istilah dharibah. Pajak ini merupakan solusi terakhir apabila kas baitulmal benar-benar kosong dan sudah tidak mampu lagi memenuhi kewajibannya. Dalam kondisi seperti ini, pemberlakuan dharibah atas kaum muslimin saja yaitu diambil dari sisa nafkah (setelah pemenuhan kebutuhan hidup) dan harta orang-orang kaya, yaitu dari sisa pemenuhan kebutuhan primer dan sekundernya yang makruf. Apabila kebutuhan baitulmal sudah tertutupi, maka pungutan pajak harus dihentikan.

Atas dasar ini, negara boleh menarik pajak dengan ketentuan sebagai berikut:

Pertama, untuk memenuhi pengeluaran-pengeluaran wajib baitulmal. Misal, untuk para fakir miskin, ibnu sabil, serta melaksanakan kewajiban jihad

Kedua, untuk memenuhi pengeluaran-pengeluaran bagi baitulmal sebagai kompensasi. Misal, pengeluaran-pengeluaran untuk gajih para pegawai negeri, gaji tentara, dan sebagainya.

Ketiga, untuk memenuhi pengeluaran-pengeluaran demi keperluan dan kemanfaatan tertentu selain konpensasi, seperti pembukaan jalan-jalan, penggalian air, pembangunan masjid, sekolah, rumah sakit, serta keperluan lainnya yang dianggap penting dan masalah yang sangat urgen, dan umat akan menderita, jika sarana-sarana ini tidak ada.

Keempat, untuk memenuhi pengeluaran-pengeluaran wajib baitulmal karena suatu keterpaksaan. Misal, ada paceklik, angin topan, gempa bumi, serangan musuh, atau apa saja yang menimpa kaum muslimin yang harus diselesaikan oleh negara.

Kelima, untuk melunasi utang-utang negara dalam rangka melaksanakan kewajiban negara terhadap kaum muslimin, yaitu hal-hal yang termasuk dalan salah satu dari keempat keadaan di atas.

Dalam sistem Islam, sumber pemasukan negara yang masuk ke baitulmal (kas negara) diperoleh dari: jizyah, kharaj, usyur, harta milik umum yang dilindungi negara, harta haram pejabat dan pegawai negara, khumus rikaz dan tambang, harta orang yang tidak mempunyai ahli waris, dan harta orang murtad. Dengan pengelolaan yang benar dan tepat, negara tidak akan bingung mencari pendapatan kas negara, karena sudah ada pemasukan yang tetap. Semua kebijakan ini hanya bisa berjalan ketika hukum Islam diterapkan secara kafah dalam sistem khilafah. Sistem inilah, satu-satunya yang akan membebaskan rakyat dari jerat pajak yang zalim yang diterapkan saat ini.

Wallahu a'lam bishshawab

Post a Comment

Previous Post Next Post